Oleh: Ade
Zaenudin
Prolog
Kata "pahlawan" di bulan
Nopember tahun ini terasa begitu spesial bagi saya, karena setidaknya ada 3
momentum yang secara bersamaan berkumpul dan memiliki relevansi terkait
"pahlawan" di bulan ini. Pertama peringatan hari pahlawan itu sendiri
yang jatuh di tanggal 10, kemudian 25 Nopember-nya diperingati hari guru, hari
dimana para pahlawan pemberantas kebodohan dirayakan, dan yang sangat spesial
bagi saya adalah bertepatan dengan hadirnya bulan Rabiul Awal, bulan dimana
penghulunya para pahlawan dilahirkan, beliau adalah Nabi Muhammad SAW, yang
melahirkan jutaan pahlawan, yang kepahlawanannya menginspirasi setiap orang
untuk senantiasa berjiwa pahlawan.
Kekaguman terhadap baginda Rasul
tentu bukan tanpa alasan, bukan pula karena keterpaksaan, apalagi hanya sekedar
ikut-ikutan. Perangainya seolah menjadi oase di tengah keringnya sungai
peradaban, yang mampu mengalirkan buih-buih cinta yang kian membuncah
menghantam menjadi ombak kerinduan yang begitu mendalam, menghanyutkan
baju-baju kesombongan, kepongahan, dan nafsu kebinatangan.
Pahlawan Kasih
Beliau adalah pahlawannya para
pahlawan yang senantiasa mengajarkan cinta dan kasih sayang, sosok yang tak
pernah memelihara sifat balas dendam dan kebencian sekalipun terhadap orang
yang sangat membencinya.
Memori kita tak akan pernah lupa
dengan kesabaran dahsyat yang dimiliki Nabi Muhammad SAW. Dikisahkan, setiap
beliau hendak beribadah ke Masjid, ada seorang yang selalu menghina bahkan
melemparinya dengan penuh kebencian, bukan hanya dengan benda biasa bahkan dengan
kotoran, namun tak pernah sedikitpun beliau marah padahal kejadian itu
berlangsung setiap hari, sampai suatu saat beliau kangen dibuatnya, karena
beberapa hari beliau tidak bertemu dengannya hingga terdengar kabar bahwa orang
tersebut sedang sakit. Mulianya beliau justru orang tersebut dijenguknya,
diusapin dengan penuh kasih sayang bahkan didoakannya. Subhanalloh,
begitulah semestinya seorang pahlawan, bandingkan dengan kita, ah sudah pasti
sangat susah membandingkannya.
Pahlawan Cinta
Nabi Muhammad SAW adalah sosok
pemimpin sejati yang tak pernah berpikir kepentingan pribadi, hatinya begitu
suci, perhatian terhadap umatnya tak ada yang menandingi.
Suatu saat terjadi dialog yang
mengharukan antara Nabi Muhammad SAW dengan para sahabat yang ketika itu Nabi
dalam keadaan menangis, para sahabat kemudian bertanya apakah gerangan yang
menyebabkan baginda menangis, beliau menjawab "aku sedang merindukan para
kekasihku", para sahabatpun semakin heran dan bertanya "apakah kami
ini bukan kekasihmu", Nabi pun menjawab "kalian adalah sahabatku,
sementara kekasihku adalah orang-orang yang lahir di zaman setelah kalian, yang
mencintaiku padahal mereka belum pernah melihatku." Oh... dahsyatnya
pahlawanku, memang begitulah watak pahlawan sejati.”
Pahlawan Pembasmi
Kebodohan
Nabi Muhammad SAW adalah gurunya
para guru, yang menjadi motor penggerak sekaligus pendobrak kebodohan,
menghancurkan masa kejahiliyahan yang kemudian bertansformasi menjadi masa
kecerdasan dan masa kebermartabatan.
Sudah mafhum bahwa Nabi diutus dengan
satu misi yaitu menyempurnakan akhlak, keadaan kaum Quraiys saat itu dikenal
dengan masa jahiliyah atau zaman kebodohan, betapa tidak, masa itu perbudakan
masih terjadi, penghinaan terhadap harkat dan derajat perempuan begitu masif,
ada semacam perasaan terhina jika anaknya yang lahir berjenis kelamin
perempuan, perampasan kehormatan serta perdagangan manusia menjadi sesuatu yang
sangat lumrah, ah... kita tidak bisa membayangkan betapa beratnya hidup di masa
itu. Perjuangan Nabi SAW tentu bukan sesuatu yang sederhana, begitu berat
bahkan sangat berat, bukan hanya berhadapan dengan orang-orang berotot kuat,
tapi juga bagaimana meruntuhkan sesuatu yang sudah menjadi tabiat yang lama
kelamaan menjelma menjadi sebuah kebenaran, setidaknya menurut adat istiadat
mereka. Bukan hanya menghadapi orang lain, bahkan justru dengan saudaranya sendiri.
Beliau tak pernah gentar menghadapi segala rintangan, semangatnya tak pernah
surut alih-alih menjadi pengecut, sampai akhirnya beliau berhasil membangun
peradaban yang sangat bermartabat dengan puing-puing pengetahuan yang mampu
memanusiakan manusia.
Refleksi
Pertempuran Surabaya yang terjadi antara tentara dan milisi pro-kemerdekaan Indonesia melawan tentara Britania Raya dan India pada tanggal 10 Nopember 1945 lalu menjadi momentum bersejarah yang tak akan pernah terlupakan anak bangsa. Ancaman Mayor Jenderal Robert Mansergh (pengganti Mayor Jenderal Mallaby yang terbunuh) agar orang Indonesia melucuti senjata karena disinyalir telah menewaskan Mallaby bukannya membuat nyali para pejuang ciut, justru sebaliknya memicu semangat juang yang begitu dahsyat, seolah membangunkan macan yang sedang tertidur, mengeluarkan taring-taring tajam yang siap menerkam, tanpa takut melihat kekarnya lawan dan kecanggihan persenjataan. Ini menginspirasi agar kita jangan pernah takut menghancurkan kebathilan, tegakkan kebenaran sekalipun langit runtuh, jangan pernah goyang menghadapi segala bentuk penindasan, termasuk penindasan moralitas yang dihembuskan para penjajah yang tidak suka kalau generasi muda kita maju dan bermartabat.
Hal lain yang bisa kita analisa adalah bahwa pertempuran Surabaya itu terjadi setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Ironis memang, logika sederhana kita mengatakan bahwa kalau sudah merdeka kenapa mesti ada peperangan kembali. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa sesungguhnya perjuangan itu tak akan pernah usai, akan selalu lahir cobaan-cobaan dahsyat yang menguji kesabaran, kita harus survive dalam segala keadaan.
Sejarah mencatat, bukan hanya Bung Tomo saja yang semangat juangnya membuncah, mengalirkan energi juang ke setiap anak bangsa saat itu, para kyai pesantren pun ikut terlibat menggelorakan semangat cinta tanah air kepada para santrinya, seperti KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahab Hasbullah. Doktrin Hubbul Wathon Minal Iman (mencintai Negara adalah sebagian dari Iman) begitu dahsyat, mendarah daging dan kemudian menggumpal menjadi kepalan-kepalan tangan kekar yang siap menghantam menaklukan kerasnya tembok Gedung Internatio yang menjadi tempat berkumpulnya para penjajah tengil, serta siap merobek kain biru yang menempel di bawah bendera merah putih sebagai benderanya Belanda yang dikibarkan oleh anak buahnya Mr. W. V. Ch. Ploegman di Hotel Yamato.
Dari sini kita bisa belajar bahwa nilai-nilai spiritualitas itu sangatlah penting, dia bisa menjadi energi tak tertandingi, melahirkan sosok-sosok heroik yang bersih dari sifat hedonisme, dan inilah ajaran Nabi yang sesungguhnya, ajaran seorang pahlawan yang melahirkan jutaan pahlawan.
Wallohu a'lam
Refleksi
Pertempuran Surabaya yang terjadi antara tentara dan milisi pro-kemerdekaan Indonesia melawan tentara Britania Raya dan India pada tanggal 10 Nopember 1945 lalu menjadi momentum bersejarah yang tak akan pernah terlupakan anak bangsa. Ancaman Mayor Jenderal Robert Mansergh (pengganti Mayor Jenderal Mallaby yang terbunuh) agar orang Indonesia melucuti senjata karena disinyalir telah menewaskan Mallaby bukannya membuat nyali para pejuang ciut, justru sebaliknya memicu semangat juang yang begitu dahsyat, seolah membangunkan macan yang sedang tertidur, mengeluarkan taring-taring tajam yang siap menerkam, tanpa takut melihat kekarnya lawan dan kecanggihan persenjataan. Ini menginspirasi agar kita jangan pernah takut menghancurkan kebathilan, tegakkan kebenaran sekalipun langit runtuh, jangan pernah goyang menghadapi segala bentuk penindasan, termasuk penindasan moralitas yang dihembuskan para penjajah yang tidak suka kalau generasi muda kita maju dan bermartabat.
Hal lain yang bisa kita analisa adalah bahwa pertempuran Surabaya itu terjadi setelah bangsa Indonesia menyatakan kemerdekaannya. Ironis memang, logika sederhana kita mengatakan bahwa kalau sudah merdeka kenapa mesti ada peperangan kembali. Dari sini kita bisa mengambil pelajaran bahwa sesungguhnya perjuangan itu tak akan pernah usai, akan selalu lahir cobaan-cobaan dahsyat yang menguji kesabaran, kita harus survive dalam segala keadaan.
Sejarah mencatat, bukan hanya Bung Tomo saja yang semangat juangnya membuncah, mengalirkan energi juang ke setiap anak bangsa saat itu, para kyai pesantren pun ikut terlibat menggelorakan semangat cinta tanah air kepada para santrinya, seperti KH. Hasyim Asy'ari dan KH. Wahab Hasbullah. Doktrin Hubbul Wathon Minal Iman (mencintai Negara adalah sebagian dari Iman) begitu dahsyat, mendarah daging dan kemudian menggumpal menjadi kepalan-kepalan tangan kekar yang siap menghantam menaklukan kerasnya tembok Gedung Internatio yang menjadi tempat berkumpulnya para penjajah tengil, serta siap merobek kain biru yang menempel di bawah bendera merah putih sebagai benderanya Belanda yang dikibarkan oleh anak buahnya Mr. W. V. Ch. Ploegman di Hotel Yamato.
Dari sini kita bisa belajar bahwa nilai-nilai spiritualitas itu sangatlah penting, dia bisa menjadi energi tak tertandingi, melahirkan sosok-sosok heroik yang bersih dari sifat hedonisme, dan inilah ajaran Nabi yang sesungguhnya, ajaran seorang pahlawan yang melahirkan jutaan pahlawan.
Wallohu a'lam
Tidak ada komentar:
Posting Komentar