Jumat, 16 Desember 2011

Bung Karno, Pak Harto, Muammar Qaddafi, dan Ibadah Sosial

Oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA

Saat berkunjung ke Rusia pada tahun 1950-an, Presiden Soekarno menyaksikan hanya ada satu masjid yang diizinkan Pemerintah Uni Soviet untuk dipakai oleh umat Islam. Namun, atas upaya Bung Karno kepada Pemerintah Uni Soviet, umat Islam di negeri beruang putih itu bisa memiliki sebuah masjid lagi di St Petersburg, yang dikenal dengan masjid biru. Sejak saat itu, Bung Karno dianggap sebagai pahlawan bagi umat Islam.

Dalam konteks ini, Bung Karno telah menjalankan dua ibadah, yakni ibadah individual dan sosial. Ibadah individual telah terputus dengan wafatnya Bung karno. Tapi, ibadah sosial akan terus berlanjut, selama masjid itu dipakai umat Islam Rusia.


Pada pembangunan Masjid Istiqlal Jakarta, Bung Karno juga punya andil besar. Beliau berupaya mencarikan dana untuk pembangunan masjid tersebut. Mungkin, tanpa dukungan Bung Karno, baik secara moral maupun material, boleh jadi Masjid Istiqlal belum terwujud. Karena itu, selagi Masjid Istiqlal dipakai oleh umat Islam, selama itu pula Bung Karno akan mendapatkan pahala sebesar pahala umat Islam yang beribadah di Masjid Istiqlal. Masjid biru dan Masjid Istiqlal menjadi contoh ibadah sosial yang telah dilakukan oleh Bung Karno.

Seperti halnya Bung Karno, Pak Harto juga punya kontribusi bagi umat Islam. Sekadar contoh Pak Harto memprakarsai berdirinya ribuan masjid yang berada dalam naungan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Pak Harto juga turut andil atas pendirian Masjid At-Tin di Pondok Gede, Jakarta Timur. Selagi masid-masjid itu dipakai oleh umat Islam, selama itu pula Pak Harto akan tetap mendapatkan pahala sebesar pahala umat Islam yang menggunakan masjid-masjid tersebut.

Demikian pula dengan Muamar Qadafi, mantan pemimpin Libya. Muamar Qadafi turut membantu memberikan sumbangan dana untuk pembangunan sejumlah masjid di Indonesia. Di antaranya, masjid di Toronto, Kanada, dan Masjid Muammar Qadhafi di Sentul, Bogor. Selain itu, Qadafi juga telah mengirimkan dan menggaji sekitar 5.700 orang dai yang disebarkan ke berbagai penjuru dunia untuk menyampaikan dakwah Islam.

Selagi masjid-masjid itu digunakan oleh umat Islam dan murid-murid dari para dai yang dikirimkan itu untuk menjalankan ibadah, niscaya selama itu pula Qadafi akan tetap mendapatkan pahala sejumlah orang-orang yang beribadah itu kendati jasadnya sudah hancur dimakan tanah.

Dalam ibadah, jika ibadah sosial dan individual sama-sama hukumnya sunah, Rasulullah SAW akan memprioritaskan ibadah sosial. Karena ibadah sosial merupakan ibadah yang pahalanya jauh lebih besar dan berkelanjutan bahkan hingga hari kiamat, dibandingkan dengan ibadah individual yang manfaatnya hanya sementara. Sebuah kaidah fikih menyebutkan; "Ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual."

Karena itu, tidak mustahil ibadah-ibadah sosial yang dilakukan ketiga pemimpin itu akan mengantarkan mereka ke dalam surga. Kendati, mereka punya kesalahan di masa silam. Ini berbeda dengan mayoritas kita yang saat ini lebih banyak mementingkan ibadah individual ketimbang ibadah sosial.

Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/12/15/lw81by-bung-karno-pak-harto-muammar-qaddafi-dan-ibadah-sosial

Menemui Allah

Oleh Ustaz Hasan Basri Tanjung
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Jumat, 16 Desember 2011

Bahasan ini sebenarnya telah masuk ranah tasawuf dan hanya bisa dijelaskan dengan baik oleh ahli tasawuf (sufi) yang mencapai maqam (tingkatan spiritual) mahabbah (cinta Allah) dan makrifah (mengenal Allah). Salah satu jalan untuk menemui Allah SWT adalah mengunjungi Rumah-Nya, Baitullah.

Dalam sebuah hadis Qudsi dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu (ra) yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung akan berfirman pada Hari Kiamat, 'Wahai putra-putri Adam (Ibnu Adam), Aku sakit, tetapi mengapa engkau tak mengunjungi-Ku? Ibnu Adam bertanya, 'Yaa Rabb, bagaimana aku mengunjungi-Mu sedang Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?' Allah berfirman, 'Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, mengapa engkau tidak menjenguknya? Tidakkah engkau tahu, sekiranya engkau menjenguknya, niscaya engkau akan menemukan Aku di sana'."

"Wahai putra-putri Adam, Aku minta makanan kepadamu, tapi mengapa engkau tidak memberi-Ku makan?" Ibnu Adam pun bertanya, "Ya Rabb, bagaimana aku memberi-Mu makan, sedang engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?" Allah berfirman, "Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan telah meminta makanan kepadamu, mengapa engkau tidak memberinya makan? Tidakkah engkau tahu, seandainya engkau memberinya makan, niscaya engkau akan mendapatkan itu (ganjarannya) di sisiku?"

Jika kita simak hadis di atas, pesan pertama sebagai jalan menemui Allah adalah membesuk orang sakit. Boleh jadi, karena orang sakit sedang berada di persimpangan jalan, yakni antara hidup dan mati. Seorang yang sakit keras atau kritis, sedemikian dekat kepada Allah. Sejatinya, ia berhak atas Muslim yang lain untuk dijenguk dan wajib bagi seorang Muslim untuk menjeguknya (HR Muslim).

Mengunjungi orang sakit tidak sekadar lepasnya kewajiban, tapi justru dapat mengeratkan persaudaraan dan keharmonisan sosial. Doa yang dipanjatkan dan kegembiraan hatinya bisa mempercepat kesembuhan. Jika kita ingin menemui Allah, maka kunjungilah orang-orang sakit yang bersandar dan bergantung penuh hanya kepada Allah SWT.

Pesan kedua dari hadis di atas adalah memberi makan dan minum untuk kaum dhuafa. Mereka adalah orang yang dikasih dan sengaja dihadirkan Allah untuk menguji keimanan dan komitmen sosial kita dalam upaya berjumpa dengan Allah SWT.

Konon, Nabi Musa AS pernah bertanya kepada Allah, di mana ia bisa menemui-Nya. Allah menjawab, "Temuilah Aku di tengah orang yang hancur hatinya." Karena itulah, Allah SWT menyuruh kita untuk memberi makan orang yatim, miskin, dan yang tertawan hidupnya, bahkan dinilai sebagai pendusta agama jika tidak menyantuni mereka. (QS 2:177,90:14-16,93:9-10,107:3).

Demikianlah Islam mengajarkan ibadah yang sebenarnya, yakni ibadah yang berdimensi individual dan sosial sekaligus. "Jangan menunggu kaya baru bersedekah, tapi bersedekahlah agar menjadi kaya. Jangan menunggu sukses baru bersyukur tapi bersyukurlah agar bertambah sukses." Wallahu a'lam bish-shawab.