Oleh Prof Dr KH Ali Mustafa Yaqub MA
Saat berkunjung ke Rusia pada tahun 1950-an, Presiden Soekarno menyaksikan hanya ada satu masjid yang diizinkan Pemerintah Uni Soviet untuk dipakai oleh umat Islam. Namun, atas upaya Bung Karno kepada Pemerintah Uni Soviet, umat Islam di negeri beruang putih itu bisa memiliki sebuah masjid lagi di St Petersburg, yang dikenal dengan masjid biru. Sejak saat itu, Bung Karno dianggap sebagai pahlawan bagi umat Islam.
Dalam konteks ini, Bung Karno telah menjalankan dua ibadah, yakni ibadah individual dan sosial. Ibadah individual telah terputus dengan wafatnya Bung karno. Tapi, ibadah sosial akan terus berlanjut, selama masjid itu dipakai umat Islam Rusia.
Pada pembangunan Masjid Istiqlal Jakarta, Bung Karno juga punya andil besar. Beliau berupaya mencarikan dana untuk pembangunan masjid tersebut. Mungkin, tanpa dukungan Bung Karno, baik secara moral maupun material, boleh jadi Masjid Istiqlal belum terwujud. Karena itu, selagi Masjid Istiqlal dipakai oleh umat Islam, selama itu pula Bung Karno akan mendapatkan pahala sebesar pahala umat Islam yang beribadah di Masjid Istiqlal. Masjid biru dan Masjid Istiqlal menjadi contoh ibadah sosial yang telah dilakukan oleh Bung Karno.
Seperti halnya Bung Karno, Pak Harto juga punya kontribusi bagi umat Islam. Sekadar contoh Pak Harto memprakarsai berdirinya ribuan masjid yang berada dalam naungan Yayasan Amal Bakti Muslim Pancasila. Pak Harto juga turut andil atas pendirian Masjid At-Tin di Pondok Gede, Jakarta Timur. Selagi masid-masjid itu dipakai oleh umat Islam, selama itu pula Pak Harto akan tetap mendapatkan pahala sebesar pahala umat Islam yang menggunakan masjid-masjid tersebut.
Demikian pula dengan Muamar Qadafi, mantan pemimpin Libya. Muamar Qadafi turut membantu memberikan sumbangan dana untuk pembangunan sejumlah masjid di Indonesia. Di antaranya, masjid di Toronto, Kanada, dan Masjid Muammar Qadhafi di Sentul, Bogor. Selain itu, Qadafi juga telah mengirimkan dan menggaji sekitar 5.700 orang dai yang disebarkan ke berbagai penjuru dunia untuk menyampaikan dakwah Islam.
Selagi masjid-masjid itu digunakan oleh umat Islam dan murid-murid dari para dai yang dikirimkan itu untuk menjalankan ibadah, niscaya selama itu pula Qadafi akan tetap mendapatkan pahala sejumlah orang-orang yang beribadah itu kendati jasadnya sudah hancur dimakan tanah.
Dalam ibadah, jika ibadah sosial dan individual sama-sama hukumnya sunah, Rasulullah SAW akan memprioritaskan ibadah sosial. Karena ibadah sosial merupakan ibadah yang pahalanya jauh lebih besar dan berkelanjutan bahkan hingga hari kiamat, dibandingkan dengan ibadah individual yang manfaatnya hanya sementara. Sebuah kaidah fikih menyebutkan; "Ibadah sosial lebih utama daripada ibadah individual."
Karena itu, tidak mustahil ibadah-ibadah sosial yang dilakukan ketiga pemimpin itu akan mengantarkan mereka ke dalam surga. Kendati, mereka punya kesalahan di masa silam. Ini berbeda dengan mayoritas kita yang saat ini lebih banyak mementingkan ibadah individual ketimbang ibadah sosial.
Sumber: http://www.republika.co.id/berita/dunia-islam/hikmah/11/12/15/lw81by-bung-karno-pak-harto-muammar-qaddafi-dan-ibadah-sosial
Jumat, 16 Desember 2011
Menemui Allah
Oleh Ustaz Hasan Basri Tanjung
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Jumat, 16 Desember 2011
Bahasan ini sebenarnya telah masuk ranah tasawuf dan hanya bisa dijelaskan dengan baik oleh ahli tasawuf (sufi) yang mencapai maqam (tingkatan spiritual) mahabbah (cinta Allah) dan makrifah (mengenal Allah). Salah satu jalan untuk menemui Allah SWT adalah mengunjungi Rumah-Nya, Baitullah.
Dalam sebuah hadis Qudsi dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu (ra) yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung akan berfirman pada Hari Kiamat, 'Wahai putra-putri Adam (Ibnu Adam), Aku sakit, tetapi mengapa engkau tak mengunjungi-Ku? Ibnu Adam bertanya, 'Yaa Rabb, bagaimana aku mengunjungi-Mu sedang Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?' Allah berfirman, 'Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, mengapa engkau tidak menjenguknya? Tidakkah engkau tahu, sekiranya engkau menjenguknya, niscaya engkau akan menemukan Aku di sana'."
"Wahai putra-putri Adam, Aku minta makanan kepadamu, tapi mengapa engkau tidak memberi-Ku makan?" Ibnu Adam pun bertanya, "Ya Rabb, bagaimana aku memberi-Mu makan, sedang engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?" Allah berfirman, "Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan telah meminta makanan kepadamu, mengapa engkau tidak memberinya makan? Tidakkah engkau tahu, seandainya engkau memberinya makan, niscaya engkau akan mendapatkan itu (ganjarannya) di sisiku?"
Jika kita simak hadis di atas, pesan pertama sebagai jalan menemui Allah adalah membesuk orang sakit. Boleh jadi, karena orang sakit sedang berada di persimpangan jalan, yakni antara hidup dan mati. Seorang yang sakit keras atau kritis, sedemikian dekat kepada Allah. Sejatinya, ia berhak atas Muslim yang lain untuk dijenguk dan wajib bagi seorang Muslim untuk menjeguknya (HR Muslim).
Mengunjungi orang sakit tidak sekadar lepasnya kewajiban, tapi justru dapat mengeratkan persaudaraan dan keharmonisan sosial. Doa yang dipanjatkan dan kegembiraan hatinya bisa mempercepat kesembuhan. Jika kita ingin menemui Allah, maka kunjungilah orang-orang sakit yang bersandar dan bergantung penuh hanya kepada Allah SWT.
Pesan kedua dari hadis di atas adalah memberi makan dan minum untuk kaum dhuafa. Mereka adalah orang yang dikasih dan sengaja dihadirkan Allah untuk menguji keimanan dan komitmen sosial kita dalam upaya berjumpa dengan Allah SWT.
Konon, Nabi Musa AS pernah bertanya kepada Allah, di mana ia bisa menemui-Nya. Allah menjawab, "Temuilah Aku di tengah orang yang hancur hatinya." Karena itulah, Allah SWT menyuruh kita untuk memberi makan orang yatim, miskin, dan yang tertawan hidupnya, bahkan dinilai sebagai pendusta agama jika tidak menyantuni mereka. (QS 2:177,90:14-16,93:9-10,107:3).
Demikianlah Islam mengajarkan ibadah yang sebenarnya, yakni ibadah yang berdimensi individual dan sosial sekaligus. "Jangan menunggu kaya baru bersedekah, tapi bersedekahlah agar menjadi kaya. Jangan menunggu sukses baru bersyukur tapi bersyukurlah agar bertambah sukses." Wallahu a'lam bish-shawab.
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Jumat, 16 Desember 2011
Bahasan ini sebenarnya telah masuk ranah tasawuf dan hanya bisa dijelaskan dengan baik oleh ahli tasawuf (sufi) yang mencapai maqam (tingkatan spiritual) mahabbah (cinta Allah) dan makrifah (mengenal Allah). Salah satu jalan untuk menemui Allah SWT adalah mengunjungi Rumah-Nya, Baitullah.
Dalam sebuah hadis Qudsi dari Abu Hurairah radhiyallahu anhu (ra) yang diriwayatkan oleh Imam Muslim, Rasulullah SAW bersabda, "Sesungguhnya Allah Yang Mahamulia lagi Mahaagung akan berfirman pada Hari Kiamat, 'Wahai putra-putri Adam (Ibnu Adam), Aku sakit, tetapi mengapa engkau tak mengunjungi-Ku? Ibnu Adam bertanya, 'Yaa Rabb, bagaimana aku mengunjungi-Mu sedang Engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?' Allah berfirman, 'Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan sakit, mengapa engkau tidak menjenguknya? Tidakkah engkau tahu, sekiranya engkau menjenguknya, niscaya engkau akan menemukan Aku di sana'."
"Wahai putra-putri Adam, Aku minta makanan kepadamu, tapi mengapa engkau tidak memberi-Ku makan?" Ibnu Adam pun bertanya, "Ya Rabb, bagaimana aku memberi-Mu makan, sedang engkau adalah Tuhan seru sekalian alam?" Allah berfirman, "Tidakkah engkau tahu bahwa hamba-Ku si Fulan telah meminta makanan kepadamu, mengapa engkau tidak memberinya makan? Tidakkah engkau tahu, seandainya engkau memberinya makan, niscaya engkau akan mendapatkan itu (ganjarannya) di sisiku?"
Jika kita simak hadis di atas, pesan pertama sebagai jalan menemui Allah adalah membesuk orang sakit. Boleh jadi, karena orang sakit sedang berada di persimpangan jalan, yakni antara hidup dan mati. Seorang yang sakit keras atau kritis, sedemikian dekat kepada Allah. Sejatinya, ia berhak atas Muslim yang lain untuk dijenguk dan wajib bagi seorang Muslim untuk menjeguknya (HR Muslim).
Mengunjungi orang sakit tidak sekadar lepasnya kewajiban, tapi justru dapat mengeratkan persaudaraan dan keharmonisan sosial. Doa yang dipanjatkan dan kegembiraan hatinya bisa mempercepat kesembuhan. Jika kita ingin menemui Allah, maka kunjungilah orang-orang sakit yang bersandar dan bergantung penuh hanya kepada Allah SWT.
Pesan kedua dari hadis di atas adalah memberi makan dan minum untuk kaum dhuafa. Mereka adalah orang yang dikasih dan sengaja dihadirkan Allah untuk menguji keimanan dan komitmen sosial kita dalam upaya berjumpa dengan Allah SWT.
Konon, Nabi Musa AS pernah bertanya kepada Allah, di mana ia bisa menemui-Nya. Allah menjawab, "Temuilah Aku di tengah orang yang hancur hatinya." Karena itulah, Allah SWT menyuruh kita untuk memberi makan orang yatim, miskin, dan yang tertawan hidupnya, bahkan dinilai sebagai pendusta agama jika tidak menyantuni mereka. (QS 2:177,90:14-16,93:9-10,107:3).
Demikianlah Islam mengajarkan ibadah yang sebenarnya, yakni ibadah yang berdimensi individual dan sosial sekaligus. "Jangan menunggu kaya baru bersedekah, tapi bersedekahlah agar menjadi kaya. Jangan menunggu sukses baru bersyukur tapi bersyukurlah agar bertambah sukses." Wallahu a'lam bish-shawab.
Senin, 14 November 2011
Keislaman Indonesia
Sunan Gunung Djati-Sebuah penelitian sosial bertema ”How Islamic are Islamic Countries” menilai Selandia Baru berada di urutan pertama negara yang paling islami di antara 208 negara, diikuti Luksemburg di urutan kedua. Sementara Indonesia yang mayoritas penduduknya Muslim menempati urutan ke-140.
Adalah Scheherazade S Rehman dan Hossein Askari dari The George Washington University yang melakukan penelitian ini. Hasilnya dipublikasikan dalam Global Economy Journal (Berkeley Electronic Press, 2010). Pertanyaan dasarnya adalah seberapa jauh ajaran Islam dipahami dan memengaruhi perilaku masyarakat Muslim dalam kehidupan bernegara dan sosial?
Ajaran dasar Islam yang dijadikan indikator dimaksud diambil dari Al Quran dan hadis, dikelompokkan menjadi lima aspek. Pertama, ajaran Islam mengenai hubungan seseorang dengan Tuhan dan hubungan sesama manusia. Kedua, sistem ekonomi dan prinsip keadilan dalam politik serta kehidupan sosial. Ketiga, sistem perundang-undangan dan pemerintahan. Keempat, hak asasi manusia dan hak politik. Kelima, ajaran Islam berkaitan dengan hubungan internasional dan masyarakat non-Muslim.
Setelah ditentukan indikatornya, lalu diproyeksikan untuk menimbang kualitas keberislaman 56 negara Muslim yang menjadi anggota Organisasi Kerja Sama Islam (OKI), yang rata-rata berada di urutan ke-139 dari sebanyak 208 negara yang disurvei.
Pengalaman UIN Jakarta
Kesimpulan penelitian di atas tak jauh berbeda dari pengalaman dan pengakuan beberapa ustaz dan kiai sepulang dari Jepang setelah kunjungan selama dua minggu di Negeri Sakura. Program ini sudah berlangsung enam tahun atas kerja sama Universitas Islam Negeri (UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta, dengan Kedutaan Besar Jepang di Jakarta.
Para ustaz dan kiai itu difasilitasi untuk melihat dari dekat kehidupan sosial di sana dan bertemu sejumlah tokoh. Setiba di Tanah Air, hampir semua mengakui bahwa kehidupan sosial di Jepang lebih mencerminkan nilai-nilai Islam ketimbang yang mereka jumpai, baik di Indonesia maupun di Timur Tengah. Masyarakat terbiasa antre, menjaga kebersihan, kejujuran, suka menolong, dan nilai-nilai Islam lain yang justru makin sulit ditemukan di Indonesia.
Pernyataan serupa pernah dikemukakan Muhammad Abduh, ulama besar Mesir, setelah berkunjung ke Eropa. ”Saya lebih melihat Islam di Eropa, tetapi kalau orang Muslim banyak saya temukan di dunia Arab,” katanya.Kalau saja yang dijadikan indikator penelitian untuk menimbang keberislaman masyarakat itu ditekankan pada aspek ritual-individual, saya yakin Indonesia akan menduduki peringkat pertama menggeser Selandia Baru. Jumlah yang pergi haji setiap tahun meningkat, selama Ramadhan masjid penuh dan pengajian semarak di mana-mana. Tidak kurang dari 20 stasiun televisi di Indonesia setiap hari pasti menyiarkan dakwah agama. Terlebih lagi selama bulan Ramadhan, hotel pun diramaikan oleh tarawih bersama. Ditambah lagi yang namanya ormas dan parpol Islam yang terus bermunculan.
Namun, pertanyaan yang dimunculkan oleh Rehman dan Askari bukan semarak ritual, melainkan seberapa jauh ajaran Islam itu membentuk kesalehan sosial berdasarkan ajaran Al Quran dan hadis.
Contoh perilaku sosial di Indonesia yang sangat jauh dari ajaran Islam adalah maraknya korupsi, sistem ekonomi dengan bunga tinggi, kekayaan tak merata, persamaan hak bagi setiap warga untuk memperoleh pelayanan negara dan untuk berkembang, serta banyak aset sosial yang mubazir. Apa yang dikecam ajaran Islam itu ternyata lebih mudah ditemukan di masyarakat Muslim ketimbang negara-negara Barat. Kedua peneliti itu menyimpulkan: …it is our belief that most self-declared and labeled Islamic countries are not conducting their affairs in accordance with Islamic teachings – at least when it comes to economic, financial, political, legal, social and governance policies.
Dari 56 negara anggota OKI, yang memperoleh nilai tertinggi adalah Malaysia (urutan ke-38), Kuwait (48), Uni Emirat Arab (66), Maroko (119), Arab Saudi (131), Indonesia (140), Pakistan (147), Yaman (198), dan terburuk adalah Somalia (206). Negara Barat yang dinilai mendekati nilai-nilai Islam adalah Kanada di urutan ke-7, Inggris (8), Australia (9), dan Amerika Serikat (25).
Sekali lagi, penelitian ini tentu menyisakan banyak pertanyaan serius yang perlu juga dijawab melalui penelitian sebanding. Jika masyarakat atau negara Muslim korup dan represif, apakah kesalahan ini lebih disebabkan oleh perilaku masyarakatnya ataukah pada sistem pemerintahannya? Atau akibat sistem dan kultur pendidikan Islam yang salah? Namun, satu hal yang pasti, penelitian ini menyimpulkan bahwa perilaku sosial, ekonomi, dan politik negara-negara anggota OKI justru berjarak lebih jauh dari ajaran Islam dibandingkan negara-negara non-Muslim yang perilakunya lebih islami.
Semarak dakwah dan ritualHasil penelitian ini juga menyisakan pertanyaan besar dan mendasar: mengapa semarak dakwah dan ritual keagamaan di Indonesia tak mampu mengubah perilaku sosial dan birokrasi sebagaimana yang diajarkan Islam, yang justru dipraktikkan di negara-negara sekuler?
Tampaknya keberagamaan kita lebih senang di level dan semarak ritual untuk mengejar kesalehan individual, tetapi menyepelekan kesalehan sosial. Kalau seorang Muslim sudah melaksanakan lima rukun Islam—syahadat, shalat, puasa, zakat, haji—dia sudah merasa sempurna. Semakin sering berhaji, semakin sempurna dan hebatlah keislamannya. Pada hal misi Rasulullah itu datang untuk membangun peradaban yang memiliki tiga pilar utama: keilmuan, ketakwaan, dan akhlak mulia atau integritas. Hal yang terakhir inilah, menurut penelitian Rehman dan Askari, dunia Islam mengalami krisis.
Sekali lagi, kita boleh setuju atau menolak hasil penelitian ini dengan cara melakukan penelitian tandingan. Jadi, jika ada pertanyaan: How Islamic are Islamic Political Parties?, menarik juga dilakukan penelitian dengan terlebih dahulu membuat indikator atau standar berdasarkan Al Quran dan hadis. Lalu, diproyeksikan juga untuk menakar keberislaman perilaku partai-partai yang mengusung simbol dan semangat agama dalam perilaku sosialnya.
Komaruddin Hidayat Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Jakarta
Sumber Kompas, 5 Nov 2011
Senin, 24 Oktober 2011
Tugas Mata Kuliah Metodologi Penelitian
Soal:
1. Tentukan dua contoh judul penelitian (satu bersifat kualitatif dan satu lagi bersifat kuantitatif)
2. Buatlah kuisioner (daftar pertanyaan) yang akan diajukan kepada responden berkaitan dengan judul penelitian kuantitatif yang anda tentukan pada nomor satu.
Ketentuan:
a. Jawaban dikirim melalui e-mail ke: ade.azu@bsi.ac.id dengan judul: Metlit_Kelas_NIM_Nama
b. Kuisioner tidak boleh sama dengan mahasiswa/i yang lain.
c. Tugas tersebut merupakan pengganti kuiz di pertemuan ke-7, sehingga harus sudah dikirim paling lambat pada pertemuan ke-7 tersebut.
d. Jika pada pertemuan ke-7 belum dikirim, maka mahasiswa/i yang bersangkutan dianggap tidak hadir pada pertemuan ke-7 tersebut.
1. Tentukan dua contoh judul penelitian (satu bersifat kualitatif dan satu lagi bersifat kuantitatif)
2. Buatlah kuisioner (daftar pertanyaan) yang akan diajukan kepada responden berkaitan dengan judul penelitian kuantitatif yang anda tentukan pada nomor satu.
Ketentuan:
a. Jawaban dikirim melalui e-mail ke: ade.azu@bsi.ac.id dengan judul: Metlit_Kelas_NIM_Nama
b. Kuisioner tidak boleh sama dengan mahasiswa/i yang lain.
c. Tugas tersebut merupakan pengganti kuiz di pertemuan ke-7, sehingga harus sudah dikirim paling lambat pada pertemuan ke-7 tersebut.
d. Jika pada pertemuan ke-7 belum dikirim, maka mahasiswa/i yang bersangkutan dianggap tidak hadir pada pertemuan ke-7 tersebut.
Jumat, 21 Oktober 2011
TUGAS MATA KULIAH AGAMA ISLAM
1. Argumentasi apa yang anda yakini (bukan apologi) sehingga anda benar-benar yakin bahwa Islam adalah agama yang tepat bagi anda?
2. Apa yang anda lakukan jika anda mendapatkan persoalan (masalah hukum Islam) yang ketentuan hukumnya belum anda temukan pada Al-Qur’an atau Hadits, bahkan ulamapun belum ada yang membahas persoalan tersebut?
3. Jika di lingkungan anda ada perselisihan di antara warga yang diakibatkan karena ada perbedaan teknis beribadah, apa yang anda lakukan?
4. Solusi apa yang bisa anda lakukan untuk meminimalisir pornografi yang saat ini sudah merajalela baik lewat CD/VCD/Buku/TV/Internet dan lain sebagainya?
5. Menurut data statistik, secara kuantitas umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, kenapa perkembangan sistem perekonomiannya masih rendah dibanding sistem perekonomian konvensional? Bagaimana solusi pengembangannya menurut anda?
Ketentuan:
a. Jawaban singkat tapi padat ( jangan bertele-tele).
b. Dikirim ke: ade.azu@bsi.ac.id dengan judul: AGAMA_KELAS_NIM_NAMA LENGKAP
c. Tugas tersebut merupakan pengganti kuiz di pertemuan ke-7, sehingga harus sudah dikirim paling lambat pada pertemuan ke-7 tersebut.
d. Jika pada pertemuan ke-7 belum dikirim, maka mahasiswa/i yang bersangkutan dianggap tidak hadir pada pertemuan ke-7 tersebut.
Wassalam
2. Apa yang anda lakukan jika anda mendapatkan persoalan (masalah hukum Islam) yang ketentuan hukumnya belum anda temukan pada Al-Qur’an atau Hadits, bahkan ulamapun belum ada yang membahas persoalan tersebut?
3. Jika di lingkungan anda ada perselisihan di antara warga yang diakibatkan karena ada perbedaan teknis beribadah, apa yang anda lakukan?
4. Solusi apa yang bisa anda lakukan untuk meminimalisir pornografi yang saat ini sudah merajalela baik lewat CD/VCD/Buku/TV/Internet dan lain sebagainya?
5. Menurut data statistik, secara kuantitas umat Islam di Indonesia adalah mayoritas, kenapa perkembangan sistem perekonomiannya masih rendah dibanding sistem perekonomian konvensional? Bagaimana solusi pengembangannya menurut anda?
Ketentuan:
a. Jawaban singkat tapi padat ( jangan bertele-tele).
b. Dikirim ke: ade.azu@bsi.ac.id dengan judul: AGAMA_KELAS_NIM_NAMA LENGKAP
c. Tugas tersebut merupakan pengganti kuiz di pertemuan ke-7, sehingga harus sudah dikirim paling lambat pada pertemuan ke-7 tersebut.
d. Jika pada pertemuan ke-7 belum dikirim, maka mahasiswa/i yang bersangkutan dianggap tidak hadir pada pertemuan ke-7 tersebut.
Wassalam
Selasa, 18 Oktober 2011
Iblis dan Ibnu Ummi Maktum
Oleh: Oleh Syahruddin El-Fikri
Sumber: Kolom Hikmah Republika.
Selasa, 18 Oktober 2011
Abdullah bin Ummi Maktum adalah salah seorang sahabat yang mulia. Dia menjadi salah satu sebab turunnya surah 'Abasa. Suatu hari, Abdullah bin Ummi Maktum mengikuti pengajian Rasulullah SAW. Dalam kesempatan itu, Rasul menyampaikan akan kewajiban setiap Muslim yang mendengar azan untuk segera menunaikan shalat. Karena kondisi fisiknya, yakni matanya yang buta, ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW.
"Wahai Rasulullah SAW, apakah saya juga diwajibkan kendati saya tidak bisa melihat?" tanya Ibnu Ummi Maktum. Rasul menjawab, "Apakah kamu mendengar seruan azan?" Ibnu Ummi Maktum menjawab, "Ya, saya mendengarnya." Rasul pun memerintahkannya agar ia tetap pergi ke masjid meskipun sambil merangkak.
Maka, dengan penuh keimanan, setiap azan berkumandang dan waktu shalat tiba, ia pun segera pergi ke masjid dan berjamaah dengan Rasulullah SAW. Suatu ketika di waktu Subuh, saat azan dikumandangkan, Ibnu Ummi Maktum pun bergegas ke masjid. Di tengah jalan, kakinya tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Namun, tekadnya sudah bulat untuk tetap berjamaah ke masjid.
Waktu Subuh berikutnya, ia bertemu dengan seorang pemuda. Pemuda tersebut bermaksud menolongnya dan menuntunnya ke masjid. Selama berhari-hari, sang pemuda ini selalu mengantarnya ke masjid. Ibnu Ummi Maktum pun kemudian ingin membalas kebaikannya. "Wahai saudaraku, siapakah gerangan namamu. Izinkan aku mengetahuimu agar aku bisa mendoakanmu kepada Allah," ujarnya.
"Apa untungnya bagi Anda mengetahui namaku dan aku tak mau engkau doakan," jawab sang pemuda. "Jika demikian, cukuplah sampai di sini saja engkau membantuku. Aku tak mau engkau menolongku lagi sebab engkau tak mau didoakan," tutur Ibnu Ummi Maktum kepada pemuda itu.
Maka, sang pemuda ini pun akhirnya mengenalkan diri. "Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis," ujarnya. "Lalu mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarkanku ke masjid. Bukankah engkau semestinya mencegahku untuk ke masjid?" tanya Ibnu Ummi Maktum lagi.
Sang pemuda yang bernama iblis itu kemudian membuka rahasia atas pertolongannya selama ini. "Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala engkau hendak ke masjid dan engkau terjatuh? Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Sebab, karena engkau terjatuh, Allah telah mengampuni dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau jatuh lagi Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi sehingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Maka, sia-sialah kami menggodamu selama ini," jawab iblis tersebut.
Kisah di atas menggambarkan kepada kita bahwa sesungguhnya iblis tak akan pernah berhenti untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Dalam hal yang baik pun, iblis selalu berusaha untuk membelokkan orang yang beriman ke arah yang dimurkai Allah. Ketahuilah, sesungguhnya iblis itu adalah musuh yang nyata bagi kita. (QS Fatir [35]: 6). Semoga Allah senantiasa membimbing dan meridai setiap ibadah kita. Amin. Wallahu a'lam.
Sumber: Kolom Hikmah Republika.
Selasa, 18 Oktober 2011
Abdullah bin Ummi Maktum adalah salah seorang sahabat yang mulia. Dia menjadi salah satu sebab turunnya surah 'Abasa. Suatu hari, Abdullah bin Ummi Maktum mengikuti pengajian Rasulullah SAW. Dalam kesempatan itu, Rasul menyampaikan akan kewajiban setiap Muslim yang mendengar azan untuk segera menunaikan shalat. Karena kondisi fisiknya, yakni matanya yang buta, ia memberanikan diri bertanya kepada Rasulullah SAW.
"Wahai Rasulullah SAW, apakah saya juga diwajibkan kendati saya tidak bisa melihat?" tanya Ibnu Ummi Maktum. Rasul menjawab, "Apakah kamu mendengar seruan azan?" Ibnu Ummi Maktum menjawab, "Ya, saya mendengarnya." Rasul pun memerintahkannya agar ia tetap pergi ke masjid meskipun sambil merangkak.
Maka, dengan penuh keimanan, setiap azan berkumandang dan waktu shalat tiba, ia pun segera pergi ke masjid dan berjamaah dengan Rasulullah SAW. Suatu ketika di waktu Subuh, saat azan dikumandangkan, Ibnu Ummi Maktum pun bergegas ke masjid. Di tengah jalan, kakinya tersandung batu hingga akhirnya mengeluarkan darah. Namun, tekadnya sudah bulat untuk tetap berjamaah ke masjid.
Waktu Subuh berikutnya, ia bertemu dengan seorang pemuda. Pemuda tersebut bermaksud menolongnya dan menuntunnya ke masjid. Selama berhari-hari, sang pemuda ini selalu mengantarnya ke masjid. Ibnu Ummi Maktum pun kemudian ingin membalas kebaikannya. "Wahai saudaraku, siapakah gerangan namamu. Izinkan aku mengetahuimu agar aku bisa mendoakanmu kepada Allah," ujarnya.
"Apa untungnya bagi Anda mengetahui namaku dan aku tak mau engkau doakan," jawab sang pemuda. "Jika demikian, cukuplah sampai di sini saja engkau membantuku. Aku tak mau engkau menolongku lagi sebab engkau tak mau didoakan," tutur Ibnu Ummi Maktum kepada pemuda itu.
Maka, sang pemuda ini pun akhirnya mengenalkan diri. "Wahai Ibnu Ummi Maktum, ketahuilah sesungguhnya aku adalah iblis," ujarnya. "Lalu mengapa engkau menolongku dan selalu mengantarkanku ke masjid. Bukankah engkau semestinya mencegahku untuk ke masjid?" tanya Ibnu Ummi Maktum lagi.
Sang pemuda yang bernama iblis itu kemudian membuka rahasia atas pertolongannya selama ini. "Wahai Ibnu Ummi Maktum, masih ingatkah engkau beberapa hari yang lalu tatkala engkau hendak ke masjid dan engkau terjatuh? Aku tidak ingin hal itu terulang lagi. Sebab, karena engkau terjatuh, Allah telah mengampuni dosamu yang separuh. Aku takut kalau engkau jatuh lagi Allah akan menghapuskan dosamu yang separuhnya lagi sehingga terhapuslah dosamu seluruhnya. Maka, sia-sialah kami menggodamu selama ini," jawab iblis tersebut.
Kisah di atas menggambarkan kepada kita bahwa sesungguhnya iblis tak akan pernah berhenti untuk menggoda dan menyesatkan manusia. Dalam hal yang baik pun, iblis selalu berusaha untuk membelokkan orang yang beriman ke arah yang dimurkai Allah. Ketahuilah, sesungguhnya iblis itu adalah musuh yang nyata bagi kita. (QS Fatir [35]: 6). Semoga Allah senantiasa membimbing dan meridai setiap ibadah kita. Amin. Wallahu a'lam.
Kamis, 29 September 2011
Kemuliaan Mengalahkan Kebencian
Oleh: Prof Dr Yunahar Ilyas
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Kamis, 29 September 2011
Adi bin Hatim adalah kepala suku Thai yang disegani. Dia mewarisi kepemimpinan bapaknya. Sebagaimana kepala suku, Adi menerima seperempat penghasilan kaumnya sebagai pajak. Hidupnya tenang dengan kekayaan yang melimpah.
Dia sangat membenci Rasulullah SAW, kendati dia belum pernah bertemu. Adi semakin gelisah setelah mendengar kabar pengaruh Rasulullah semakin kuat di jazirah Arabia. Beberapa kepala suku sudah memeluk Islam dan bergabung dengan Madinah. Adi khawatir kedatangan Rasulullah SAW akan mengancam kepemimpinannya.
Satu hari, hamba sahayanya melaporkan bahwa dia melihat bendera tentara Muhammad di sekeliling perkampungan mereka. Dengan tergesa-gesa, Adi mengumpulkan keluarganya dan segera lari meninggalkan Thai menuju utara, Syam. Tetapi, saudara perempuannya tertinggal. Dia tidak berani kembali. Dia hanya bisa berharap saudara perempuannya dapat menyusul.
Harapannya terpenuhi. Saudara perempuannya muncul bersama rombongan yang baru datang dari Madinah, sambil marah. "Engkau tinggalkan kami. Engkau zalim. Istri dan anak-anakmu engkau bawa, tetapi saudara perempuanmu dan yang lainnya engkau tinggalkan." Adi berusaha menenangkan kemarahan saudara perempuannya. Setelah tenang, dia bercerita akan kemuliaan Nabi Muhammad.
"Setelah negeri kita diserang, aku dan berapa penduduk lain dibawa ke Madinah," kata saudara perempuannya itu. "Di sana kami ditawan di dekat masjid. Ketika Rasulullah lewat aku menyapanya. Wahai Rasulullah. Bapakku telah tiada, yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkanlah karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda." Rasulullah bertanya, "Siapa yang menjamin engkau?" Aku menjawab, "Adi bin Hatim." Kata Rasulullah, "Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya."
Kemudian, Rasul SAW berlalu. Besoknya, terjadi lagi dialog yang sama. "Pada hari ketiga, Rasulullah lewat tetapi aku tidak menyapa beliau lagi sampai seorang laki-laki -yang kemudian kuketahui adalah Ali bin Abi Thalib- memberi isyarat kepadaku untuk menyapa beliau. Kali ketiga itulah permintaanku dipenuhi. Rasulullah berkata, "Engkau jangan terburu-buru pergi sebelum engkau dapatkan orang yang dapat dipercaya untuk mengantarkanmu." Setelah mendapatkan orang yang dipercaya, Rasulullah memberiku pakaian, unta untuk kendaraan, dan belanja secukupnya. Akhirnya dengan rombongan yang dipercaya, aku sampai di sini," tuturnya.
Adi disarankan untuk menemui Rasulullah. "Datangilah segera. Jika dia seorang Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya akan beruntung. Dan jika dia seorang raja, tidak ada hinanya engkau berada di sampingnya. Engkau juga seorang raja."
Akhirnya Adi pergi ke Madinah. Dia masuk ke majelis Nabi SAW ketika beliau berada di masjid. Mengetahui yang datang adalah Adi bin Hatim, Rasulullah berdiri menyongsongnya. Menggandeng tangan Adi, membawanya ke rumah beliau, dipersilakan duduk di atas bantal kulit. Sedangkan Rasulullah sendiri duduk di tikar biasa. Adi berguman, "Ini bukan kebiasaan raja-raja."
Setelah berdialog beberapa saat akhirnya Adi mengucapkan dua kalimah syahadat. Kebenciannya luluh oleh kemuliaan hati Rasulullah SAW.
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Kamis, 29 September 2011
Adi bin Hatim adalah kepala suku Thai yang disegani. Dia mewarisi kepemimpinan bapaknya. Sebagaimana kepala suku, Adi menerima seperempat penghasilan kaumnya sebagai pajak. Hidupnya tenang dengan kekayaan yang melimpah.
Dia sangat membenci Rasulullah SAW, kendati dia belum pernah bertemu. Adi semakin gelisah setelah mendengar kabar pengaruh Rasulullah semakin kuat di jazirah Arabia. Beberapa kepala suku sudah memeluk Islam dan bergabung dengan Madinah. Adi khawatir kedatangan Rasulullah SAW akan mengancam kepemimpinannya.
Satu hari, hamba sahayanya melaporkan bahwa dia melihat bendera tentara Muhammad di sekeliling perkampungan mereka. Dengan tergesa-gesa, Adi mengumpulkan keluarganya dan segera lari meninggalkan Thai menuju utara, Syam. Tetapi, saudara perempuannya tertinggal. Dia tidak berani kembali. Dia hanya bisa berharap saudara perempuannya dapat menyusul.
Harapannya terpenuhi. Saudara perempuannya muncul bersama rombongan yang baru datang dari Madinah, sambil marah. "Engkau tinggalkan kami. Engkau zalim. Istri dan anak-anakmu engkau bawa, tetapi saudara perempuanmu dan yang lainnya engkau tinggalkan." Adi berusaha menenangkan kemarahan saudara perempuannya. Setelah tenang, dia bercerita akan kemuliaan Nabi Muhammad.
"Setelah negeri kita diserang, aku dan berapa penduduk lain dibawa ke Madinah," kata saudara perempuannya itu. "Di sana kami ditawan di dekat masjid. Ketika Rasulullah lewat aku menyapanya. Wahai Rasulullah. Bapakku telah tiada, yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkanlah karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda." Rasulullah bertanya, "Siapa yang menjamin engkau?" Aku menjawab, "Adi bin Hatim." Kata Rasulullah, "Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya."
Kemudian, Rasul SAW berlalu. Besoknya, terjadi lagi dialog yang sama. "Pada hari ketiga, Rasulullah lewat tetapi aku tidak menyapa beliau lagi sampai seorang laki-laki -yang kemudian kuketahui adalah Ali bin Abi Thalib- memberi isyarat kepadaku untuk menyapa beliau. Kali ketiga itulah permintaanku dipenuhi. Rasulullah berkata, "Engkau jangan terburu-buru pergi sebelum engkau dapatkan orang yang dapat dipercaya untuk mengantarkanmu." Setelah mendapatkan orang yang dipercaya, Rasulullah memberiku pakaian, unta untuk kendaraan, dan belanja secukupnya. Akhirnya dengan rombongan yang dipercaya, aku sampai di sini," tuturnya.
Adi disarankan untuk menemui Rasulullah. "Datangilah segera. Jika dia seorang Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya akan beruntung. Dan jika dia seorang raja, tidak ada hinanya engkau berada di sampingnya. Engkau juga seorang raja."
Akhirnya Adi pergi ke Madinah. Dia masuk ke majelis Nabi SAW ketika beliau berada di masjid. Mengetahui yang datang adalah Adi bin Hatim, Rasulullah berdiri menyongsongnya. Menggandeng tangan Adi, membawanya ke rumah beliau, dipersilakan duduk di atas bantal kulit. Sedangkan Rasulullah sendiri duduk di tikar biasa. Adi berguman, "Ini bukan kebiasaan raja-raja."
Setelah berdialog beberapa saat akhirnya Adi mengucapkan dua kalimah syahadat. Kebenciannya luluh oleh kemuliaan hati Rasulullah SAW.
Minggu, 25 September 2011
Tadabur Ayat dan Alam
Oleh Muhbib Abdul Wahab
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Sabtu, 24 September 2011
Diriwayatkan Ibn Hibban bahwa suatu hari Ubaid bin Umar dan Atha' menemui Aisyah ra, dengan maksud belajar tentang Islam. Ubaid berkata, "Wahai Aisyah sampaikanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan dari kehidupan Rasulullah SAW." Mendengar permintaan itu, Aisyah menangis. Setelah itu, ia menceritakan bagaimana Rasul beribadah dan bertadabur di malam hari.
Kata Aisyah, Rasulullah pernah shalat tahajud sangat lama. Beliau meminta Aisyah membiarkannya berlama-lama dalam beribadah kepada Tuhan-Nya. Aisyah berkata, "Demi Allah, aku ingin selalu dekat denganmu dan melakukan sesuatu yang membahagiakanmu." Rasul hanya tersenyum, kemudian melanjutkan shalat tahajud.
Aisyah mengisahkan, saat shalat, Rasul menitikkan air mata. Air mata itu mula-mula hanya membasahi pipi, lalu jenggot beliau, sampai akhirnya membasahi tanah tempat beliau shalat. Rasul tak henti-hentinya menangis dalam shalat itu, hingga Bilal mengumandangkan azan Subuh. Aisyah bertanya, "Mengapa engkau menangis seperti itu? Tidakkah Allah telah mengampuni dosamu yang lalu maupun yang akan datang?" Rasul menjawab, "Sungguh aku ingin menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur!"
Rasul melanjutkan, "Wahai Aisyah, aku menangis seperti itu karena Allah baru saja menurunkan ayat kepadaku. Orang yang membaca ayat (QS Ali Imran [3]:190-191) ini, akan celaka jika tidak menadaburinya.
Tadabur artinya memahami dan merenungkan makna untuk kemudian menjadikannya sebagai pelajaran. Salah satu cara tadabur ayat yang diteladankan Rasul adalah membaca ayat dalam shalat tahajud secara tartil, penuh penghayatan, dan keterlibatan hati dan pikiran kemudian mengamalkannya dalam kehidupan.
Ayat yang dibaca Rasul dalam shalat tahajud tersebut tidak hanya mengharuskan kita tadabur ayat Alquran, tapi juga tadabur alam (ayat-ayat kauniyyah). Alam sangat sarat dengan tanda-tanda kekuasaan, kebesaran, dan keagungan Allah. Tadabur ayat menjadi lengkap dan seimbang jika disertai dengan tadabur alam.
Tadabur ayat dan tadabur alam sama-sama bernilai ibadah. Tadabur ayat mengantarkan kita pada pemahaman dan pemaknaan teks kitab suci, sedangkan tadabur alam membimbing kita untuk mengerti konteks, hukum-hukum kausalitas, dan hidup harmoni kepada alam raya. Tadabur ayat dan alam mengharuskan kita bersikap rendah hati terhadap keagungan Ilahi. Keduanya memotivasi kita untuk selalu membaca, meneliti, memahami, dan mengaktualisasikan diri kita menjadi hamba yang pandai bersyukur.
Dengan demikian, kita baru layak disebut hamba yang pandai bersyukur, jika selalu melakukan tadabur ayat-ayat Quraniah sekaligus ayat-ayat kauniyyah secara terpadu dan seimbang. Merasakan dan memahami kebesaran Allah tidak cukup melalui ibadah ritual seperti shalat, tapi harus pula melalui penelitian dan permenungan terhadap aneka ciptaan Allah di alam raya ini.
Integrasi pemahaman ayat-ayat Quraniah dan ayat-ayat kauniyyah idealnya merupakan basis pengembangan imtak dan ipteks (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni). Karena itu, setiap Muslim harus meyakini bahwa semua ciptaan Allah di alam raya ini dapat menjadi "laboratorium hidup" bagi kita semua.
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Sabtu, 24 September 2011
Diriwayatkan Ibn Hibban bahwa suatu hari Ubaid bin Umar dan Atha' menemui Aisyah ra, dengan maksud belajar tentang Islam. Ubaid berkata, "Wahai Aisyah sampaikanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan dari kehidupan Rasulullah SAW." Mendengar permintaan itu, Aisyah menangis. Setelah itu, ia menceritakan bagaimana Rasul beribadah dan bertadabur di malam hari.
Kata Aisyah, Rasulullah pernah shalat tahajud sangat lama. Beliau meminta Aisyah membiarkannya berlama-lama dalam beribadah kepada Tuhan-Nya. Aisyah berkata, "Demi Allah, aku ingin selalu dekat denganmu dan melakukan sesuatu yang membahagiakanmu." Rasul hanya tersenyum, kemudian melanjutkan shalat tahajud.
Aisyah mengisahkan, saat shalat, Rasul menitikkan air mata. Air mata itu mula-mula hanya membasahi pipi, lalu jenggot beliau, sampai akhirnya membasahi tanah tempat beliau shalat. Rasul tak henti-hentinya menangis dalam shalat itu, hingga Bilal mengumandangkan azan Subuh. Aisyah bertanya, "Mengapa engkau menangis seperti itu? Tidakkah Allah telah mengampuni dosamu yang lalu maupun yang akan datang?" Rasul menjawab, "Sungguh aku ingin menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur!"
Rasul melanjutkan, "Wahai Aisyah, aku menangis seperti itu karena Allah baru saja menurunkan ayat kepadaku. Orang yang membaca ayat (QS Ali Imran [3]:190-191) ini, akan celaka jika tidak menadaburinya.
Tadabur artinya memahami dan merenungkan makna untuk kemudian menjadikannya sebagai pelajaran. Salah satu cara tadabur ayat yang diteladankan Rasul adalah membaca ayat dalam shalat tahajud secara tartil, penuh penghayatan, dan keterlibatan hati dan pikiran kemudian mengamalkannya dalam kehidupan.
Ayat yang dibaca Rasul dalam shalat tahajud tersebut tidak hanya mengharuskan kita tadabur ayat Alquran, tapi juga tadabur alam (ayat-ayat kauniyyah). Alam sangat sarat dengan tanda-tanda kekuasaan, kebesaran, dan keagungan Allah. Tadabur ayat menjadi lengkap dan seimbang jika disertai dengan tadabur alam.
Tadabur ayat dan tadabur alam sama-sama bernilai ibadah. Tadabur ayat mengantarkan kita pada pemahaman dan pemaknaan teks kitab suci, sedangkan tadabur alam membimbing kita untuk mengerti konteks, hukum-hukum kausalitas, dan hidup harmoni kepada alam raya. Tadabur ayat dan alam mengharuskan kita bersikap rendah hati terhadap keagungan Ilahi. Keduanya memotivasi kita untuk selalu membaca, meneliti, memahami, dan mengaktualisasikan diri kita menjadi hamba yang pandai bersyukur.
Dengan demikian, kita baru layak disebut hamba yang pandai bersyukur, jika selalu melakukan tadabur ayat-ayat Quraniah sekaligus ayat-ayat kauniyyah secara terpadu dan seimbang. Merasakan dan memahami kebesaran Allah tidak cukup melalui ibadah ritual seperti shalat, tapi harus pula melalui penelitian dan permenungan terhadap aneka ciptaan Allah di alam raya ini.
Integrasi pemahaman ayat-ayat Quraniah dan ayat-ayat kauniyyah idealnya merupakan basis pengembangan imtak dan ipteks (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni). Karena itu, setiap Muslim harus meyakini bahwa semua ciptaan Allah di alam raya ini dapat menjadi "laboratorium hidup" bagi kita semua.
Kamis, 22 September 2011
Kiat Memelihara Ilmu
Oleh Muhammad Kosim MA
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Kamis, 22 September 2011
Ilmu pengetahuan sangat menentukan kesuksesan dan kebahagiaan seseorang. Dengan ilmu, harkat dan martabat seseorang bisa terangkat. (QS al-Mujadilah [58]: 11). Dan, dengan ilmu pula seseorang mudah melakukan perubahan hidupnya ke arah yang lebih baik. Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa ilmu menjadi syarat utama untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hanya saja, tidak semua orang yang telah memperoleh ilmu mampu memeliharanya. Akibatnya, ia termasuk kepada kelompok orang-orang yang lupa (ghafilun). Lupa yang dimaksud bisa dalam dua hal. Pertama, lupa dalam bentuk ingatan sehingga apa yang telah ia ketahui dan pelajari tidak mampu ia kemukakan. Lupa jenis kedua adalah dalam bentuk perilaku, yaitu tidak sesuai antara apa yang ia ketahui dengan yang dilakukan.
Kedua bentuk lupa tersebut diakibatkan oleh tidak terpeliharanya ilmu sehingga ilmunya tidak memperoleh keberkahan. Karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya agar ilmu itu tetap terpelihara dan menjadi sikap batin yang memengaruhi perbuatan seseorang.
Rasulullah SAW mengemukakan lima kiat agar ilmu tetap terpelihara. Pertama, shalat malam walau hanya dua rakaat. Udara di malam hari sangat segar dan baik untuk kesehatan. Ketika seseorang sujud di waktu tahajud, maka darah yang mengandung oksigen dari udara yang segar itu akan mengalir ke sel-sel syaraf otak. Hal ini akan berdampak positif terhadap kecerdasan otak itu sendiri. Kalbu pun memperoleh ketenangan dan terhindar dari penyakit-penyakit hati.
Kedua, senantiasa dalam keadaan berwudhu (dawamul wudhu'). Setiap kali wudhu batal, maka ia segera memperbaharuinya. Intinya, ia selalu memelihara kesucian dirinya, baik secara lahiriah maupun batiniah. Imam Syafii berkata, "Aku mengeluh kepada guruku (Imam Waqi) akan jeleknya hafalanku, maka guruku menasihati untuk meninggalkan maksiat. Karena sesungguhnya, ilmu itu adalah cahaya Allah dan cahaya itu tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat."
Ketiga, senantiasa bertakwa, baik dalam keadaan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi (at-taqwa fissirri wal 'alaniyah). Takwa berarti tidak bermaksiat sehingga menutup hidayah Allah. Keempat, memakan makanan yang bernilai takwa, bukan memenuhi keinginan syahwat (an ya'kula littaqwa la lisysyahawat). Makanan yang bernilai takwa adalah makanan yang halal lagi baik (halalan tayyiban).
Imam al-Ghazali mengatakan, sesuap makanan yang haram dikonsumsi seseorang akan menjadi darah yang mengalir ke otaknya sehingga otaknya cenderung berpikir pada hal-hal yang diharamkan. Akibatnya, ilmu yang merupakan cahaya Allah (nur Allah) akan terhijab karena haramnya makanan tersebut. Sebaliknya, jika makanan itu tidak bergizi, maka daya tahan tubuhnya akan mudah terserang penyakit.
Kelima, bersiwak untuk menjaga kebersihan mulut. Siwak ini tidak hanya sebatas pengertian fisik membersihkan gigi, tetapi juga menjaga kebersihan lidah untuk selalu berkata jujur, tidak bohong, dan tidak berkata kotor. Dengan kelima kiat tersebut, insya Allah, ilmu yang ada akan terpelihara dengan baik. Wallahu a'lam.
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Kamis, 22 September 2011
Ilmu pengetahuan sangat menentukan kesuksesan dan kebahagiaan seseorang. Dengan ilmu, harkat dan martabat seseorang bisa terangkat. (QS al-Mujadilah [58]: 11). Dan, dengan ilmu pula seseorang mudah melakukan perubahan hidupnya ke arah yang lebih baik. Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa ilmu menjadi syarat utama untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.
Hanya saja, tidak semua orang yang telah memperoleh ilmu mampu memeliharanya. Akibatnya, ia termasuk kepada kelompok orang-orang yang lupa (ghafilun). Lupa yang dimaksud bisa dalam dua hal. Pertama, lupa dalam bentuk ingatan sehingga apa yang telah ia ketahui dan pelajari tidak mampu ia kemukakan. Lupa jenis kedua adalah dalam bentuk perilaku, yaitu tidak sesuai antara apa yang ia ketahui dengan yang dilakukan.
Kedua bentuk lupa tersebut diakibatkan oleh tidak terpeliharanya ilmu sehingga ilmunya tidak memperoleh keberkahan. Karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya agar ilmu itu tetap terpelihara dan menjadi sikap batin yang memengaruhi perbuatan seseorang.
Rasulullah SAW mengemukakan lima kiat agar ilmu tetap terpelihara. Pertama, shalat malam walau hanya dua rakaat. Udara di malam hari sangat segar dan baik untuk kesehatan. Ketika seseorang sujud di waktu tahajud, maka darah yang mengandung oksigen dari udara yang segar itu akan mengalir ke sel-sel syaraf otak. Hal ini akan berdampak positif terhadap kecerdasan otak itu sendiri. Kalbu pun memperoleh ketenangan dan terhindar dari penyakit-penyakit hati.
Kedua, senantiasa dalam keadaan berwudhu (dawamul wudhu'). Setiap kali wudhu batal, maka ia segera memperbaharuinya. Intinya, ia selalu memelihara kesucian dirinya, baik secara lahiriah maupun batiniah. Imam Syafii berkata, "Aku mengeluh kepada guruku (Imam Waqi) akan jeleknya hafalanku, maka guruku menasihati untuk meninggalkan maksiat. Karena sesungguhnya, ilmu itu adalah cahaya Allah dan cahaya itu tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat."
Ketiga, senantiasa bertakwa, baik dalam keadaan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi (at-taqwa fissirri wal 'alaniyah). Takwa berarti tidak bermaksiat sehingga menutup hidayah Allah. Keempat, memakan makanan yang bernilai takwa, bukan memenuhi keinginan syahwat (an ya'kula littaqwa la lisysyahawat). Makanan yang bernilai takwa adalah makanan yang halal lagi baik (halalan tayyiban).
Imam al-Ghazali mengatakan, sesuap makanan yang haram dikonsumsi seseorang akan menjadi darah yang mengalir ke otaknya sehingga otaknya cenderung berpikir pada hal-hal yang diharamkan. Akibatnya, ilmu yang merupakan cahaya Allah (nur Allah) akan terhijab karena haramnya makanan tersebut. Sebaliknya, jika makanan itu tidak bergizi, maka daya tahan tubuhnya akan mudah terserang penyakit.
Kelima, bersiwak untuk menjaga kebersihan mulut. Siwak ini tidak hanya sebatas pengertian fisik membersihkan gigi, tetapi juga menjaga kebersihan lidah untuk selalu berkata jujur, tidak bohong, dan tidak berkata kotor. Dengan kelima kiat tersebut, insya Allah, ilmu yang ada akan terpelihara dengan baik. Wallahu a'lam.
Senin, 12 September 2011
Hikmah Idul Fitri
Oleh: Ade Zaenudin, S.Ag
Dikisahkan pada zaman Rasulullah SAW ada seorang pemuda yang giat beribadah, rajin sholat, sering puasa dan suka bershodaqoh, dia bernama Alqomah. Suatu ketika dia sakit keras, bahkan sudah dalam keadaan sekarat, namun tidak kunjung meninggal dan tidak bisa mengucapkan “La ilaha illallah”. Para sahabat langsung melaporkan kejadian tersebut pada Rasulullah SAW dan Rasul pun bertanya: Apakah dia masih mempunyai kedua orang tua?, Sahabat menjawab : Ada wahai Rasulullah SAW, dia masih mempunyai seorang ibu yang sudah sangat tua renta.” Rasulullah SAW mengirim utusan untuk memanggilnya. Maka dia pun memakai tongkat dan berjalan mendatangi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda kepadanya : “Wahai ibu Alqomah, jawablah pertanyaanku dengan jujur, bagaimana sebenarnya keadaan putramu Alqomah ? Sang ibu menjawab : Wahai Rasulullah SAW, dia rajin mengerjakan sholat, banyak puasa dan senang bershodaqoh.” Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi : Lalu apa perasaanmu padanya ? Dia menjawab : Saya marah kepadanya Wahai Rasulullah SAW.” Rasulullah SAW bertanya lagi : Kenapa ?.” Dia menjawab : Wahai Rasulullah SAW, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan dia pun durhaka kepadaku.” Maka Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqomah sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.”
Kemudian beliau bersabda : Wahai Bilal , pergilah dan kumpulkan kayu bakar yang banyak.” Si ibu berkata : Wahai Rasulullah SAW, apa yang akan engkau perbuat ?.” Beliau menjawab : Saya akan membakarnya dihadapanmu .” dia menjawab : Wahai Rasulullah SAW , saya tidak tahan kalau engkau membakar anakku dihadapanku. Maka Rasulullah SAW menjawab : Wahai Ibu Alqomah, sesungguhnya adzab Allah lebih pedih dan lebih langgeng, kalau engkau ingin agar Allah SWT mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqomah, demi dzat yang jiwaku berada di Tangan Nya, sholat, puasa dan shodaqohnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,” Maka dia berkata: Wahai Rasulullah SAW, Allah SWT sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini bahwa saya telah ridlo pada anakku Alqomah”. Maka seketika Alqomah pun mengucapkan : La Ilaha Illallah.” Dan kemudian meninggal.
Kisah Alqamah tersebut memberikan pelajaran kepada kita bahwa ridha dan maaf orang tua itu sangatlah penting. Terlebih bagi kita yang hampir setiap hari berbuat salah, khilaf sering membuat mereka jengkel, baik disengaja ataupun tidak. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT mewanti-wanti kepada kita agar menghindari kata-kata yang menyakitkan mereka, bahkan hanya sekedar berkata “ah”.
Untuk orang Muslim, moment saling memaafkan tersebut terasa lebih kental pada saat idul fitri. Setiap Muslim saat itu saling meminta maaf bahkan dengan berbagai cara, ada yang secara langsung sambil berjabat tangan, lewat e-mail, situs jejaring sosial, SMS, Telephon dan lain sebagainya. Beragam kata pun dipilih sesuai selera, ada yang berbentuk pantun, puisi, kata-kata kocak sampai kata-kata yang sangat simpel, dengan satu tujuan saling memaafkan dan saling menyambung tali silaturahim.
Pada saat lebaran, kata minal aidzin wal faidzin menjadi sangat familiar. Ada dua kata kunci (keyword) pada kalimat tersebut, yaitu “aidzin” dan “faidzin”. Kata “aidzin” artinya “kembali” seakar dengan kata “idul” yang ada pada kata “idul fitri” yang berarti kembali kepada fitrah (kesucian), dan kata “faidzin” berarti kemenangan. Dengan demikian kalimat “minal aidzin wal faidzin” berarti “semoga kita kembali (kepada fitrah) dan mudah-mudahan kita meraih kemenangan”, bukan berarti “mohon maaf lahir dan bathin” seperti yang biasa diartikan sebagian orang.
Kegembiraan idul fitri tersebut memang terasa khas dan sangat spesial bagi masyarakat Indonesia, hal tersebut ditandai dengan tradisi “mudik” atau “pulang kampung” yang jarang ditemukan di negara-negara lain. Ini menandakan bahwa tali persaudaraan di Indonesia begitu kental dan tentu ini sangat positif karena silaturahim merupakan ajaran Islam. Nabi bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka sambunglah tali silaturahim”.
Lebaran memang bulan penuh keberkahan dan kenikmatan, bahkan kenikmatannya tidak hanya dirasakan oleh orang Islam saja, orang non Muslim pun banyak yang menyicipi keberkahan bulan tersebut. Sebut saja pengusaha yang berbisnis pakaian, makanan, alat transfortasi tempat-tempat hiburan dan lain sebagainya, mereka mendapatkan keuntungan luar biasa saat itu.
Ada beberapa hikmah yang bisa didapat pada hari raya idul fitri atau lebaran tersebut, diantaranya:
1. To Forgive (sarana memaafkan / meluaskan hati)
Dalam penelitian yang dilakukan Fuad Nashori pada tahun 2005, terungkap bahwa orang yang religius terbukti cenderung mudah memaafkan kesalahan orang lain. Mereka yang sering berdzikir, hatinya menjadi lembut hingga gampang memberi maaf. Seorang peneliti dari Stanford University, Amerika Serikat yang bernama Frederic Luskin pun mengungkap bahwa setelah memaafkan, kehidupan seseorang akan lebih tenang, tidak mudah marah, tidak gampang tersinggung dan lebih mudah membina hubungan baik dengan sesama.
Peristiwa saling memaafkan tersebut tentu tidak cukup hanya di mulut saja, perlu kerendahan hati ketika meminta maaf dan rasa ikhlas ketika memberi maaf, sehingga tidak ada sedikitpun serpihan-serpihan dendam atau benci yang tersisa di dalam hati, bahkan bertekad sekuat tenaga untuk tidak mengundang kembali kealfaan dan kesalahan yang bisa merenggangkan tali silaturahim.
Silaturahim tidak sekedar bersentuhan tangan atau memohon maaf belaka. Ada sesuatu yang lebih hakiki dari itu semua, yaitu aspek mental dan keluasan hati. Hal ini sesuai dengan asal kata dari silaturahim itu sendiri, yaitu shilat atau washl, yang berarti menyambungkan atau menghimpun, dan ar-rahiim yang berarti kasih sayang. Makna “menyambungkan” menunjukkan sebuah proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung. “Menghimpun” biasanya mengandung makna sesuatu yang tercerai-berai dan berantakan, menjadi sesuatu yang bersatu dan utuh kembali. Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda, "Yang disebut bersilaturahim itu bukanlah seseorang yang membalas kunjungan atau pemberian, melainkan bersilaturahim itu ialah menyambungkan apa yang telah putus" (HR. Bukhari).
Kalau orang lain mengunjungi kita dan kita balas mengunjunginya, ini tidak memerlukan kekuatan mental yang tinggi. Boleh jadi kita melakukannya karena merasa malu atau berhutang budi kepada orang tersebut. Namun, bila ada orang yang tidak pernah bersilaturahim kepada kita, lalu dengan sengaja kita mengunjunginya walau harus menempuh jarak yang jauh dan melelahkan, apalagi kalau kita bersilaturahim kepada orang yang membenci kita, seseorang yang sangat menghindari pertemuan dengan kita, lalu kita mengupayakan diri untuk bertemu dengannya, maka
inilah yang silaturahim yang hakiki.
2. To celebrate (Sarana untuk merayakan kemenangan)
Selama satu bulan umat Muslim diperintahkan oleh Allah SWT untuk berpuasa, bahkan Allah SWT pun menjanjikan reward (imbalan) berbentuk kegembiraan tak terhingga bagi yang melaksanakan puasa dengan baik dan benar, yaitu ketika berbuka dan ketika bertemu dengan Allah SWT nanti. Janji Allah SWT tersebut kebenarannya sudah bisa kita rasakan terutama ketika lebaran. Umat Muslim di seluruh dunia bersuka cita merayakan hari kemenangan setelah berusaha bertarung menaklukan nafsu syahwat selama satu bulan tersebut. Berbagai aktivitas diekspresikan umat Muslim untuk merayakan hari kemenangan tersebut, seperti dengan memperbanyak membaca takbir, ada yang karnaval keliling kampung, saling berkirim makanan ke sanak saudara, memakai baju baru, masak makanan spesial, shalat ied, saling berkunjung, saling berbagi bahkan muncul tradisi pulang kampung atau mudik.
Namun demikian, tidak sedikit yang merayakan hari lebaran tersebut dengan aktivitas yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti dengan tawuran, memubadzirkan harta dengan membakar petasan atau kembang api, pacaran dan lain sebagainya, dan yang lebih ironis adalah banyak orang muslim yang tidak berpuasa tapi begitu repotnya mempersiapkan perayaan lebaran, mereka pulang kampung dengan penampilan dan oleh-oleh yang luar biasa, mereka ikut bersuka cita bak pejuang yang pulang dari peperangan dengan membawa kemenangan, padahal sesungguhnya mereka sudah kalah dalam bertarung melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan. Naudzu billah.
3. To Give (Sarana berbagi)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menegaskan bahwa puasa di bulan Ramadhan harus disempurnakan dengan membayar zakat fitrah sampai menjelang shalat idul fitri. Hal tersebut merupakan gambaran bahwa harus ada keseimbangan antara ibadah individual dan ibadah sosial, antara kesalehan individu dan kesalehan sosial. Tidaklah dianggap cukup seorang muslim yang rajin beribadah tanpa memperhatikan kondisi sosial di sekitarnya.
Membayar zakat fitrah merupakan kewajiban setiap orang Islam yang mempunyai kelebihan untuk biaya makan selama satu hari satu malam di hari lebaran. Dengan adanya kewajiban membayar zakat tersebut, maka akan terjalin kasih sayang antara sesama, sehingga kegembiraan di hari lebaran tersebut bisa dirasakan oleh semua lapisan umat termasuk orang-orang fakir dan miskin.
4. To Increase (Sarana peningkatan)
Setelah selesai bulan ramadhan, maka datanglah bulan syawal yang kedatangannya dirayakan dengan hari raya idul fitri. Secara bahasa “syawal” berarti peningkatan. Dengan demikian, bulan syawal merupakan momentum untuk meningkatkan kualitas ibadah seorang Muslim agar lebih baik dari bulan sebelumnya. Tradisi-tradisi keagamaan yang marak dilakukan di bulan Ramadhan seperti tadarrus, shalat sunah, shadaqah dan lain sebagainya harusnya dipertahankan bahkan lebih ditingkatkan pada bulan-bulan selanjutnya, bukan sebaliknya, yang tadinya rajin tadarrus bahkan berkali-kali khatam di bulan Ramadhan, justru bulan selanjutnya tidak pernah membaca Al-Qur’an lagi. Minimal ada waktu khusus yang secara konsisten dan kontinyu digunakan untuk mengkaji Al-Qur’an. Atau yang tadinya jarang shalat tahajud, menjadi rajin shalat tahajud dan lain sebagainya. Dengan demikian, secara persistent Muslim yang telah lulus berpuasa harus senantiasa meningkatkan amal ibadahnya, dan secara konsistent berusaha sekuat tenaga menjaga hawa nafsu serta meninggalkan kemaksiatan yang dibalut dengan kesenangan duniawi. Amin, Allohumma Amiin.
Dikisahkan pada zaman Rasulullah SAW ada seorang pemuda yang giat beribadah, rajin sholat, sering puasa dan suka bershodaqoh, dia bernama Alqomah. Suatu ketika dia sakit keras, bahkan sudah dalam keadaan sekarat, namun tidak kunjung meninggal dan tidak bisa mengucapkan “La ilaha illallah”. Para sahabat langsung melaporkan kejadian tersebut pada Rasulullah SAW dan Rasul pun bertanya: Apakah dia masih mempunyai kedua orang tua?, Sahabat menjawab : Ada wahai Rasulullah SAW, dia masih mempunyai seorang ibu yang sudah sangat tua renta.” Rasulullah SAW mengirim utusan untuk memanggilnya. Maka dia pun memakai tongkat dan berjalan mendatangi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda kepadanya : “Wahai ibu Alqomah, jawablah pertanyaanku dengan jujur, bagaimana sebenarnya keadaan putramu Alqomah ? Sang ibu menjawab : Wahai Rasulullah SAW, dia rajin mengerjakan sholat, banyak puasa dan senang bershodaqoh.” Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi : Lalu apa perasaanmu padanya ? Dia menjawab : Saya marah kepadanya Wahai Rasulullah SAW.” Rasulullah SAW bertanya lagi : Kenapa ?.” Dia menjawab : Wahai Rasulullah SAW, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan dia pun durhaka kepadaku.” Maka Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqomah sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.”
Kemudian beliau bersabda : Wahai Bilal , pergilah dan kumpulkan kayu bakar yang banyak.” Si ibu berkata : Wahai Rasulullah SAW, apa yang akan engkau perbuat ?.” Beliau menjawab : Saya akan membakarnya dihadapanmu .” dia menjawab : Wahai Rasulullah SAW , saya tidak tahan kalau engkau membakar anakku dihadapanku. Maka Rasulullah SAW menjawab : Wahai Ibu Alqomah, sesungguhnya adzab Allah lebih pedih dan lebih langgeng, kalau engkau ingin agar Allah SWT mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqomah, demi dzat yang jiwaku berada di Tangan Nya, sholat, puasa dan shodaqohnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,” Maka dia berkata: Wahai Rasulullah SAW, Allah SWT sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini bahwa saya telah ridlo pada anakku Alqomah”. Maka seketika Alqomah pun mengucapkan : La Ilaha Illallah.” Dan kemudian meninggal.
Kisah Alqamah tersebut memberikan pelajaran kepada kita bahwa ridha dan maaf orang tua itu sangatlah penting. Terlebih bagi kita yang hampir setiap hari berbuat salah, khilaf sering membuat mereka jengkel, baik disengaja ataupun tidak. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT mewanti-wanti kepada kita agar menghindari kata-kata yang menyakitkan mereka, bahkan hanya sekedar berkata “ah”.
Untuk orang Muslim, moment saling memaafkan tersebut terasa lebih kental pada saat idul fitri. Setiap Muslim saat itu saling meminta maaf bahkan dengan berbagai cara, ada yang secara langsung sambil berjabat tangan, lewat e-mail, situs jejaring sosial, SMS, Telephon dan lain sebagainya. Beragam kata pun dipilih sesuai selera, ada yang berbentuk pantun, puisi, kata-kata kocak sampai kata-kata yang sangat simpel, dengan satu tujuan saling memaafkan dan saling menyambung tali silaturahim.
Pada saat lebaran, kata minal aidzin wal faidzin menjadi sangat familiar. Ada dua kata kunci (keyword) pada kalimat tersebut, yaitu “aidzin” dan “faidzin”. Kata “aidzin” artinya “kembali” seakar dengan kata “idul” yang ada pada kata “idul fitri” yang berarti kembali kepada fitrah (kesucian), dan kata “faidzin” berarti kemenangan. Dengan demikian kalimat “minal aidzin wal faidzin” berarti “semoga kita kembali (kepada fitrah) dan mudah-mudahan kita meraih kemenangan”, bukan berarti “mohon maaf lahir dan bathin” seperti yang biasa diartikan sebagian orang.
Kegembiraan idul fitri tersebut memang terasa khas dan sangat spesial bagi masyarakat Indonesia, hal tersebut ditandai dengan tradisi “mudik” atau “pulang kampung” yang jarang ditemukan di negara-negara lain. Ini menandakan bahwa tali persaudaraan di Indonesia begitu kental dan tentu ini sangat positif karena silaturahim merupakan ajaran Islam. Nabi bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka sambunglah tali silaturahim”.
Lebaran memang bulan penuh keberkahan dan kenikmatan, bahkan kenikmatannya tidak hanya dirasakan oleh orang Islam saja, orang non Muslim pun banyak yang menyicipi keberkahan bulan tersebut. Sebut saja pengusaha yang berbisnis pakaian, makanan, alat transfortasi tempat-tempat hiburan dan lain sebagainya, mereka mendapatkan keuntungan luar biasa saat itu.
Ada beberapa hikmah yang bisa didapat pada hari raya idul fitri atau lebaran tersebut, diantaranya:
1. To Forgive (sarana memaafkan / meluaskan hati)
Dalam penelitian yang dilakukan Fuad Nashori pada tahun 2005, terungkap bahwa orang yang religius terbukti cenderung mudah memaafkan kesalahan orang lain. Mereka yang sering berdzikir, hatinya menjadi lembut hingga gampang memberi maaf. Seorang peneliti dari Stanford University, Amerika Serikat yang bernama Frederic Luskin pun mengungkap bahwa setelah memaafkan, kehidupan seseorang akan lebih tenang, tidak mudah marah, tidak gampang tersinggung dan lebih mudah membina hubungan baik dengan sesama.
Peristiwa saling memaafkan tersebut tentu tidak cukup hanya di mulut saja, perlu kerendahan hati ketika meminta maaf dan rasa ikhlas ketika memberi maaf, sehingga tidak ada sedikitpun serpihan-serpihan dendam atau benci yang tersisa di dalam hati, bahkan bertekad sekuat tenaga untuk tidak mengundang kembali kealfaan dan kesalahan yang bisa merenggangkan tali silaturahim.
Silaturahim tidak sekedar bersentuhan tangan atau memohon maaf belaka. Ada sesuatu yang lebih hakiki dari itu semua, yaitu aspek mental dan keluasan hati. Hal ini sesuai dengan asal kata dari silaturahim itu sendiri, yaitu shilat atau washl, yang berarti menyambungkan atau menghimpun, dan ar-rahiim yang berarti kasih sayang. Makna “menyambungkan” menunjukkan sebuah proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung. “Menghimpun” biasanya mengandung makna sesuatu yang tercerai-berai dan berantakan, menjadi sesuatu yang bersatu dan utuh kembali. Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda, "Yang disebut bersilaturahim itu bukanlah seseorang yang membalas kunjungan atau pemberian, melainkan bersilaturahim itu ialah menyambungkan apa yang telah putus" (HR. Bukhari).
Kalau orang lain mengunjungi kita dan kita balas mengunjunginya, ini tidak memerlukan kekuatan mental yang tinggi. Boleh jadi kita melakukannya karena merasa malu atau berhutang budi kepada orang tersebut. Namun, bila ada orang yang tidak pernah bersilaturahim kepada kita, lalu dengan sengaja kita mengunjunginya walau harus menempuh jarak yang jauh dan melelahkan, apalagi kalau kita bersilaturahim kepada orang yang membenci kita, seseorang yang sangat menghindari pertemuan dengan kita, lalu kita mengupayakan diri untuk bertemu dengannya, maka
inilah yang silaturahim yang hakiki.
2. To celebrate (Sarana untuk merayakan kemenangan)
Selama satu bulan umat Muslim diperintahkan oleh Allah SWT untuk berpuasa, bahkan Allah SWT pun menjanjikan reward (imbalan) berbentuk kegembiraan tak terhingga bagi yang melaksanakan puasa dengan baik dan benar, yaitu ketika berbuka dan ketika bertemu dengan Allah SWT nanti. Janji Allah SWT tersebut kebenarannya sudah bisa kita rasakan terutama ketika lebaran. Umat Muslim di seluruh dunia bersuka cita merayakan hari kemenangan setelah berusaha bertarung menaklukan nafsu syahwat selama satu bulan tersebut. Berbagai aktivitas diekspresikan umat Muslim untuk merayakan hari kemenangan tersebut, seperti dengan memperbanyak membaca takbir, ada yang karnaval keliling kampung, saling berkirim makanan ke sanak saudara, memakai baju baru, masak makanan spesial, shalat ied, saling berkunjung, saling berbagi bahkan muncul tradisi pulang kampung atau mudik.
Namun demikian, tidak sedikit yang merayakan hari lebaran tersebut dengan aktivitas yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti dengan tawuran, memubadzirkan harta dengan membakar petasan atau kembang api, pacaran dan lain sebagainya, dan yang lebih ironis adalah banyak orang muslim yang tidak berpuasa tapi begitu repotnya mempersiapkan perayaan lebaran, mereka pulang kampung dengan penampilan dan oleh-oleh yang luar biasa, mereka ikut bersuka cita bak pejuang yang pulang dari peperangan dengan membawa kemenangan, padahal sesungguhnya mereka sudah kalah dalam bertarung melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan. Naudzu billah.
3. To Give (Sarana berbagi)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menegaskan bahwa puasa di bulan Ramadhan harus disempurnakan dengan membayar zakat fitrah sampai menjelang shalat idul fitri. Hal tersebut merupakan gambaran bahwa harus ada keseimbangan antara ibadah individual dan ibadah sosial, antara kesalehan individu dan kesalehan sosial. Tidaklah dianggap cukup seorang muslim yang rajin beribadah tanpa memperhatikan kondisi sosial di sekitarnya.
Membayar zakat fitrah merupakan kewajiban setiap orang Islam yang mempunyai kelebihan untuk biaya makan selama satu hari satu malam di hari lebaran. Dengan adanya kewajiban membayar zakat tersebut, maka akan terjalin kasih sayang antara sesama, sehingga kegembiraan di hari lebaran tersebut bisa dirasakan oleh semua lapisan umat termasuk orang-orang fakir dan miskin.
4. To Increase (Sarana peningkatan)
Setelah selesai bulan ramadhan, maka datanglah bulan syawal yang kedatangannya dirayakan dengan hari raya idul fitri. Secara bahasa “syawal” berarti peningkatan. Dengan demikian, bulan syawal merupakan momentum untuk meningkatkan kualitas ibadah seorang Muslim agar lebih baik dari bulan sebelumnya. Tradisi-tradisi keagamaan yang marak dilakukan di bulan Ramadhan seperti tadarrus, shalat sunah, shadaqah dan lain sebagainya harusnya dipertahankan bahkan lebih ditingkatkan pada bulan-bulan selanjutnya, bukan sebaliknya, yang tadinya rajin tadarrus bahkan berkali-kali khatam di bulan Ramadhan, justru bulan selanjutnya tidak pernah membaca Al-Qur’an lagi. Minimal ada waktu khusus yang secara konsisten dan kontinyu digunakan untuk mengkaji Al-Qur’an. Atau yang tadinya jarang shalat tahajud, menjadi rajin shalat tahajud dan lain sebagainya. Dengan demikian, secara persistent Muslim yang telah lulus berpuasa harus senantiasa meningkatkan amal ibadahnya, dan secara konsistent berusaha sekuat tenaga menjaga hawa nafsu serta meninggalkan kemaksiatan yang dibalut dengan kesenangan duniawi. Amin, Allohumma Amiin.
Selasa, 09 Agustus 2011
Cara Terbaik Menghindari Konflik di Kantor
Sumber: http://www.metrotvnews.com/read/news/2011/08/09/60614/Cara-Terbaik-Menghindari-Konflik-di-Kantor-/
MANTAN presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt pernah berkata, ''Satu-satunya bahan terpenting dalam rumus kesuksesan adalah menguasai cara bergaul dengan orang.''
Hal tersebut berlaku pula di tempat kerja. Berdasarkan survei terbaru oleh Robert Half International seperti dikutip situs careerbuilder.msn.com, para manajer mengungkapkan bahwa, rata-rata, mereka menghabiskan 18 persen waktunya untuk menyelesaikan konflik pribadi para staf. Angka itu setara dengan lebih dari tujuh jam dalam sepekan, atau sembilan minggu dalam setahun.
Lantas, seperti apa cara terbaik untuk menghindari konflik di tempat kerja?
Jangan berasumsi buruk
Ketika seorang rekan kerja lalai melakukan pekerjaannya sehingga turut berdampak buruk terhadap Anda, jangan buru-buru mengasumsikan hal itu sebagai upaya untuk menyabotase Anda. Kecerobohan itu bisa saja bersumber dari perencanaan yang buruk, miskomunikasi, atau kelebihan beban pekerjaan yang membuatnya tidak dapat memberikan performa maksimal.
Hindari membentuk asumsi bahwa hal tersebut bersifat pribadi. Sebaliknya, selesaikan masalah ini secara netral dan objektif.
Menempatkan diri di posisi orang lain
Memerhatikan gaya kerja rekan-rekan lain dapat membantu Anda untuk bekerja sama dengan mereka secara lebih efektif. Cari tahu pula bagaimana daya saing dan tekanan yang mereka hadapi. Anda mungkin akan lebih berempati dan toleran jika memahami peran mereka secara lebih baik.
Membentuk kata sepakat
Kesalahpahaman kecil sering menjadi sumber ketegangan yang signifikan. Ketika terlibat dalam sebuah proyek bersama, atur pertemuan awal untuk memperjelas siapa yang bertanggung jawab terhadap apa. Segera setelahnya, tindaklanjuti dengan merekapitulasi apa yang dibicarakan lewat email.
Melakukan pemeriksaan secara periodik juga dapat membantu Anda terhindar dari kekacauan di menit-menit terakhir dan aksi saling tuding.
Menerima orang apa adanya
Berfokus pada kekurangan orang adalah resep untuk rasa frustrasi dan perpecahan. Seorang perfeksionis akan dengan mudah menemukan dirinya terganggu oleh seorang rekan kerja yang kurang berorientasi pada detail. Meski demikian, ingatlah bahwa setiap orang turut berkontribusi dengan membawa keahlian yang berguna.
Ketika bekerja sama sebagai sebuah tim, cobalah untuk saling melengkapi kekuatan masing-masing dan mengabaikan perbedaan-perbedaan.
Mengkritik dengan bijaksana
Tidak ada yang salah dengan ketidaksepakatan. Menyetujui sebuah ide buruk hanya karena tidak ingin membuat keributan, dengan sendirinya adalah sebuah gagasan buruk.
Tapi, pastikan kritik yang Anda sampaikan itu bersifat konstruktif. Perhatikan apa yang Anda katakan dan bagaimana cara menyampaikannya. Sebuah sudut pandang yang berlawanan bisa memicu konflik jika disampaikan dengan cara yang salah. (MI/ARD)
MANTAN presiden Amerika Serikat Theodore Roosevelt pernah berkata, ''Satu-satunya bahan terpenting dalam rumus kesuksesan adalah menguasai cara bergaul dengan orang.''
Hal tersebut berlaku pula di tempat kerja. Berdasarkan survei terbaru oleh Robert Half International seperti dikutip situs careerbuilder.msn.com, para manajer mengungkapkan bahwa, rata-rata, mereka menghabiskan 18 persen waktunya untuk menyelesaikan konflik pribadi para staf. Angka itu setara dengan lebih dari tujuh jam dalam sepekan, atau sembilan minggu dalam setahun.
Lantas, seperti apa cara terbaik untuk menghindari konflik di tempat kerja?
Jangan berasumsi buruk
Ketika seorang rekan kerja lalai melakukan pekerjaannya sehingga turut berdampak buruk terhadap Anda, jangan buru-buru mengasumsikan hal itu sebagai upaya untuk menyabotase Anda. Kecerobohan itu bisa saja bersumber dari perencanaan yang buruk, miskomunikasi, atau kelebihan beban pekerjaan yang membuatnya tidak dapat memberikan performa maksimal.
Hindari membentuk asumsi bahwa hal tersebut bersifat pribadi. Sebaliknya, selesaikan masalah ini secara netral dan objektif.
Menempatkan diri di posisi orang lain
Memerhatikan gaya kerja rekan-rekan lain dapat membantu Anda untuk bekerja sama dengan mereka secara lebih efektif. Cari tahu pula bagaimana daya saing dan tekanan yang mereka hadapi. Anda mungkin akan lebih berempati dan toleran jika memahami peran mereka secara lebih baik.
Membentuk kata sepakat
Kesalahpahaman kecil sering menjadi sumber ketegangan yang signifikan. Ketika terlibat dalam sebuah proyek bersama, atur pertemuan awal untuk memperjelas siapa yang bertanggung jawab terhadap apa. Segera setelahnya, tindaklanjuti dengan merekapitulasi apa yang dibicarakan lewat email.
Melakukan pemeriksaan secara periodik juga dapat membantu Anda terhindar dari kekacauan di menit-menit terakhir dan aksi saling tuding.
Menerima orang apa adanya
Berfokus pada kekurangan orang adalah resep untuk rasa frustrasi dan perpecahan. Seorang perfeksionis akan dengan mudah menemukan dirinya terganggu oleh seorang rekan kerja yang kurang berorientasi pada detail. Meski demikian, ingatlah bahwa setiap orang turut berkontribusi dengan membawa keahlian yang berguna.
Ketika bekerja sama sebagai sebuah tim, cobalah untuk saling melengkapi kekuatan masing-masing dan mengabaikan perbedaan-perbedaan.
Mengkritik dengan bijaksana
Tidak ada yang salah dengan ketidaksepakatan. Menyetujui sebuah ide buruk hanya karena tidak ingin membuat keributan, dengan sendirinya adalah sebuah gagasan buruk.
Tapi, pastikan kritik yang Anda sampaikan itu bersifat konstruktif. Perhatikan apa yang Anda katakan dan bagaimana cara menyampaikannya. Sebuah sudut pandang yang berlawanan bisa memicu konflik jika disampaikan dengan cara yang salah. (MI/ARD)
Selasa, 14 Juni 2011
Agama dan Survei Prematur
Oleh Prof Dr Nasaruddin Umar
Sumber: Kolom Hikmah Republika, Selasa, 14 Juni 2011
Pada 1990-an sebuah hasil riset di AS tidak boleh dipublikasikan. Penelitian itu menyimpulkan kecerdasan seseorang berbanding lurus dengan ras. Ras paling cerdas berdasarkan urutan adalah (1) Ras kuning, seperti orang Cina, Jepang, dan Korea. (2) Ras putih, seperti orang kulit putih Amerika dan Eropa. (3) Ras cokelat, seperti orang Arab, India, dan Pakistan. (4) Ras sawo matang, seperti orang Melayu, Thailand, Vietnam, dan Filipina. (5) Ras negroid, yaitu kulit hitam.
Pelarangan publikasi itu disebabkan oleh kesimpulan yang bisa memicu ketegangan etnis di AS. Itu artinya, orang kulit hitam yang hampir separuh di AS tidak pantas menjadi presiden karena berasal dari ras paling tidak cerdas. Kalau saja riset ini dipublikasikan, mungkin Obama tidak akan menjadi presiden AS.
Di Indonesia, sedang marak lembaga-lembaga survei dan yang disurvei pun bermacam-macam, termasuk kualitas akidah dan tingkat keyakinan seseorang terhadap agamanya. Tidak terbayang, apakah objek yang maharumit ini bisa diukur dengan survei dangkalan. Ironisnya, survei yang luar biasa susahnya ini dipublikasikan sebebas-bebasnya di dalam masyarakat sehingga kadang hasil survei ini membuat orang lain jadi shock, stres, memicu terjadinya kecemburuan, konflik, dan intoleransi.
Survei yang baru-baru ini dipublikasikan menuding meningkatnya populasi garis keras umat Islam secara tajam dan semakin meluasnya intoleransi umat Islam di dalam masyarakat. Respondennya jamaah masjid, komunitas pondok pesantren NU, dan majelis-majelis taklim. Angka-angkanya amat fantastik, sebagaimana bisa diikuti di media internet.
Apa betul umat Islam Indonesia sudah lebih radikal? Apa betul kurikulum agama kita sudah sedemikian parah sehingga harus dirombak total? Apa betul para mubaligh dan guru-guru agama kita sudah menjadi penganut Islam garis keras? Apa betul pondok-pondok pesantren dan madrasah sudah terkontaminasi aliran keras sehingga perlu di-rebrain washing? Apa betul orang menjadi teroris dan garis keras itu karena terjemahan Alquran Kementerian Agama yang rusak? Apa kebobrokan Kementerian Agama sudah sedemikian parah sehingga sudah waktunya untuk dibubarkan? Jangan sampai kita tidak sadar menjadi penari latar yang gendangnya ditabuh orang lain.
Hak intelektual setiap orang untuk melakukan survei apa saja. Namun, kewajiban intelektual juga harus diindahkan. Idealnya, setiap survei tidak boleh cacat metodologis, apalagi jika yang disurvei objeknya sensitif. Jangan sampai survei yang dilakukan by order dan by design kelompok tertentu atau hanya untuk mencari perhatian dan keterkenalan. Kita bisa mencari uang, tetapi sebaiknya tidak dengan menjual survei prematur.
Kalau objek survei itu perilaku pasar, konstituen politik, dan objek-objek measurable lainnya, tentu wajar bahkan menjadi ciri masyarakat modern. Akan tetapi, jika yang disurvei persoalan mendasar dan sensitif, seperti menyangkut kepercayaan dan harga diri etnik tertentu, sebaiknya lembaga survei itu berhitung lebih jauh untuk memublikasikan hasil surveinya. Ilmuwan ideal ialah ilmuwan yang arif, yakni tidak semua unek-unek dan hasil temuannya dilempar ke masyarakat.
Sumber: Kolom Hikmah Republika, Selasa, 14 Juni 2011
Pada 1990-an sebuah hasil riset di AS tidak boleh dipublikasikan. Penelitian itu menyimpulkan kecerdasan seseorang berbanding lurus dengan ras. Ras paling cerdas berdasarkan urutan adalah (1) Ras kuning, seperti orang Cina, Jepang, dan Korea. (2) Ras putih, seperti orang kulit putih Amerika dan Eropa. (3) Ras cokelat, seperti orang Arab, India, dan Pakistan. (4) Ras sawo matang, seperti orang Melayu, Thailand, Vietnam, dan Filipina. (5) Ras negroid, yaitu kulit hitam.
Pelarangan publikasi itu disebabkan oleh kesimpulan yang bisa memicu ketegangan etnis di AS. Itu artinya, orang kulit hitam yang hampir separuh di AS tidak pantas menjadi presiden karena berasal dari ras paling tidak cerdas. Kalau saja riset ini dipublikasikan, mungkin Obama tidak akan menjadi presiden AS.
Di Indonesia, sedang marak lembaga-lembaga survei dan yang disurvei pun bermacam-macam, termasuk kualitas akidah dan tingkat keyakinan seseorang terhadap agamanya. Tidak terbayang, apakah objek yang maharumit ini bisa diukur dengan survei dangkalan. Ironisnya, survei yang luar biasa susahnya ini dipublikasikan sebebas-bebasnya di dalam masyarakat sehingga kadang hasil survei ini membuat orang lain jadi shock, stres, memicu terjadinya kecemburuan, konflik, dan intoleransi.
Survei yang baru-baru ini dipublikasikan menuding meningkatnya populasi garis keras umat Islam secara tajam dan semakin meluasnya intoleransi umat Islam di dalam masyarakat. Respondennya jamaah masjid, komunitas pondok pesantren NU, dan majelis-majelis taklim. Angka-angkanya amat fantastik, sebagaimana bisa diikuti di media internet.
Apa betul umat Islam Indonesia sudah lebih radikal? Apa betul kurikulum agama kita sudah sedemikian parah sehingga harus dirombak total? Apa betul para mubaligh dan guru-guru agama kita sudah menjadi penganut Islam garis keras? Apa betul pondok-pondok pesantren dan madrasah sudah terkontaminasi aliran keras sehingga perlu di-rebrain washing? Apa betul orang menjadi teroris dan garis keras itu karena terjemahan Alquran Kementerian Agama yang rusak? Apa kebobrokan Kementerian Agama sudah sedemikian parah sehingga sudah waktunya untuk dibubarkan? Jangan sampai kita tidak sadar menjadi penari latar yang gendangnya ditabuh orang lain.
Hak intelektual setiap orang untuk melakukan survei apa saja. Namun, kewajiban intelektual juga harus diindahkan. Idealnya, setiap survei tidak boleh cacat metodologis, apalagi jika yang disurvei objeknya sensitif. Jangan sampai survei yang dilakukan by order dan by design kelompok tertentu atau hanya untuk mencari perhatian dan keterkenalan. Kita bisa mencari uang, tetapi sebaiknya tidak dengan menjual survei prematur.
Kalau objek survei itu perilaku pasar, konstituen politik, dan objek-objek measurable lainnya, tentu wajar bahkan menjadi ciri masyarakat modern. Akan tetapi, jika yang disurvei persoalan mendasar dan sensitif, seperti menyangkut kepercayaan dan harga diri etnik tertentu, sebaiknya lembaga survei itu berhitung lebih jauh untuk memublikasikan hasil surveinya. Ilmuwan ideal ialah ilmuwan yang arif, yakni tidak semua unek-unek dan hasil temuannya dilempar ke masyarakat.
Sang Dermawan
Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas
Sumber: Kolom Hikmah Republika, Rabu, 08 Juni 2011
Siang itu, Madinah sangat ramai. Para pedagang berlarian meninggalkan dagangannya menuju jalan raya. Pengunjung pasar sudah lebih dahulu meninggalkan para pedagang dan begitu saja melemparkan barang yang sedang ditawar. Rupanya, 700 ekor unta sarat dengan barang-barang dagangan di punggung masing-masing memasuki Kota Madinah. Itulah kafilah dagang milik Abdurrahman bin Auf, salah seorang sahabat terkaya pada zaman Rasul SAW.
Suara hiruk-pikuk itu membuat kaget Ummul Mukminin Aisyah RA, yang pada saat itu sedang menyampaikan hadis Nabi. Setelah diberi tahu apa yang terjadi, Aisyah berkata: "Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya bagi Abdurrahman dengan baktinya di dunia, serta pahala yang besar di akhirat. Aku pernah mendengar Rasul SAW bersabda bahwa Abdurrahman bin Auf akan masuk surga sambil merangkak."
Seorang sahabat berlari mencari Abdurrahman untuk mengabarkan berita gembira itu. Mendengar hal tersebut, Abdurrahman segera menemui Ummul Mukminin Aisyah. "Wahai ibunda, apakah ibunda mendengar sendiri ucapan itu dari Rasulullah?" Jawab Aisyah, "Ya aku mendengar sendiri."
Abdurrahman melonjak kegirangan. "Seandainya sanggup, aku akan memasukinya sambil berjalan. Wahai ibunda, saksikanlah, seluruh unta lengkap dengan barang dagangan di punggung masing-masing, aku dermakan untuk fi sabilillah."
Subhanallah, begitulah Abdurrahman, sang dermawan. Tidak salah Nabi menyatakan Abdurrahman masuk surga dengan merangkak. Bukan karena sulitnya masuk surga, melainkan karena begitu dekatnya sehingga tidak perlu lagi berjalan, cukup merangkak. Abdurrahman tidak pernah ragu menyumbangkan harta kekayaannya untuk kepentingan dakwah.
Pada suatu kesempatan, setelah mendengarkan seruan Rasul SAW untuk berjuang dengan harta benda, Abdurrahman bergegas pulang dan kembali membawa 2.000 dinar. "Wahai Rasulullah, aku mempunyai 4.000 dinar, dan 2.000 dinar aku pinjamkan kepada Allah dan 2.000 dinar untuk keluargaku."
Rasulullah menerimanya sambil bersabda: "Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepadamu, terhadap harta benda yang kamu berikan, dan semoga Allah memberkahi pula harta yang kamu tinggalkan untuk keluargamu."
Ketika Rasul bersiap menghadapi Perang Tabuk, beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk mengorbankan harta bendanya untuk fi sabilillah. Kaum Muslimin memenuhi seruan Nabi yang mulia itu. Dan, Abdurrahman menyerahkan 200 uqiyah emas. Melihat jumlah itu, Umar berbisik kepada Nabi: "Agaknya Abdurrahman berdosa tidak meninggali uang belanja sedikit pun untuk keluarganya." Rasul menanyakannya kepada Abdurrahman. Ia menjawab, "Untuk mereka saya tinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang saya sumbangkan. Yakni sebanyak rezeki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah."
Sejak berita gembira akan menjadi penghuni surga itu, Abdurrahman semakin dermawan, semangatnya semakin tinggi dalam mengorbankan hartanya pada jalan Allah. Ia juga menyumbangkan lagi 40 ribu dinar, 500 ekor kuda, dan 1.500 ekor unta untuk para pejuang.
Dia juga membagikan 400 dinar kepada setiap veteran Perang Badar yang masih hidup dan lainnya. Aisyah sering mendoakannya, "Semoga Allah memberinya minum dengan minuman dari telaga Salsabil."
Sumber: Kolom Hikmah Republika, Rabu, 08 Juni 2011
Siang itu, Madinah sangat ramai. Para pedagang berlarian meninggalkan dagangannya menuju jalan raya. Pengunjung pasar sudah lebih dahulu meninggalkan para pedagang dan begitu saja melemparkan barang yang sedang ditawar. Rupanya, 700 ekor unta sarat dengan barang-barang dagangan di punggung masing-masing memasuki Kota Madinah. Itulah kafilah dagang milik Abdurrahman bin Auf, salah seorang sahabat terkaya pada zaman Rasul SAW.
Suara hiruk-pikuk itu membuat kaget Ummul Mukminin Aisyah RA, yang pada saat itu sedang menyampaikan hadis Nabi. Setelah diberi tahu apa yang terjadi, Aisyah berkata: "Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya bagi Abdurrahman dengan baktinya di dunia, serta pahala yang besar di akhirat. Aku pernah mendengar Rasul SAW bersabda bahwa Abdurrahman bin Auf akan masuk surga sambil merangkak."
Seorang sahabat berlari mencari Abdurrahman untuk mengabarkan berita gembira itu. Mendengar hal tersebut, Abdurrahman segera menemui Ummul Mukminin Aisyah. "Wahai ibunda, apakah ibunda mendengar sendiri ucapan itu dari Rasulullah?" Jawab Aisyah, "Ya aku mendengar sendiri."
Abdurrahman melonjak kegirangan. "Seandainya sanggup, aku akan memasukinya sambil berjalan. Wahai ibunda, saksikanlah, seluruh unta lengkap dengan barang dagangan di punggung masing-masing, aku dermakan untuk fi sabilillah."
Subhanallah, begitulah Abdurrahman, sang dermawan. Tidak salah Nabi menyatakan Abdurrahman masuk surga dengan merangkak. Bukan karena sulitnya masuk surga, melainkan karena begitu dekatnya sehingga tidak perlu lagi berjalan, cukup merangkak. Abdurrahman tidak pernah ragu menyumbangkan harta kekayaannya untuk kepentingan dakwah.
Pada suatu kesempatan, setelah mendengarkan seruan Rasul SAW untuk berjuang dengan harta benda, Abdurrahman bergegas pulang dan kembali membawa 2.000 dinar. "Wahai Rasulullah, aku mempunyai 4.000 dinar, dan 2.000 dinar aku pinjamkan kepada Allah dan 2.000 dinar untuk keluargaku."
Rasulullah menerimanya sambil bersabda: "Semoga Allah melimpahkan berkah-Nya kepadamu, terhadap harta benda yang kamu berikan, dan semoga Allah memberkahi pula harta yang kamu tinggalkan untuk keluargamu."
Ketika Rasul bersiap menghadapi Perang Tabuk, beliau memerintahkan kaum Muslimin untuk mengorbankan harta bendanya untuk fi sabilillah. Kaum Muslimin memenuhi seruan Nabi yang mulia itu. Dan, Abdurrahman menyerahkan 200 uqiyah emas. Melihat jumlah itu, Umar berbisik kepada Nabi: "Agaknya Abdurrahman berdosa tidak meninggali uang belanja sedikit pun untuk keluarganya." Rasul menanyakannya kepada Abdurrahman. Ia menjawab, "Untuk mereka saya tinggalkan lebih banyak dan lebih baik daripada yang saya sumbangkan. Yakni sebanyak rezeki, kebaikan, dan upah yang dijanjikan Allah."
Sejak berita gembira akan menjadi penghuni surga itu, Abdurrahman semakin dermawan, semangatnya semakin tinggi dalam mengorbankan hartanya pada jalan Allah. Ia juga menyumbangkan lagi 40 ribu dinar, 500 ekor kuda, dan 1.500 ekor unta untuk para pejuang.
Dia juga membagikan 400 dinar kepada setiap veteran Perang Badar yang masih hidup dan lainnya. Aisyah sering mendoakannya, "Semoga Allah memberinya minum dengan minuman dari telaga Salsabil."
Selasa, 07 Juni 2011
Kelembutan Nabi
Oleh: Prof dr Achmad Satori Ismail
Sumber: Kolom Himah Republika Senin, 06 Juni 2011
Ketika Rasulullah SAW duduk bersama para sahabatnya, seorang pendeta Yahudi bernama Zaid bin Sa'nah masuk menerobos shaf, lalu menarik kerah baju Rasul dengan keras seraya berkata kasar, "Bayar utangmu, wahai Muhammad, sesungguhnya turunan Bani Hasyim adalah orang-orang yang selalu mengulur-ulur pembayaran utang."
Umar bin Khattab RA langsung berdiri dan menghunus pedangnya. "Wahai Rasulullah, izinkan aku menebas batang lehernya." Rasulullah SAW berkata, "Bukan berperilaku kasar seperti itu aku menyerumu. Aku dan Yahudi ini membutuhkan perilaku lembut. Perintahkan kepadanya agar menagih utang dengan sopan dan anjurkan kepadaku agar membayar utang dengan baik."
Tiba-tiba pendeta Yahudi berkata, "Demi Allah yang telah mengutusmu dengan hak, aku datang kepadamu bukan untuk menagih utang. Aku datang sengaja untuk menguji akhlakmu. Tapi, aku telah membaca sifat-sifatmu dalam Kitab Taurat. Semua sifat itu telah terbukti dalam dirimu, kecuali satu yang belum aku coba, yaitu sikap lembut saat marah. Dan aku baru membuktikannya sekarang. Oleh sebab itu, aku bersaksi tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah dan sesungguhnya engkau wahai Muhammad adalah utusan Allah. Adapun piutang yang ada padamu, aku sedekahkan untuk orang Muslim yang miskin.
Itulah kemuliaan akhlak Rasulullah, sang teladan yang telah dipuji Allah sebagai nabi dengan akhlaknya berada di atas semua akhlak yang agung. (QS Alqalam: 3). Kelembutan dan kesabaran dijadikan sebagai manhaj dalam berdakwah. Ucapannya lembut, sikapnya lembut, dan perilakunya dalam semua aktivitas dakwahnya adalah kelembutan, kecuali sikap yang membutuhkan ketegasan, seperti dalam menegakkan //hudud dan berperang melawan kufar penyerang.
Kelembutan merupakan akhlak yang mampu mendekatkan manusia kepada Islam. Allah menjelaskan, "Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." (QS Ali Imran 159).
Kekerasan dan perilaku anarkis akan merugikan Islam dan umatnya. Beliau selalu menyeru umatnya agar bersikap lembut. Beliau bersabda, "Sikap hati-hati (tidak tergesa-gesa), kesederhanaan, dan perilaku lembut adalah bagian dari 24 ciri kenabian." (HR at-Tirmidzi).
Rasul SAW pernah mengingatkan Siti Aisyah saat bersikap kasar. "Sesungguhnya Allah Mahalembut dan menyukai kelembutan dan Allah memberi dampak positif pada kelembutan yang tidak diberikan kepada kekerasan. Dan tiada kelembutan pada sesuatu kecuali akan menghiasinya dan bila dicabut kelembutan dari sesuatu akan menjadikannya buruk." (HR Muslim). Rasulullah juga menegaskan bahwa barang siapa yang tidak memiliki kelembutan maka akan dijauhkan dari kebaikan. (HR Muslim).
Umat Islam wajib bersikap lembut dalam menghadapi berbagai situasi dan tantangan. Banyak musuh-musuh Allah yang selalu memprovokasi agar umat Islam bersikap ekstrem, bertindak anarkis, dan melakukan teror.
Sikap dan perilaku tidak terpuji itu, akan menzalimi dan mendorong non-Muslim antipati terhadap Islam.
Sumber: Kolom Himah Republika Senin, 06 Juni 2011
Ketika Rasulullah SAW duduk bersama para sahabatnya, seorang pendeta Yahudi bernama Zaid bin Sa'nah masuk menerobos shaf, lalu menarik kerah baju Rasul dengan keras seraya berkata kasar, "Bayar utangmu, wahai Muhammad, sesungguhnya turunan Bani Hasyim adalah orang-orang yang selalu mengulur-ulur pembayaran utang."
Umar bin Khattab RA langsung berdiri dan menghunus pedangnya. "Wahai Rasulullah, izinkan aku menebas batang lehernya." Rasulullah SAW berkata, "Bukan berperilaku kasar seperti itu aku menyerumu. Aku dan Yahudi ini membutuhkan perilaku lembut. Perintahkan kepadanya agar menagih utang dengan sopan dan anjurkan kepadaku agar membayar utang dengan baik."
Tiba-tiba pendeta Yahudi berkata, "Demi Allah yang telah mengutusmu dengan hak, aku datang kepadamu bukan untuk menagih utang. Aku datang sengaja untuk menguji akhlakmu. Tapi, aku telah membaca sifat-sifatmu dalam Kitab Taurat. Semua sifat itu telah terbukti dalam dirimu, kecuali satu yang belum aku coba, yaitu sikap lembut saat marah. Dan aku baru membuktikannya sekarang. Oleh sebab itu, aku bersaksi tiada Tuhan yang wajib disembah selain Allah dan sesungguhnya engkau wahai Muhammad adalah utusan Allah. Adapun piutang yang ada padamu, aku sedekahkan untuk orang Muslim yang miskin.
Itulah kemuliaan akhlak Rasulullah, sang teladan yang telah dipuji Allah sebagai nabi dengan akhlaknya berada di atas semua akhlak yang agung. (QS Alqalam: 3). Kelembutan dan kesabaran dijadikan sebagai manhaj dalam berdakwah. Ucapannya lembut, sikapnya lembut, dan perilakunya dalam semua aktivitas dakwahnya adalah kelembutan, kecuali sikap yang membutuhkan ketegasan, seperti dalam menegakkan //hudud dan berperang melawan kufar penyerang.
Kelembutan merupakan akhlak yang mampu mendekatkan manusia kepada Islam. Allah menjelaskan, "Maka, disebabkan rahmat dari Allahlah kamu berlaku lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya kamu bersikap keras lagi berhati kasar, tentulah mereka menjauhkan diri dari sekelilingmu." (QS Ali Imran 159).
Kekerasan dan perilaku anarkis akan merugikan Islam dan umatnya. Beliau selalu menyeru umatnya agar bersikap lembut. Beliau bersabda, "Sikap hati-hati (tidak tergesa-gesa), kesederhanaan, dan perilaku lembut adalah bagian dari 24 ciri kenabian." (HR at-Tirmidzi).
Rasul SAW pernah mengingatkan Siti Aisyah saat bersikap kasar. "Sesungguhnya Allah Mahalembut dan menyukai kelembutan dan Allah memberi dampak positif pada kelembutan yang tidak diberikan kepada kekerasan. Dan tiada kelembutan pada sesuatu kecuali akan menghiasinya dan bila dicabut kelembutan dari sesuatu akan menjadikannya buruk." (HR Muslim). Rasulullah juga menegaskan bahwa barang siapa yang tidak memiliki kelembutan maka akan dijauhkan dari kebaikan. (HR Muslim).
Umat Islam wajib bersikap lembut dalam menghadapi berbagai situasi dan tantangan. Banyak musuh-musuh Allah yang selalu memprovokasi agar umat Islam bersikap ekstrem, bertindak anarkis, dan melakukan teror.
Sikap dan perilaku tidak terpuji itu, akan menzalimi dan mendorong non-Muslim antipati terhadap Islam.
Rabu, 01 Juni 2011
Keteladanan dalam Mendidik Anak
Oleh Khofifah Indar Parawansa
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Rabu, 01 Juni 2011
Nama Luqmanul Hakim sangat popular dalam dunia Islam, karena nasihat-nasihatnya yang penuh hikmah. Bukan sekadar pesan, namun nasihatnya merupakan pendidikan seorang bapak terhadap anaknya yang penuh dengan kasih sayang serta ajaran tentang akidah dan akhlak. Karena keteladanannya dalam mendidik anak itu pula, Allah mengabadikan namanya dalam Alquran, yakni Surah Luqman.
Tentang asal-usul Luqman, ada beda pendapat di antara para ulama. Ibnu Abbas menyatakan bahwa Luqman adalah seorang tukang kayu dari Habsyi. Riwayat lain menyebutkan, ia bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah, dan ada yang berpendapat dia berasal dari Sudan. Dan, ada pula yang berpendapat Luqman adalah seorang hakim di zaman Nabi Daud AS.
Ada enam hal penting yang disampaikan Luqman kepada anaknya. Pertama, larangan mempersekutukan Allah. (QS Luqman: 13). Kedua, berbuat baik kepada dua orang ibu-bapak. (QS Luqman: 14). Ketiga, sadar terhadap pengawasan Allah. (QS Luqman: 16). Keempat, mendirikan shalat, 'amar makruf nahi mungkar, dan sabar dalam menghadapi persoalan. (QS Luqman: 17). Kelima, larangan sombong dan membanggakan diri (QS Luqman: 18). Dan keenam, bersikap sederhana dan bersuara rendah (QS Luqman: 19).
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Luqman tersebut, terutama soal keteladanan seorang bapak dalam mendidik anak. Luqman menanamkan tauhid dan keimanan kepada Allah SWT, juga norma dan tata cara berhubungan dengan keluarga dan masyarakat luas. Luqman tidak hanya berbicara, tapi langsung memberikan uswah (teladan) kepada anaknya.
Urgensi keteladanan disebutkan dalam hadis nabi. "Barang siapa yang memberikan contoh baik, maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang yang mengikuti hingga hari kiamat, yang demikian itu tidak menghalangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan barang siapa yang memberi contoh buruk, maka baginya dosa atas perbuatannya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang-orang yang mengikutinya." (HR Imam Muslim).
Dalam konteks sekarang, kisah Luqman perlu disosialisasikan secara terus-menerus di tengah bermunculannya kasus anak-anak yang tidak mendapatkan hak sewajarnya dalam keluarga. Mereka hidup nyaris tanpa perlindungan. Bahkan, banyak anak hidup di bawah ancaman dan kekerasan, karena orang tua lari dari tanggung jawab.
Di sisi lain, kini banyak perilaku negatif di masyarakat yang bisa mendorong anak-anak menjadi jauh dari akidah dan akhlak Islam. Tayang televisi yang kurang bermutu, serta maraknya aksi pornografi dan pornoaksi, merupakan bagian dari penyebabnya. Akibatnya, anak-anak kerap mengalami krisis keteladanan.
Untuk itu, keluarga memegang peran penting agar anak-anak menemukan keteladanan dalam hidupnya. Dari keluarga, anak menemukan tata nilai agama dan norma yang berhubungan dengan masyarakat, sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW. Sehingga, terbentuk keluarga sakinah yang senantiasa dinaungi hidayah Allah SWT. Insya Allah.
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Rabu, 01 Juni 2011
Nama Luqmanul Hakim sangat popular dalam dunia Islam, karena nasihat-nasihatnya yang penuh hikmah. Bukan sekadar pesan, namun nasihatnya merupakan pendidikan seorang bapak terhadap anaknya yang penuh dengan kasih sayang serta ajaran tentang akidah dan akhlak. Karena keteladanannya dalam mendidik anak itu pula, Allah mengabadikan namanya dalam Alquran, yakni Surah Luqman.
Tentang asal-usul Luqman, ada beda pendapat di antara para ulama. Ibnu Abbas menyatakan bahwa Luqman adalah seorang tukang kayu dari Habsyi. Riwayat lain menyebutkan, ia bertubuh pendek dan berhidung mancung dari Nubah, dan ada yang berpendapat dia berasal dari Sudan. Dan, ada pula yang berpendapat Luqman adalah seorang hakim di zaman Nabi Daud AS.
Ada enam hal penting yang disampaikan Luqman kepada anaknya. Pertama, larangan mempersekutukan Allah. (QS Luqman: 13). Kedua, berbuat baik kepada dua orang ibu-bapak. (QS Luqman: 14). Ketiga, sadar terhadap pengawasan Allah. (QS Luqman: 16). Keempat, mendirikan shalat, 'amar makruf nahi mungkar, dan sabar dalam menghadapi persoalan. (QS Luqman: 17). Kelima, larangan sombong dan membanggakan diri (QS Luqman: 18). Dan keenam, bersikap sederhana dan bersuara rendah (QS Luqman: 19).
Banyak pelajaran yang dapat dipetik dari kisah Luqman tersebut, terutama soal keteladanan seorang bapak dalam mendidik anak. Luqman menanamkan tauhid dan keimanan kepada Allah SWT, juga norma dan tata cara berhubungan dengan keluarga dan masyarakat luas. Luqman tidak hanya berbicara, tapi langsung memberikan uswah (teladan) kepada anaknya.
Urgensi keteladanan disebutkan dalam hadis nabi. "Barang siapa yang memberikan contoh baik, maka baginya pahala atas perbuatan baiknya dan pahala orang yang mengikuti hingga hari kiamat, yang demikian itu tidak menghalangi pahala orang-orang yang mengikutinya sedikit pun. Dan barang siapa yang memberi contoh buruk, maka baginya dosa atas perbuatannya dan orang-orang yang mengikutinya hingga hari kiamat. Yang demikian itu tanpa dikurangi sedikit pun dosa orang-orang yang mengikutinya." (HR Imam Muslim).
Dalam konteks sekarang, kisah Luqman perlu disosialisasikan secara terus-menerus di tengah bermunculannya kasus anak-anak yang tidak mendapatkan hak sewajarnya dalam keluarga. Mereka hidup nyaris tanpa perlindungan. Bahkan, banyak anak hidup di bawah ancaman dan kekerasan, karena orang tua lari dari tanggung jawab.
Di sisi lain, kini banyak perilaku negatif di masyarakat yang bisa mendorong anak-anak menjadi jauh dari akidah dan akhlak Islam. Tayang televisi yang kurang bermutu, serta maraknya aksi pornografi dan pornoaksi, merupakan bagian dari penyebabnya. Akibatnya, anak-anak kerap mengalami krisis keteladanan.
Untuk itu, keluarga memegang peran penting agar anak-anak menemukan keteladanan dalam hidupnya. Dari keluarga, anak menemukan tata nilai agama dan norma yang berhubungan dengan masyarakat, sebagaimana diajarkan Rasulullah SAW. Sehingga, terbentuk keluarga sakinah yang senantiasa dinaungi hidayah Allah SWT. Insya Allah.
Selasa, 31 Mei 2011
UMAR DAN UMUR
Oleh Moeflich Hasbullah
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Sabtu, 28 Mei 2011
Umar bin Khattab (581-644) adalah khalifah yang telah membentangkan pengaruh Islam di sejumlah wilayah yang berada di luar Arab Saudi. Di masanya, Mesopotamia, sebagian Persia, Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara, dan Armenia, jatuh ke dalam kekuasaan Islam.
Kekuatan sebagai pemimpin sangat luar biasa, hadir berkat tempaan sang pemimpin agung, Muhammad Rasulullah SAW. Namun, dibalik kesuksesannnya sebagai pemimpin negara, Umar tetaplah seorang pribadi yang sangat sederhana.
Suatu hari, anak laki-laki Umar bin Khattab pulang sambil menangis. Sebabnya, anak sang khalifah itu selalu diejek teman-temannya karena bajunya jelek dan robek. Umar lalu menghiburnya. Berganti hari, ejekan teman-temannya itu terjadi lagi, dan sang anak pun pulang dengan menangis.
Setelah terjadi beberapa kali, rasa ibanya sebagai ayah mulai tumbuh. Tak cukup nasihat, anak itu meminta dibelikan baju baru. Tapi, dari mana uangnya? Umar bingung, gajinya sebagai khalifah tidak cukup untuk membeli baju baru. Setelah berpikir, ia pun punya ide. Umar menyurati baitul mal (bendahara negara).
Isi surat itu, (kira-kira bunyinya begini): "Kepada Kepala Baitul Mal, dari Khalifah Umar. Aku bermaksud meminjam uang untuk membeli baju buat anakku yang sudah robek. Untuk pembayarannya, potong saja gajiku sebagai khalifah setiap bulan. Semoga Allah merahmati kita semua."
Mendapati surat dari sang Khalifah Umar, kepala baitul mal pun memberikan surat balasan. Bunyinya, kurang lebih begini: "Wahai Amirul Mukminin, surat Anda sudah kami terima, dan kami maklum dengan isinya. Engkau mengajukan pinjaman, dan pembayarannya agar dipotong dari gaji engkau sebagai khalifah setiap bulan. Tetapi, sebelum pengajuan itu kami penuhi, tolong jawab dulu pertanyaan ini, dari mana engkau yakin bahwa besok engkau masih hidup?"
Membaca balasan surat itu, bergetarlah hati Umar. Tubuhnya seakan lemas tak bertulang. Umar tidak bisa membuktikan bahwa esok hari ia masih hidup. Ia sadar telah berbuat salah. Ia bersujud sambil beristigfar memohon ampun kepada Allah.
Setelah memohon ampun, ia pun memanggil anaknya. "Wahai anakku, maafkan ayahmu. Aku tak sanggup membelikan baju baru untukmu. Ketahuilah, kemuliaan seseorang bukan diukur dari bajunya, melainkan dari kemuliaan akhlaknya. Sekarang, pergilah engkau ke sekolah, dan katakan saja kepada teman-temanmu bahwa ayahmu tak punya uang untuk membeli baju baru."
Alangkah luar biasanya perhatian dan kewaspadaan seorang pemimpin dan bawahan. Mereka saling memberikan nasihat dan peringatan. Kisah ini menohok kesadaran kita tentang perilaku para pemimpin sekarang di negeri ini.
Alih-alih mengutamakan kesederhanaan dan kemuliaan akhlak, mereka malah saling berebut kekuasaan dan memperkaya diri dengan perilaku korup. Semua itu dilakukan tanpa rasa bersalah. Bahkan, antara atasan dan bawahan saling menutupi kesalahan satu sama lain. Tak heran bila Allah menimpakan azab demi azab (bencana) untuk menyadarkan kita agar senantiasa takut kepada-Nya. Wallahu a'lam.
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Sabtu, 28 Mei 2011
Umar bin Khattab (581-644) adalah khalifah yang telah membentangkan pengaruh Islam di sejumlah wilayah yang berada di luar Arab Saudi. Di masanya, Mesopotamia, sebagian Persia, Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara, dan Armenia, jatuh ke dalam kekuasaan Islam.
Kekuatan sebagai pemimpin sangat luar biasa, hadir berkat tempaan sang pemimpin agung, Muhammad Rasulullah SAW. Namun, dibalik kesuksesannnya sebagai pemimpin negara, Umar tetaplah seorang pribadi yang sangat sederhana.
Suatu hari, anak laki-laki Umar bin Khattab pulang sambil menangis. Sebabnya, anak sang khalifah itu selalu diejek teman-temannya karena bajunya jelek dan robek. Umar lalu menghiburnya. Berganti hari, ejekan teman-temannya itu terjadi lagi, dan sang anak pun pulang dengan menangis.
Setelah terjadi beberapa kali, rasa ibanya sebagai ayah mulai tumbuh. Tak cukup nasihat, anak itu meminta dibelikan baju baru. Tapi, dari mana uangnya? Umar bingung, gajinya sebagai khalifah tidak cukup untuk membeli baju baru. Setelah berpikir, ia pun punya ide. Umar menyurati baitul mal (bendahara negara).
Isi surat itu, (kira-kira bunyinya begini): "Kepada Kepala Baitul Mal, dari Khalifah Umar. Aku bermaksud meminjam uang untuk membeli baju buat anakku yang sudah robek. Untuk pembayarannya, potong saja gajiku sebagai khalifah setiap bulan. Semoga Allah merahmati kita semua."
Mendapati surat dari sang Khalifah Umar, kepala baitul mal pun memberikan surat balasan. Bunyinya, kurang lebih begini: "Wahai Amirul Mukminin, surat Anda sudah kami terima, dan kami maklum dengan isinya. Engkau mengajukan pinjaman, dan pembayarannya agar dipotong dari gaji engkau sebagai khalifah setiap bulan. Tetapi, sebelum pengajuan itu kami penuhi, tolong jawab dulu pertanyaan ini, dari mana engkau yakin bahwa besok engkau masih hidup?"
Membaca balasan surat itu, bergetarlah hati Umar. Tubuhnya seakan lemas tak bertulang. Umar tidak bisa membuktikan bahwa esok hari ia masih hidup. Ia sadar telah berbuat salah. Ia bersujud sambil beristigfar memohon ampun kepada Allah.
Setelah memohon ampun, ia pun memanggil anaknya. "Wahai anakku, maafkan ayahmu. Aku tak sanggup membelikan baju baru untukmu. Ketahuilah, kemuliaan seseorang bukan diukur dari bajunya, melainkan dari kemuliaan akhlaknya. Sekarang, pergilah engkau ke sekolah, dan katakan saja kepada teman-temanmu bahwa ayahmu tak punya uang untuk membeli baju baru."
Alangkah luar biasanya perhatian dan kewaspadaan seorang pemimpin dan bawahan. Mereka saling memberikan nasihat dan peringatan. Kisah ini menohok kesadaran kita tentang perilaku para pemimpin sekarang di negeri ini.
Alih-alih mengutamakan kesederhanaan dan kemuliaan akhlak, mereka malah saling berebut kekuasaan dan memperkaya diri dengan perilaku korup. Semua itu dilakukan tanpa rasa bersalah. Bahkan, antara atasan dan bawahan saling menutupi kesalahan satu sama lain. Tak heran bila Allah menimpakan azab demi azab (bencana) untuk menyadarkan kita agar senantiasa takut kepada-Nya. Wallahu a'lam.
Senin, 23 Mei 2011
ANALISIS PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA; UPAYA MENINGKATKAN MUTU
Oleh: Ade Zaenudin
A. Muqaddimah
Susilo Bambang Yodhoyono (Presiden RI) ketika berpidato dalam rangka HUT PGRI tanggal 1 Desember 2009 mencanangkan perubahan paradigma pendidikan dari hierarkis formal menuju kemitraan, dari sistem akademik ke tata nilai. Pada saat itu beliau pun mengarahkan agar terjadi inovatif learning (pembaharuan pembelajaran) dengan mereformasi metodologi yang berorientasi pada guru (teacher centered) ke orientasi murid (student centered), membangun peradaban, serta membekali murid untuk berinteraksi dalam dunia global yaitu ketika era batas negara menjadi semakin nisbi.
Kalau kita telaah, ada beberapa alasan yang bisa jadi melatar-belakangi kegundahan presiden tersebut, pertama pola hubungan antara guru dan murid terasa kaku, lebih bersifat hierarkis formal, sehingga murid dianggap sebagai makhluk yang masih kosong, tidak banyak tahu, dan belum bisa apa-apa. Di sisi lain guru memposisikan dirinya sebagai makhluk serba tahu, yang posisinya jauh lebih tinggi dari pada murid. Kedua, pendidikan kita saat ini lebih berorientasi pada pencapaian kuantitatif dibanding kualitatif, porsi memacu murid untuk “mengetahui” lebih besar (bahkan tidak seimbang) dibanding porsi memacu murid untuk “melakukan/melaksanakan”, lebih berorientasi kognisi dibanding afeksi dan psikomotor sehingga akibatnya banyak murid yang pintar tapi prilakunya tidak benar. Ketiga, pendidikan kita saat ini mempunyai tantangan besar, yaitu dampak globalisasi, di mana pendidikan diharapkan bisa memberikan bekal kepada siswa untuk berinteraksi dengan dunia global, bisa memanfaatkannya untuk membangun peradaban dan bukan malah sebaliknya, globalisasi menggerus peradaban.
Untuk menjawab kegundahan presiden tersebut, pendidikan Islam sesungguhnya mempunyai tanggung jawab sekaligus tantangan yang lebih besar, karena pada prinsipnya pendidikan Islam mengajarkan tata nilai yang agung. Bahkan memang sudah semestinya pendidikan Islam menjadi solusi di tengah arus globalisasi, karena ajarannya berlaku universal yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu (sholihun likulli zaman wa makan). Hal ini pula yang menjadi salah satu catatan penting dalam sejarah eksistensi pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam perspektif historis, sosiologis ataupun yuridis, eksistensi pendidikan Islam pada perkembangan bangsa Indonesia sesungguhnya mempunyai posisi dan peran strategis. Dalam perspektif historis, pendidikan Islam di Indonesia memiliki akar yang panjang dalam membangun peradaban bangsa, terutama karena pendidikan Islam telah berlangsung lama, yaitu sejak masuknya Islam ke wilayah nusantara. Pada awalnya pendidikan Islam lebih bersifat informal dan non formal, sampai pada akhirnya terlembagakan secara formal. Dari situlah muncul kader-kader bangsa yang religius dan memiliki jiwa nasionalis yang bergerak dalam berbagai bidang-bidang yang berbeda.
Dalam persepektif sosiologis, kita bisa melihat bahwa eksistensi pendidikan Islam di Indonesia sudah menjadi kebutuhan masyarakat, terutama bagi daerah-daerah yang berpenduduk mayoritas Islam. Dalam perspektif yuridis, lembaga pendidikan Islam semakin memiliki posisi strategis pasca lahirnya undang-undang no. 2 tahun 1989 dan kemudian dikuatkan dengan UU No. 20 tahun 2003 yang mensejajarkan madrasah dengan sekolah umum, mendudukan pesantren sebagai bagian dari pendidikan keagamaan yang akan dilestarikan dan dikembangkan kualitasnya oleh pemerintah. Kemudian dalam PP No. 55 tahun 2007 pendidikan agama dan akhlak mulia mendapat apresiasi dengan diwajibkannya di setiap satuan pendidikan.
Posisi strategis pendidikan agama tersebut tentu bukan berarti bahwa mutu pendidikan agama kualitasnya sudah terjamin, terlebih ketika tantangan arus globalisasi begitu besar. Peningkatan mutu pendidikan agama menjadi sebuah keniscayaan ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu deras. Globalisasi menjadikan batas-batas geografis, budaya, agama, dan lain sebagainya sudah tidak lagi menjadi tembok pemisah untuk berinteraksi, dan pada akhirnya akan terbentuk sebuah kampung besar dan menyatu atau sering disebut global village. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pendidikan terutama untuk menghadapi tantangan zaman tersebut.
Peningkatan mutu pendidikan tersebut tentu bukan hal yang sederhana, apalagi dalam wilayah praksis terjadi paradoks dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan yang bermutu tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit dan implikasinya pendidikan menjadi mahal. Di sisi lain, keterbatasan dana juga tidak boleh mematikan dunia pendidikan, maka yang terjadi hanya sebatas pemerataan pendidikan yang sudah pasti mutu pendidikan pun belum bisa terjamin.
B. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threatment) Pendidikan Islam di Indonesia
1. Strength (Kekuatan)
Seperti telah diungkap sebelumnya bahwa secara historis, pendidikan Islam sudah menunjukan eksistensinya begitu lama dan sampai hari ini pendidikan Islam tersebut masih tetap eksis, bahkan dalam beberapa hal sudah memperlihatkan perkembangannya yang begitu pesat. Fenomena tersebut menunjukan bahwa pendidikan Islam memiliki beberapa kekuatan, diantaranya:
a. Sumbernya qoth’i yaitu nash (al-Qur’an dan Hadits)
Paling tidak ada empat perspektif dalam menjabarkan substansi pendidikan Islam (Islamic education), pertama: education of muslim (pendidikan yang ideal untuk muslim), kedua: education for muslim (pendidikan yang pas buat muslim), ketiga: education about Islam (Islam sebagai materi yang diajarkan), dan keempat: education in Islamic spirit (semangat keislaman sebagai sebuah bagian/ tidak membawa nama Islam). Sementara itu, Mochtar Buchori menyederhanakannya menjadi dua perspektif, yaitu: pertama: segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa; kedua, keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatan pendidikannya atas pandangan serta nilai-nilai Islam. Dalam perspektif apapun, pendidikan Islam tentu menjadikan substansi (pokok) ajaran Islam sebagai sandarannya, dan dengan demikian pula al-Qur’an dan Hadits menjadi acuan pokoknya.
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam tertinggi karena berasal dari Allah SWT dan tentu kebenarannya mutlak. Keberadaannya sangat dibutuhkan manusia, karena berfungsi sebagai petunjuk hidup manusia. Sementara Hadits atau sunah merupakan sumber ajaran Islam yang bersumber dari Rasulullah SAW (utusan Allah SWT) yang berfungsi untuk memperkuat atau memperjelas al-Quran.
Pada kenyataannya dalam pendidikan Islam, kedua sumber tersebut dikombinasikan atau diperkuat pula dengan nalar. Ini dianggap ideal karena memadukan antara potensi akal yang dimiliki manusia dengan nash yang merupakan tuntunan qothi ajaran Islam.
b. Mengajarkan pondasi atau prinsip-prinsip dasar (akhlak) yang bersifat universal
Pada prinsipnya Islam lahir membawa misi universal yaitu penyempurnaan akhlak manusia, seperti yang ditegaskan Nabi Muhammad SAW “Sesungguhnya aku diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak”. Misi tersebut tentu menjadi ruh dari tujuan pendidikan Islam, bahkan Muhammad Athiyah al-Abrasyi berpendapat bahwa tercapainya akhlak yang mulia tersebut merupakan tujuan tertinggi dari pendidikan Islam.
Pencapaian akhlak mulia tersebut sesungguhnya bersifat universal, bukan hanya menjadi tujuan pendidikan Islam saja tapi juga berlaku dalam pendidikan secara umum. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, penegasan tentang pentingnya penanaman akhlak atau moral dalam pendidikan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan akhlak mulia, dan kemudian diperkuat dengan pencanangan program pendidikan karakter yang masuk pada kurikulum di setiap satuan pendidikan.
c. Fleksibilitas ajaran Islam
Mahmud Syaltout mengelompokan pokok-pokok ajaran Islam menjadi tiga bagian, yaitu: Akidah, Akhlak dan Syariah. Dalam bukunya yang berjudul al-Islam Aqidah wa Syari’ah beliau kemudian menyederhanakannya menjadi dua bagian, yaitu: Akidah dan Syariah.
Akidah merupakan sistem ajaran Islam yang sifatnya prinsipil, tidak ada fleksibilitas, toleransi dan tawar menawar di dalamnya. Namun dalam hal syariah ada hal yang sifatnya fleksibel, tidak hanya untuk orang Islam saja tapi berlaku umum, seperti wilayah muamalah (relasi antar manusia atau dengan alam semesta).
Urgensi terhadap pemeliharaan hubungan antar sesama tersebut ditegaskan dalam hadits Nabi yang berbunyi: “Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan (orang lain)”. Dalam pendidikan Islam Hadits tersebut menjelma menjadi kewajiban mengajarkan kebaikan antar sesama, pentingnya mengajarkan pola hidup baik dan sehat, serta saling menjaga dari munculnya penyakit yang bukan hanya merugikan diri sendiri saja, tapi juga berakibat merugikan orang lain. Selain kewajiban menjaga relasi positif dengan sesama manusia, dalam wilayah muamalah tersebut manusia juga mempunyai kewajiban berbuat baik terhadap alam semesta, bahkan Allah SWT menitipkannya langsung kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi yang pada akhirnya akan diminta pertanggung-jawabannya.
Ajaran berbuat baik kepada sesama bahkan terhadap alam semesta tersebut merupakan salah satu ajaran Islam yang bersifat universal, maka pantaslah kalau ajaran Islam disebut-sebut sebagai ajaran yang tidak akan lekang oleh ruang dan waktu (shalihun likulli zaman wa makan).
d. Muslim majority
Peran sentral pendidikan Islam di Indonesia tentu tidak bisa lepas dari aspek sosiologis di mana penduduk muslim jumlahnya mayoritas. Tingginya prosentase penduduk muslim di Indonesia tersebut menjadi faktor paling kuat eksistensi pendidikan Islam. Dinamika penduduk muslim yang begitu besar tersebut menuntut dunia pendidikan Islam agar bisa mengakomodasi tiap segmen masyarakat yang ada di dalamnya, konsekuensinya adalah lahirnya beragam lembaga yang berusaha menyajikan pendidikan ke-Islaman dengan berbagai nuansa yang berbeda. Setidaknya ada empat jenis praktek pendidikan di Indonesia, yaitu:
1) Pendidikan pondok pesantren, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran al-Qur’an dan Hadits, dan merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan Islam sebagai way of life, (cara hidup) kepada para siswa.
2) Pendidikan madrasah, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan model Barat, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup dalam diri siswa
3) Pendidikan umum yang bernafaskan Islam, ialah pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum
4) Pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.
e. Kesederajatan antara madrasah dengan sekolah dengan pengakuan legalitas formal.
Lahirnya Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi cikal bakal perkembangan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, dengan undang-undang tersebut Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan ditetapkan sebagai bagian integral dari Sisdiknas.
Dalam tataran teknisnya kemudian ditetapkanlah beberapa Peraturan Pemerintah, antara lain PP No. 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No. 13 tahun 1991 tentang pembatalan PP No. 33 tahun 1985. Berdasarkan UU. No. 2 tahun 1989 dan beberapa PP tersebut dapat diketahui antara lain ketetapan-ketetapan sebagai berikut:
1) Pendidikan Agama wajib termuat dalam kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
2) Pendidikan Keagamaan Islam pada jalur sekolah berbentuk Madrasah dan Perguruan Tinggi Agama Islam.
3) Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) adalah Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP, sekarang SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU, sekarang SMA) yang berciri khas Islam dan dikelola oleh Departemen Agama. Di samping ciri khas Islam, MA mempunyai jurusan Agama Islam selain jurusan-jurusan lain yang dimiliki SMA. MI dan MTs di luar ciri khas Islam, sepenuhnya sama dengan SD dan SMP.
4) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) adalah Lembaga Pendidikan Tinggi di bidang Agama Islam yang dikelola oleh Departemen Agama. Institut Agama Islam Swasta dan Fakultas Agama Islam pada Universitas Swasta adalah Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta yang dibina oleh Departemen Agama.
Kurikulum madrasah pun diperbaharui dengan kurikulum 1994 dengan perbandingan alokasi waktu antara 16-18% untuk mata pelajaran agama dan antara 82-86% mata pelajaran umum, dengan catatan bahwa alokasi waktu mata pelajaran umum muatan nasional diberlakukan 100%, sama sekolah umum setingkat.
Pada perkembangan berikutnya konsep kesederajatan madrasah melalui peningkatan kualitas yang tertera dalam Undang-undang tersebut dikuatkan dengan lahirnya Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Weakness (Kelemahan)
Prof. Mohammad Ali (Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama sejak tahun 2007) yang dikutip Marwan Saridjo mengidentifikasi beberapa kekurangan dalam pendidikan Islam, diantaranya: (1) kurikulum pendidikan agama lebih menekankan aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek pengamalan ajaran agama dalam pembentukan akhlak dan karakter, (2) jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang bermutu belum mencukupi, (3) sarana dan prasarana terbatas, (4) fasilitas lainnya belum memadai, dan (5) adanya efek negatif globalisasi yang mempengaruhi peserta didik yang tidak sejalan dengan agama.
Dalam beberapa hal penulis sependapat dengan identifikasi tersebut, namun dalam hal adanya efek negatif globalisasi penulis berpendapat bahwa hal tersebut tidak selamanya menjadi penyebab kelemahan pendidikan Islam tapi harus dilihat sebagai sebuah tantangan agar semua stakeholder mengencangkan ikat pinggangnya menghadapi arus tersebut, yang pada akhirnya bukan pendidikan yang tergerus globalisasi tapi justru diharapkan pendidikan bisa memanfaatkan dampak globalisasi tersebut.
Beberapa hal yang masih dianggap kelemahan dan harus segera dibenahi dalam pendidikan Islam diantaranya:
a. Aspek pendidik dan tenaga kependidikan
1. Rendahnya kualifikasi akademik guru
Secara sederhana profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan atau jabatan yang dilakukan seseorang sesuai dengan keahliannya (expertise), dengan kata lain, suatu profesi erat kaitannya dengan pekerjaan yang spesifik, terstandar mutunya dan dapat menjadi sumber penghasilan sesuai dengan penghargaan keprofesionalannya. Lebih jauh Subijanto menjelaskan bahwa profesi merupakan pengakuan masyarakat terhadap karakteristik pekerjaan yang memiliki sifat-sifat tertentu seperti juga profesi guru, adalah kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan dan memiliki pengetahuan spesialisasi dan pengetahuan praktis untuk menunjang proses belajar mengajar.
Kualifikasi pendidikan guru selanjutnya dibedakan menjadi lima kategori, yaitu tingkat pendidikan di bawah diploma satu (D3). Tingkat pendidikan di bawah diploma satu termasuk di dalamnya SLTA dan sederajat serta di bawah SLTA. Sedangkan tingkat pendidikan di atas diploma tiga termasuk di dalamnya S1, dan pasca sarjana (S2 dan S3).
Pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), kualifikasi guru didominasi dengan tingkat pendidikan di bawah diploma satu ( D3) persentasenya adalah 13.8% pada tahun 2002/2003 dan pada tahun 2006/2007 baru mencapai 20.5%.
2. Kualitas guru yang masih rendah
Harus diakui bahwa kelahiran lembaga-lembaga pendidikan Islam kebanyakan dibidani oleh inisiatif masyarakat, hal ini bisa dilihat dari fakta bahwa mayoritas lembaga pendidikan Islam seperti madrasah berstatus swasta, kalaupun madrasah tersebut berstatus negeri, maka tidak sedikit pula yang status ke-negerian-nya tersebut bermula dari swasta juga. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan lembaga pendidikan umum yang mayoritas berstatus negeri dan hampir semuanya dilahirkan oleh pemerintah.
Hal tersebut tentu berimplikasi pada sumber daya manusia pada lembaga pendidikan tersebut, implikasi tersebut diantaranya:
a) Masih banyaknya guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik (unqualified/underqualified), yaitu minimal lulusan S1
b) Dalam sistem rekruitment banyak lembaga pendidikan Islam yang masih mengedepankan akomodasi kekeluargaan dibanding kompetensi
c) Masih banyaknya guru yang mismatch (mengajar tidak sesuai dengan kualifikasi akademiknya), misalnya lulusan Fakultas Tarbiyah jurusan PAI mengajar matematika.
d) Karena rendahnya kesejahteraan, maka banyak guru yang masih “nyambi” di sekolah/madrasah lain atau bahkan pada profesi yang lain.
Jika dilihat data guru saat ini, hampir 20% guru madrasah termasuk kategori tidak layak karena unqualified atau mismatch. Melihat kondisi tersebut pemerintah melakukan beberapa upaya peningkatan kualitas guru seperti dengan program sertifikasi, bahkan Kementerian Agama melakukan kerja sama dengan beberapa lembaga keuangan luar negeri seperti Asian Development Bank (ADB) dengan programnya Junior Secondary Education Project (JSEP) untuk membantu peningkatan mutu MTs tahun 1994 dan berlanjut dengan program Basic Education Project (BEP) dan Development of Madrasah Aliyah Project (DMAP) tahun 1996. Dengan program-program tersebut ribuan guru unqualified diikut sertakan dalam berbagai program pendidikan dan latihan seperti pelatihan guru bina (master teacher), serta pendidikan S2, S3 diberbagai perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Begitu pula melalui Islamic Development Bank (IDB) telah dilakukan pula pelatihan berbagai program keterampilan bagi guru-guru yang mengajar di MA yang memiliki program keterampilan.
3. Kualitas Kepala Madrasah yang masih rendah
Data EMIS tahun 2003 menyebutkan bahwa pada tingkat MI terdapat 62% kepala madrasah belum memenuhi kualifikasi akademik, pada tingkat MTs sebesar 25,42%, dan 6,6% pada tingkat MA. Dari sudut kepemimpinan manajerial mereka masih banyak yang lemah bahkan banyak kepala madrasah yang berasal dari mantan pejabat administratif pada kandepag atau kanwil yang memperpanjang dinas aktifnya dengan mutasi menjadi pejabat fungsional kepala madrasah. Akibatnya banyak madarasah yang dikelola dengan penekanan aspek administratif dari pada dimensi akademisnya, yang terjadi adalah madrasah dikelola secara amatiran dan bernuansa birokratis.
Untuk melahirkan lembaga pendidikan yang bermutu dibutuhkan pemimpin yang memiliki kompetensi manajerial yang baik, beberapa indikatornya diantaranya adalah:
1) Visioner (memiliki visi yang jelas, terarah dan rasional untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang dia pimpin)
2) Memahami seluk-beluk dunia pendidikan
3) Paham tentang strategi pemasaran lembaga kependidikan yang dia pimpin
4) Memahami kebutuhan masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan
5) Cerdik dalam mengelola pembiayaan pendidikan yang efektif dan efisien
Walaupun beberapa point tersebut merupakan indikator minimal, tapi perlu diakui bahwa masih banyak lembaga pendidikan Islam yang pemimpinnya belum memenuhi kualifikasi tersebut.
4. Kualitas Pengawas Madrasah yang masih rendah
Sebagian besar pengawas berasal dari tenaga administratif seperti mantan kepala seksi atau kepala madrasah yang bermutasi menjadi tenaga pengawas dalam rangka memperpanjang usia dinas aktif. Bisa dibayangkan kualitas kepengawasannya, dengan keterbatasan pengetahuan tentang seluk beluk proses belajar mengajar ditambah dengan keterbatasan pengetahuan di bidang administrasi dan supervisi pendidikan. Dalam kenyataannya para tenaga pengawas tersebut tidak lebih hanya memainkan peran dan fungsinya sebagai ‘inspektur adminitratif’ dan tidak sempat mensupervisi masalah substansi dan proses KBM yang berlangsung di madrasah, bahkan banyak diantara pengawas yang berkunjung ke madrasah hanya pada saat ujian nasional saja. Ke depan, mestinya pengawas tidak dijabat oleh sembarang orang, mereka harus tenaga profesional dengan kualifikasi yang jelas, baik secara administratif, akademis, maupun moral keagamaan.
5. Rasio Siswa dan Guru
Berdasarkan data dari Ditjen Pendidikan Islam Depag, rasio siswa dan guru untuk madrasah ibtidaiyah lebih besar daripada rasio siswa dan guru untuk madrasah tsanawiyah dan aliyah. Rata-rata rasio siswa dan guru untuk MI adalah sebesar 16 yang dapat diartikan bahwa 1 guru mengajar 16 siswa. Rasio siswa dan guru terbesar di MI terjadi pada tahun 1999/2000 yaitu sebesar 20. Sementara itu, rasio siswa dan guru pada MTs dan MA relatif hampir sama. Hal ini menandakan bahwa jumlah guru untuk MTs dan MA secara relatif lebih banyak daripada guru untuk MI dalam hal keterbandingannya dengan jumlah siswa.
Rasio siswa terhadap guru berkisar antar 10 -11 orang per guru untuk siswa Madrasah Tsanawiyah dan untuk siswa Madrasah aliyah rasio siswa terhadap guru rata-rata berjumlah 9 orang siswa per guru. Sehingga makin tinggi jenjang sekolahnya makin banyak pula jumlah guru yang tersedia dibandingkan jumlah siswanya.
Ketersediaan jumlah guru antara madrasah dengan sekolah umum lainnya yang sederajat, masih lebih baik di madrasah. Umumnya rata-rata jumlah siswa per guru pada madrasah masih lebih rendah dibandingkan rata-rata jumlah siswa per guru pada sekolah umum dan madrasah. Rata-rata jumlah siswa perguru SD+MI tahun 2004/2005 – 2006/2007 masing-masing sebanyak 19 siswa. Sedangkan Jumlah siswa per guru pada MI pada periode tersebut hanya 15 siswa per tahun. Untuk tingkat SMP, rata-rata jumlah siswa per guru dari sekolah SMP+ MTs adalah 14 siswa tahun 2004/2005, Jumlah siswa per guru di MTs pada periode tersebut masing-masing sebanyak 10 siswa, 10 siswa dan 11 siswa. Hal yang sama diperlihatkan pada tingkat SMA, jumlah siswa per guru di Madrasah Aliyah lebih sedikit dibandingkan dengan rata-rata tingkat SMA + MA.
Proses belajar mengajar dari kondisi tersebut tentunya dapat menghasilkan proses belajar mengajar yang lebih baik pada madrasah, Namun bila dibandingkan dengan kualitas guru yang mengajar, terutama sekali guru yang telah memiliki standar nasional (segi pendidikan), sekolah-sekolah umum diluar madrasah masih lebih baik kualifikasinya.
Sebaran per provinsi rasio siswa per guru periode 2002/2003 dan 2006/2007 seperti yang disajikan pada tabel 7 dapat menggambarkan perkembangan rasio siswa per guru selama 2 periode tersebut. Dengan memperhatikan sebaran per provinsi, kebijakan alokasi guru per provinsi dapat dilakukan untuk memperkecil ketimpangan antar provinsi. Jumlah siswa per guru selama 5 tahun tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Perubahan yang terlihat pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah menunjukkan bahwa jumlah siswa per guru turun dari 16 siswa tahun 2002/2003 menjadi 15 siswa tahun 2006/2007.
Begitu pula pada tingkat Madrasah Aliyah pada tahun 2002/2003 tercatat ada 9 siswa per guru menjadi 8 siswa per guru pada tahun 2006/2007. Kondisi ini mengisyaratkan adanya persentase pertambahan jumlah guru lebih besar dari persentase pertambahan jumlah murid.
Bila diperhatikan sebaran per provinsi, ternyata tidak semua provinsi mengalami pertambahan jumlah guru yang lebih besar persentasenya dibandingkan persentase pertambahan jumlah siswa, tercatat beberapa provinsi yang mempunyai jumlah siswa per guru semakin besar selama periode 5 tahun tersebut. Untuk Madrasah Ibtidaiyah jumlah siswa per guru yang semakin besar setelah periode 5 tahun adalah Provinsi Lampung , Jawa Tengah, Banten, Sulut, Sulsel dan Irian Jaya Barat. Sedangkan pada Madrasah Tsanawiyah Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB, Kalbar, Kaltim , Sulut, Sultera dan Irian Jaya Barat jumlah siswa per guru nya bertambah banyak setelah 5 tahun.
Pada tingkat Madrasah Aliyah tercatat Provinsi Riau, Bengkulu, Jawa Tengah, NTT, Sulut dan Irian Jaya Barat yang mempunyai jumlah siswa per guru lebih banyak setelah 5 tahun.
Melihat rasio siswa per guru pada madrasah umumnya lebih rendah dibandingkan sekolah umum lainnya yang sederajat, hal ini bisa mengisyaratkan masih kurang minatnya masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anaknya ke madrasah, sehingga daya tampung madrasah masih cukup besar, hanya saja perlu dikaji lebih jauh bagaimana cara menaikkan minat masyarakat khususnya muslim agar mau mempercayakan pendidikan anaknya ke madrasah.
6. Lemahnya penguasaan teknologi informasi
Perkembangan zaman yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan mudahnya akses informasi menjadikan dunia tanpa sekat. Ruang dan waktu menjadi nisbi adanya. Di satu sisi hal tersebut menjadi kendala bagi dunia pendidikan Islam yang masih lemah dalam SDM dan sarana prasarana, harus diakui bahwa keterbatasan dana menyebabkan lembaga pendidikan Islam masih banyak yang belum bisa memfasilitasi derasnya perkembangan teknologi tersebut, ditambah lagi dengan kekhawatiaran yang begitu besar atas ekses negatif dari perkembangan teknologi tersebut yang berakibat banyaknya lembaga pendidikan Islam yang cenderung membatasi bahkan menjauhkan diri dari perkembangan teknologi tersebut.
b. Aspek Kurikulum
1. Kurikulum yang masih berorientasi pada kognisi.
Pada dasarnya pendidikan keagamaan bertujuan untuk mengarahkan anak didik pada perilaku yang lebih baik, taat menjalankan ajaran serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dianggap negatif, kesimpulannya pendidikan agama lebih berorientasi afektif dan psikomotor yang sudah pasti harus didahului oleh aspek kognitifnya. Pada kenyataannya, pembelajaran materi-materi keagamaan tersebut dianggap tuntas pada aspek teoritis, siswa dianggap tuntas mempelajari agama ketika dia mengetahui materi yang disampaikan oleh gurunya, tidak perduli dia melakukan kebaikan (ajaran agama) atau tidak. Saya berpendapat bahwa hal tersebut tidak semuanya merupakan kesalahan guru semata karena pada dasarnya guru dituntut untuk mengikuti kurikulum serta sistem evaluasi yang diinginkan pemerintah. Azas desentralisasi yang memunculkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) masih dianggap sebagai sebuah jargon karena berbenturan dengan egoisme pemerintah yang memaksakan sistem evaluasi yang berorientasi kognisi.
2. Terjebak pada orientasi ritualisme formalistik.
Salah satu substasi pengajaran agama adalah mempelajari bagaimana seharusnya relasi antara manusia dengan Tuhannya dalam bentuk ibadah, di dalamnya berisi ritual-ritual yang penuh dengan aturan sebagai bentuk penghambaan. Setiap ritual tersebut sesungguhnya memiliki makna atau hakikat yang terkandung di dalamnya, shalat misalnya, di dalamnya terkandung makna kedisiplinan, kebersihan, keteraturan, penghargaan terhadap sesama dan masih banyak yang lainnya. Dalam pengajarannya, guru sering kali hanya sebatas mengajarkan bagaimana anak benar shalatnya dalam hal gerakan dan bacaannya saja, tanpa mengetahui makna-makna yang terkandung di dalamnya, padahal perlu juga anak memahami arti-arti dari bacaan shalat tersebut untuk menyatukan ucapan, hati, pikiran dan gerakannya pada saat melaksanakan ibadah tersebut.
Dalam perspektif lain, tindakan ritual dan segi-segi formal itu dianggap baru mempunyai makna hakiki jika mampu mengantarkan seseorang kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT sehingga memiliki kesiapan emosional dan spiritual dalam menjalani hidup di dunia serta dalam mencapai pengalaman transendental. Wujud kedekatan kepada Tuhan itulah yang akan termanifestasikan dalam berbagai sikap dan perilaku yang terpuji (akhlakul karimah) sehingga bisa memberi manfaat dan kebaikan kepada sesama manusia, yang kemudian melahirkan pribadi-pribadi yang tidak hanya shaleh secara individual tapi juga shaleh secara sosial.
3. Opportunity (Peluang)
a. Tingginya Kuantitas Penduduk Muslim
Selain sebagai sebuah kekuatan, tingginya jumlah penduduk Muslim (muslim majority) di Indonesia, juga sekaligus merupakan peluang besar bagi perkembangan pendidikan Islam. Munculnya paradigma “pendidikan berbasis masyarakat” (community-based education) memberikan peluang besar kepada masyarakat Muslim untuk memberikan kontribusinya pada perkembangan pendidikan Islam. Hanya saja tingginya peluang tersebut harus diimbangi dengan perbaikan dan pengembangan kualitas pendidikan tersebut.
Pengembangan kualitas pendidikan tersebut tentu bukan hal mudah bagi lembaga-lembaga pendidikan Muslim, kecenderungan orientasi masyarakat yang lebih pragmatis harus direspon oleh dunia pendidikan Islam dengan melakukan “re-negosiasi” antara “sosial expectations” dengan “academic expectations”. Dengan demikian peluang perkembangan pendidikan Islam akan semakin besar dan lebih dinamis, dan masyarakat pun tidak sungkan menjatuhkan pilihannya bagi lembaga pendidikan Islam tersebut.
Atas dasar peluang di atas, Azyumardi Azra setidaknya mencatat ada empat macam lembaga pendidikan Islam yang bisa dipilih oleh masyarakat, yaitu: pertama: pendidikan yang berpusat pada tafaqquh fi al-din seperti pesantren, kedua, madrasah dengan kurikulum Kemdiknas dan Kemenag, tiga, sekolah Islam “plus” atau “unggulan”, dan empat, pendidikan keterampilan (vocational training) seperti madrasah keterampilan yang mengikuti model “STM”.
b. Terbukanya lembaga pendidikan umum berbasis Islam.
Seperti yang diungkapkan Azyumardi di atas, dari keempat pilihan yang menjadi peluang bagi perkembangan pendidikan Islam, pilihan yang ketiga yaitu Sekolah Umum Berbasis Islam merupakan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional, seperti TK, SD, SMP, atau SMA Islam, atau dengan beberapa tambahan label seperti “plus”, “unggulan”, atau “terpadu” dan lain sebagainya, pada tingkat perguruan tinggipun lembaga seperti ini sudah banyak di Indonesia, seperti UMJ, UNISBA, Universitas Paramadina, UII dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut biasanya lahir atas inisiatif tokoh-tokoh Muslim atau organisasi kemasyarakatan yang mengakomodasi modernitas tanpa menghilangkan prinsip tafaqquh fi al-din-nya.
c. Adanya kewajiban memasukan pelajaran agama di lembaga pendidikan umum.
Pada masa penjajahan pendidikan agama tidak masuk ke dalam kurikulum sehingga hukumnya tidak wajib dilakukan oleh lembaga pendidikan (ekstrakurikuler dan non-compulsary), kemudian pasca kemerdekaan (1946) pendidikan agama di sekolah menjadi bersifat fakultatif, sudah menjadi bagian kurikulum (intrakurikuler) tapi masih bersifat non-compulsary (tidak wajib) sehingga orang tua boleh meminta agar anaknya tidak diberi pendidikan agama.
Wajibnya pendidikan agama di sekolah dimulai sejak lahirnya TAP MPRS Nomor XXVII Tahun 1996 walaupun baru mewajibkan sekolah negeri saja, namun setelah lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 kewajiban adanya pendidikan agama tersebut berlaku juga untuk sekolah swasta dan berlaku untuk semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan. Pendidikan agama tersebut dipertegas dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tepatnya pada pada pasal 12 ayat (1) huruf a yang menyatakan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.”
Pemberlakuan pendidikan agama pada semua jenjang (dari mulai pendidikan dasar sampai perguruan tinggi) ditegaskan pada pasal 37 ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal (1): kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. Pendidikan agama, b. Pendidikan kewarganegaraan, c. Bahasa, d. Matematika, e. IPA, f. IPS, g. Seni dan Budaya, h. Pendidikan Jasmani dan Olahraga, i. Keterampilan/kejuruan, dan j. Muatan lokal.
Pasal (2): Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan agama, b. Pendidikan Kewarganegaraan, d. Bahasa.
4. Threatment (Tantangan)
a. Derasnya pengaruh negatif globalisasi
Dalam Konfrensi Berlin, kelompok yang menyebut dirinya sosial demokrat, Shimon Peres mengatakan bahwa kekuatan globalisasi diibaratkan pengalaman seseorang yang bangun pagi dan melihat segala sesuatu sudah berubah. Banyak hal yang kita anggap biasa, banyak paradigma yang kita anggap suatu kebenaran tiba-tiba menghilang tanpa bekas. Saat ini kita benar-benar merasakan dahsyatnya efek globalisasi yang masuk pada setiap lini kehidupan sampai-sampai ada yang menghawatirkannya dan menyebutnya globaphobia. Kedahsyatan globalisasi tersebut misalnya bisa dirasakan pada perubahan pola hidup manusia dalam hal food (makanan), fashion (pakaian) dan fun (kesenangan).
Globalisasi yang pada dasarnya memberikan peluang bagi bersatunya berbagai komunitas di belahan dunia pada satu entitas kehidupan akan menjadi tantangan luar biasa bagi eksistensi pendidikan Islam. Pendidikan Islam dituntut untuk bisa menunjukan jati dirinya sebagai pemelihara ajaran Islam yang shalihun likulli zaman wa makaan. Untuk mewujudkannya diperlukan persamaan persepsi sehingga yang terjadi bukanlah pendidikan Islam mengikuti globalisasi tapi justru pendidikan Islam mengakomodasi globalisasi tersebut.
b. Kecenderungan hidup materialitik hedonis
Pergeseran pola hidup ke arah materialistik hedonis memberikan peluang tergerusnya norma, etika bahkan moralitas yang menjadi target utama pendidikan agama termasuk pendidikan Islam, orang kemudian lebih terpacu untuk mengikuti perkembangan zaman tanpa berkaca pada aturan agama, akhirnya ajaran agama bisa jadi hanya dijadikan sebagai lipstik belaka.
Pergeseran pola hidup tersebut tentu juga berpengaruh lembaga pendidikan Islam, orientasi hidup yang materialistik akan menggiring para penguna jasa pendidikan tersebut untuk mencari lembaga pendidikan yang bisa mengantarkan anaknya pada kehidupan yang materialistik pula, sudah barang tentu hal tersebut menjadi tantangan bagi dunia pendidikan Islam.
c. Tumbuhnya paham sekularisme
Sekularisme diartikan sebagai paham yang memberikan kebebasan seluas-luasnya termasuk dalam hal keyakinan dan agama. Pada dasarnya Islam memberikan ruang kepada manusia untuk menetapkan pilihannya dalam hal keyakinan dan beragama tersebut termasuk konsekuensi dari pilihannya itu, dalam hal ini tidak ada paksaan dalam beragama, tapi Islam sudah menjelaskan secara gamblang akan kebenaran dan keabsahan Islam itu sendiri, bahwa hanya Islam-lah yang diridhai.
Semakin tumbuhnya sekularisme tersebut tentu sangat berimplikasi pada dunia pendidikan Islam, pengajaran agama Islam akan semakin ditantang untuk bisa menjawab argumentasi-argumentasi rasional menyangkut keberagaman akidah, pada titik inilah prinsip-prinsip ajaran Islam akan dipertaruhkan.
C. Upaya Mencari Solusi Peningkatan Mutu Pendidikan Islam
Dalam TAP MPR-RI No. VII/MPR/2001tertera Visi Indonesia 2020 yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Dalam rangka terwujudnya masyarakat yang religius, maka posisi pendidikan Islam benar-benar memiliki posisi strategis dan sangat sentral. Untuk mewujudkannya diperlukan kualitas pendidikan yang baik dan bermutu.
Untuk melihat lebih jernih posisi lembaga pendidikan Islam, ada baiknya kita membandingkannya dengan lembaga pendidikan kristen. Pada zaman kolonial Belanda, lembaga pendidikan Islam yang terpusat pada pesantren, surau, dayah, dan lain sebagainya sengaja menguzlahkan diri dari kekuasaan kolonial bahkan membentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Sementara lembaga pendidikan Kristen, selain secara langsung didukung gereja, juga mendapat fasilitas dari pemerintah Belanda. Hasilnya, tidak heran kalau lembaga pendidikan mereka lebih bermutu karena mereka memiliki headstart dan merupakan “early starter”, sementara lembaga-lembaga pendidikan Islam unggulan semacam al-Azhar, al-Izhar, Madania, atau Muthahari pada dasarnya merupakan “very late starter” yang berusaha masti-matian mengejar ketertinggalan.
Walau demikian, kita tidak boleh terjebak pada kondisi pesimistik tanpa solusi, kondisi realistik tersebut harus terus dijadikan cambuk agar pendidikan Islam bisa berkembang secara lebih progresif. Steven R Covey berpendapat bahwa “kita tidak akan bisa mengubah buah sebelum mengubah bakar”. Buah pendidikan agama antara lain amanah, sabar, tawadhu, tawakkal, ikhlas, dan taqwa. Kita sering memperbincangkan mengapa aspek agama semacam ini tidak lagi menjadi sikap dan perilaku umat beragama. Kita lupa, semua itu hanya buah dari cara kita beragama.
Untuk itu, diperlukan langkah-langkah yang gradual, terpola dan tentunya progresif pula dalam setiap aspek pendidikan agar akselerasi tersebut bisa terlaksana. Aspek-aspek tersebut antara lain:
1. Aspek Kebijakan
Menurut Emile Durkheim pendidikan harus selalu menundukan permasalahannya dalam konteks kemasyarakatan yang luas. Sementara Karl Mannheim mengatakan bahwa untuk memahami hakikat pendidikan perlu mengetahui: “ Siapa mendidik siapa, di masyarakat apa, kapan dan di mana, serta untuk posisi sosial apa peserta didik itu dididik. Kedua tokoh sosiologi pendidikan tersebut menggambarkan betapa tingginya signifikansi hubungan antara pendidikan dengan masyarakat. Untuk itu diperlukan kebijakan-kebijakan pendidikan yang berorientasi pada tuntutan, kebutuhan serta kemajemukan masyarakat, diantaranya:
a. Memaksimalkan biaya pendidikan dengan merealisasikan anggaran pendidikan 20%. Berdasarkan data yang disampaikan H.A.R Tilaar tahun 1992, biaya pendidikan kita masih sangat rendah baru mencapai 13.6%, jauh berbeda dengan Malaysia yang sudah mencapai 16%, atau Taiwan 18%, Thailand 19.4%, Korea Selatan 20.5%, bahkan Singapura sudah menembus 21.6%.
b. Perlunya transfaransi baik dalam hal keuangan maupun kebijakan.
Pada tahun 2009 anggaran untuk bidang pendidikan di lingkungan Departemen Agama mencapai ± Rp. 23 Triliyun. Dari jumlah tersebut ternyata hampir seluruhnya dialokasikan untuk penyelenggaraan sekolah umum berciri khas agama Islam, yaitu ± Rp. 1,7 Triliyun di pusat dan ± Rp. 18 Triliyun di daerah. Pendidikan Agama Islam di sekolah umum di bawah binaan Depdiknas seolah terlupakan, mereka hanya dialokasikan dana ± Rp. 74 Milyar saja dan itupun hanya dari pusat, sementara di daerah hampir tidak disediakan yang seharusnya diambilkan dari dana Rp. 18 Triliyun tersebut di atas, padahal anggarannya disebutkan sebagai anggaran Pendidikan Islam. Kebijakan tersebut tentu membuat merana unit-unit yang menangani pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum.
c. Perlunya keterbukaan akses
Dalam rangka tercipta good governance (pemerintahan yang baik) diperlukan keterbukaan akses untuk mensinergikan kebutuhan masyarakat dengan kebijakan pemimpinnya. Dalam hal pendidikan, pemerintah harus duduk bersama dengan seluruh stakholders dan menyerap apa yang benar-benar diharapkan oleh mereka. Bukan hanya dalam hal informasi dan kebijakan, keterbukaan akses juga diperlukan untuk memperluas wawasan, pemerintah harus menjalin kerjasama dengan berbagai pihak (baik dalam maupun luar negeri, lembaga pendidikan maupun non kependidikan, negeri atau swasta) untuk membuka akses pengetahuan, baik untuk pendidik, tenaga kependidikan, pengelola bahkan juga untuk siswa
2. Aspek Kurikulum
Dalam aspek kurikulum, pembenahan pendidikan Islam bisa dilakukan diantaranya dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Pendidikan Islam pada prinsipnya bertumpu pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits. Agar dalam tataran aplikasinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sejalan dengan prinsip ajaran tersebut maka diperlukan integrasi kurikulum berbasis nash dan sains.
b. Pada saat seorang guru mengajarkan pengetahuan terhadap muridnya, sesungguhnya guru tersebut sedang mempersiapkan murid tersebut untuk bisa survive di masa yang akan datang. Dengan demikian kurikulum harus didesain berwawasan masa depan.
c. Untuk mengatasi degradasi moral yang akhir-akhir ini begitu menghebat, sekolah dituntut untuk bisa meracik kurikulum berbasis akhlak. Salah satu caranya adalah dengan menjadikan akhlak sebagai core curriculum (inti kurikulum) yang masuk pada seluruh mata pelajaran, baik pelajaran umum maupun pelajaran agama.
d. Penambahan jumlah jam pelajaran agama khususnya pada sekolah-sekolah umum, dan untuk madrasah yang mata pelajaran agamanya sudah banyak, bisa diperkaya dengan memasukan hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) yang memuat materi-materi aplikasi keagamaan.
e. Aktualisasi dan internalisasi nilai-nilai ke-Islaman khususnya di lingkungan sekolah.
f. Peningkatan efektivitas pembelajaran keagamaan
g. Kurikulum pendidikan agama memuat tiga ranah, yaitu kognisi, afeksi dan psikomotor. Konsekuensinya dalam penilaian pun harus meliputi ketiga komponen tersebut. Untuk itu, harus dilakukan re-evaluasi terhadap sistem penilaian yang cenderung berbasis kognisi ke arah penilaian integratif.
h. Dalam memberikan pelajaran, seorang guru dituntut untuk mengintegrasikan kesalehan individu dengan kesalehan sosial siswanya. Siswa yang ibadahnya rajin dipandang belum cukup berhasil jika belum memiliki sikap kesetiakawanan, kedermawanan serta tanggung jawab yang tinggi terhadap sesama.
3. Aspek SDM (Sumber Daya Manusia)
Maju mundurnya sebuah lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh sumber daya manusia (SDM) yang ada di dalamnya, kualitasnya menjadi taruhan bagi eksistensi lembaga tersebut. Sebaik apapun sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan, tidak menjadi jaminan jika tidak didukung oleh kualitas SDM yang handal, sebaliknya walaupun sarana dan prasarana kurang memadai tapi jika ditopang dengan SDM yang hebat memungkinkan lembaga pendidikan tersebut bisa lebih berkembang pada masa yang akan datang.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam, beberapa hal yang harus dilakukan berkaitan dengan sumber daya manusia diantaranya:
a. Peningkatan kompetensi dan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan, misalnya dengan memperbanyak seminar atau workshop yang berkaitan dengan pembelajaran
b. Peningkatan aspek manajerial kepala sekolah
c. Penguatan (reinforcement) sistem kontrol, seperti supervisi dari pengawas atau kepala madrasah secara kontinyu.
d. Untuk meningkatkan wawasan dan etos kerja perlu dipertimbangkan program pertukaran guru antar sekolah, bahkan bila perlu pertukaran guru antar negara.
e. Memperbanyak beasiswa untuk guru, baik dalam negeri maupun luar negeri
D. Ikhtitam
Pendidikan dianggap sebagai pemberi corak hitam-putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan hidup yang wajib hukumnya bagi setiap manusia dan kewajiban tersebut berlangsung seumur hidup (long life education).
Kedudukan tersebut secara tidak langsung telah menempatkan pendidikan sebagai bagian tidak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan manusia. John Dewey dalam “Democracy and Education” berpendapat bahwa pendidikan adalah salah satu kebutuhan hidup (a necessity of life), salah satu fungsi sosial (a social function), sebagai bimbingan (a direction), dan sebagai sarana pertumbuhan (as growth) yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup yang bisa dicapai lewat transmisi, baik dalam bentuk formal, informal maupun non formal.
Walaupun dalam analisa Azyumardi Azra terungkap bahwa eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam dianggap sebagai very late starter ketika dibandingkan dengan lembaga pendidikan Kristen yang memiliki headstart dan merupakan early starter, akan tetapi tetap saja pendidikan Islam sudah memberikan kontribusinya yang luar biasa bagi perkembangan bangsa Indonesia. Analisa Azyumardi tersebut tentu harus dijadikan pemicu bagi perkembangan dan perbaikan mutu pendidikan Islam.
Wallahu’alam.
Daftar Pustaka
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. Al-tarbiyah al-Islamiyah. (Damaskus: Dar al-Fikr, tth).
Aly, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999).
Assegaf, Abd. Rahman. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011).
Buchori, Mochtar. Pendidikan Antisipatoris, (Jakarta, Yayasan Kanisius, 1987).
Buchori, Mochtar. Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994)
Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemah
Depag RI. Panduan Kurikulum 1994 Madrasah. (Jakarta: Depag RI, 1994).
Depag RI. Sejarah Madrasah, Pertumbuhan, dinamika dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: Depag RI, 2004).
Fajar, A. Malik. Reorientasi Pendidikan Islam. (Jakarta: Fajar Dunia, 1999).
Hidayat, Dudung Rahmat dkk. Pendidikan Agama: Urgensi dan Tantangan. Dalam Ali M, dkk (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bagian III. (Bandung: PT Imtima, 2007).
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999).
Saridjo Marwan (Penyunting). Mereka Bicara Pendidikan Islam, Sebuah Bunga Rampai. (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2009).
Subijanto. Profesi guru sebagai profesi yang menjanjikan Pasca Undang- Undang guru dan dosen. (Jakarta: Balitbang. Depdiknas. 2006)
Syaltout, Mahmud. Ila al-Qur’an al-Karim. (Cairo: Mathba’ah al-Azhar, 1962).
Tilaar, H.A.R. Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transpormatif untuk Indonesia. (Jakarta: Grasindo, 2002).
Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak dalam Islam. Terjemahan Jamaludin Miri (Jakarta: Pustaka Amani, 2007).
Susilo Bambang Yodhoyono (Presiden RI) ketika berpidato dalam rangka HUT PGRI tanggal 1 Desember 2009 mencanangkan perubahan paradigma pendidikan dari hierarkis formal menuju kemitraan, dari sistem akademik ke tata nilai. Pada saat itu beliau pun mengarahkan agar terjadi inovatif learning (pembaharuan pembelajaran) dengan mereformasi metodologi yang berorientasi pada guru (teacher centered) ke orientasi murid (student centered), membangun peradaban, serta membekali murid untuk berinteraksi dalam dunia global yaitu ketika era batas negara menjadi semakin nisbi.
Kalau kita telaah, ada beberapa alasan yang bisa jadi melatar-belakangi kegundahan presiden tersebut, pertama pola hubungan antara guru dan murid terasa kaku, lebih bersifat hierarkis formal, sehingga murid dianggap sebagai makhluk yang masih kosong, tidak banyak tahu, dan belum bisa apa-apa. Di sisi lain guru memposisikan dirinya sebagai makhluk serba tahu, yang posisinya jauh lebih tinggi dari pada murid. Kedua, pendidikan kita saat ini lebih berorientasi pada pencapaian kuantitatif dibanding kualitatif, porsi memacu murid untuk “mengetahui” lebih besar (bahkan tidak seimbang) dibanding porsi memacu murid untuk “melakukan/melaksanakan”, lebih berorientasi kognisi dibanding afeksi dan psikomotor sehingga akibatnya banyak murid yang pintar tapi prilakunya tidak benar. Ketiga, pendidikan kita saat ini mempunyai tantangan besar, yaitu dampak globalisasi, di mana pendidikan diharapkan bisa memberikan bekal kepada siswa untuk berinteraksi dengan dunia global, bisa memanfaatkannya untuk membangun peradaban dan bukan malah sebaliknya, globalisasi menggerus peradaban.
Untuk menjawab kegundahan presiden tersebut, pendidikan Islam sesungguhnya mempunyai tanggung jawab sekaligus tantangan yang lebih besar, karena pada prinsipnya pendidikan Islam mengajarkan tata nilai yang agung. Bahkan memang sudah semestinya pendidikan Islam menjadi solusi di tengah arus globalisasi, karena ajarannya berlaku universal yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu (sholihun likulli zaman wa makan). Hal ini pula yang menjadi salah satu catatan penting dalam sejarah eksistensi pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam perspektif historis, sosiologis ataupun yuridis, eksistensi pendidikan Islam pada perkembangan bangsa Indonesia sesungguhnya mempunyai posisi dan peran strategis. Dalam perspektif historis, pendidikan Islam di Indonesia memiliki akar yang panjang dalam membangun peradaban bangsa, terutama karena pendidikan Islam telah berlangsung lama, yaitu sejak masuknya Islam ke wilayah nusantara. Pada awalnya pendidikan Islam lebih bersifat informal dan non formal, sampai pada akhirnya terlembagakan secara formal. Dari situlah muncul kader-kader bangsa yang religius dan memiliki jiwa nasionalis yang bergerak dalam berbagai bidang-bidang yang berbeda.
Dalam persepektif sosiologis, kita bisa melihat bahwa eksistensi pendidikan Islam di Indonesia sudah menjadi kebutuhan masyarakat, terutama bagi daerah-daerah yang berpenduduk mayoritas Islam. Dalam perspektif yuridis, lembaga pendidikan Islam semakin memiliki posisi strategis pasca lahirnya undang-undang no. 2 tahun 1989 dan kemudian dikuatkan dengan UU No. 20 tahun 2003 yang mensejajarkan madrasah dengan sekolah umum, mendudukan pesantren sebagai bagian dari pendidikan keagamaan yang akan dilestarikan dan dikembangkan kualitasnya oleh pemerintah. Kemudian dalam PP No. 55 tahun 2007 pendidikan agama dan akhlak mulia mendapat apresiasi dengan diwajibkannya di setiap satuan pendidikan.
Posisi strategis pendidikan agama tersebut tentu bukan berarti bahwa mutu pendidikan agama kualitasnya sudah terjamin, terlebih ketika tantangan arus globalisasi begitu besar. Peningkatan mutu pendidikan agama menjadi sebuah keniscayaan ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu deras. Globalisasi menjadikan batas-batas geografis, budaya, agama, dan lain sebagainya sudah tidak lagi menjadi tembok pemisah untuk berinteraksi, dan pada akhirnya akan terbentuk sebuah kampung besar dan menyatu atau sering disebut global village. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pendidikan terutama untuk menghadapi tantangan zaman tersebut.
Peningkatan mutu pendidikan tersebut tentu bukan hal yang sederhana, apalagi dalam wilayah praksis terjadi paradoks dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan yang bermutu tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit dan implikasinya pendidikan menjadi mahal. Di sisi lain, keterbatasan dana juga tidak boleh mematikan dunia pendidikan, maka yang terjadi hanya sebatas pemerataan pendidikan yang sudah pasti mutu pendidikan pun belum bisa terjamin.
B. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threatment) Pendidikan Islam di Indonesia
1. Strength (Kekuatan)
Seperti telah diungkap sebelumnya bahwa secara historis, pendidikan Islam sudah menunjukan eksistensinya begitu lama dan sampai hari ini pendidikan Islam tersebut masih tetap eksis, bahkan dalam beberapa hal sudah memperlihatkan perkembangannya yang begitu pesat. Fenomena tersebut menunjukan bahwa pendidikan Islam memiliki beberapa kekuatan, diantaranya:
a. Sumbernya qoth’i yaitu nash (al-Qur’an dan Hadits)
Paling tidak ada empat perspektif dalam menjabarkan substansi pendidikan Islam (Islamic education), pertama: education of muslim (pendidikan yang ideal untuk muslim), kedua: education for muslim (pendidikan yang pas buat muslim), ketiga: education about Islam (Islam sebagai materi yang diajarkan), dan keempat: education in Islamic spirit (semangat keislaman sebagai sebuah bagian/ tidak membawa nama Islam). Sementara itu, Mochtar Buchori menyederhanakannya menjadi dua perspektif, yaitu: pertama: segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa; kedua, keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatan pendidikannya atas pandangan serta nilai-nilai Islam. Dalam perspektif apapun, pendidikan Islam tentu menjadikan substansi (pokok) ajaran Islam sebagai sandarannya, dan dengan demikian pula al-Qur’an dan Hadits menjadi acuan pokoknya.
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam tertinggi karena berasal dari Allah SWT dan tentu kebenarannya mutlak. Keberadaannya sangat dibutuhkan manusia, karena berfungsi sebagai petunjuk hidup manusia. Sementara Hadits atau sunah merupakan sumber ajaran Islam yang bersumber dari Rasulullah SAW (utusan Allah SWT) yang berfungsi untuk memperkuat atau memperjelas al-Quran.
Pada kenyataannya dalam pendidikan Islam, kedua sumber tersebut dikombinasikan atau diperkuat pula dengan nalar. Ini dianggap ideal karena memadukan antara potensi akal yang dimiliki manusia dengan nash yang merupakan tuntunan qothi ajaran Islam.
b. Mengajarkan pondasi atau prinsip-prinsip dasar (akhlak) yang bersifat universal
Pada prinsipnya Islam lahir membawa misi universal yaitu penyempurnaan akhlak manusia, seperti yang ditegaskan Nabi Muhammad SAW “Sesungguhnya aku diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak”. Misi tersebut tentu menjadi ruh dari tujuan pendidikan Islam, bahkan Muhammad Athiyah al-Abrasyi berpendapat bahwa tercapainya akhlak yang mulia tersebut merupakan tujuan tertinggi dari pendidikan Islam.
Pencapaian akhlak mulia tersebut sesungguhnya bersifat universal, bukan hanya menjadi tujuan pendidikan Islam saja tapi juga berlaku dalam pendidikan secara umum. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, penegasan tentang pentingnya penanaman akhlak atau moral dalam pendidikan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan akhlak mulia, dan kemudian diperkuat dengan pencanangan program pendidikan karakter yang masuk pada kurikulum di setiap satuan pendidikan.
c. Fleksibilitas ajaran Islam
Mahmud Syaltout mengelompokan pokok-pokok ajaran Islam menjadi tiga bagian, yaitu: Akidah, Akhlak dan Syariah. Dalam bukunya yang berjudul al-Islam Aqidah wa Syari’ah beliau kemudian menyederhanakannya menjadi dua bagian, yaitu: Akidah dan Syariah.
Akidah merupakan sistem ajaran Islam yang sifatnya prinsipil, tidak ada fleksibilitas, toleransi dan tawar menawar di dalamnya. Namun dalam hal syariah ada hal yang sifatnya fleksibel, tidak hanya untuk orang Islam saja tapi berlaku umum, seperti wilayah muamalah (relasi antar manusia atau dengan alam semesta).
Urgensi terhadap pemeliharaan hubungan antar sesama tersebut ditegaskan dalam hadits Nabi yang berbunyi: “Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan (orang lain)”. Dalam pendidikan Islam Hadits tersebut menjelma menjadi kewajiban mengajarkan kebaikan antar sesama, pentingnya mengajarkan pola hidup baik dan sehat, serta saling menjaga dari munculnya penyakit yang bukan hanya merugikan diri sendiri saja, tapi juga berakibat merugikan orang lain. Selain kewajiban menjaga relasi positif dengan sesama manusia, dalam wilayah muamalah tersebut manusia juga mempunyai kewajiban berbuat baik terhadap alam semesta, bahkan Allah SWT menitipkannya langsung kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi yang pada akhirnya akan diminta pertanggung-jawabannya.
Ajaran berbuat baik kepada sesama bahkan terhadap alam semesta tersebut merupakan salah satu ajaran Islam yang bersifat universal, maka pantaslah kalau ajaran Islam disebut-sebut sebagai ajaran yang tidak akan lekang oleh ruang dan waktu (shalihun likulli zaman wa makan).
d. Muslim majority
Peran sentral pendidikan Islam di Indonesia tentu tidak bisa lepas dari aspek sosiologis di mana penduduk muslim jumlahnya mayoritas. Tingginya prosentase penduduk muslim di Indonesia tersebut menjadi faktor paling kuat eksistensi pendidikan Islam. Dinamika penduduk muslim yang begitu besar tersebut menuntut dunia pendidikan Islam agar bisa mengakomodasi tiap segmen masyarakat yang ada di dalamnya, konsekuensinya adalah lahirnya beragam lembaga yang berusaha menyajikan pendidikan ke-Islaman dengan berbagai nuansa yang berbeda. Setidaknya ada empat jenis praktek pendidikan di Indonesia, yaitu:
1) Pendidikan pondok pesantren, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran al-Qur’an dan Hadits, dan merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan Islam sebagai way of life, (cara hidup) kepada para siswa.
2) Pendidikan madrasah, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan model Barat, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup dalam diri siswa
3) Pendidikan umum yang bernafaskan Islam, ialah pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum
4) Pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.
e. Kesederajatan antara madrasah dengan sekolah dengan pengakuan legalitas formal.
Lahirnya Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi cikal bakal perkembangan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, dengan undang-undang tersebut Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan ditetapkan sebagai bagian integral dari Sisdiknas.
Dalam tataran teknisnya kemudian ditetapkanlah beberapa Peraturan Pemerintah, antara lain PP No. 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No. 13 tahun 1991 tentang pembatalan PP No. 33 tahun 1985. Berdasarkan UU. No. 2 tahun 1989 dan beberapa PP tersebut dapat diketahui antara lain ketetapan-ketetapan sebagai berikut:
1) Pendidikan Agama wajib termuat dalam kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
2) Pendidikan Keagamaan Islam pada jalur sekolah berbentuk Madrasah dan Perguruan Tinggi Agama Islam.
3) Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) adalah Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP, sekarang SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU, sekarang SMA) yang berciri khas Islam dan dikelola oleh Departemen Agama. Di samping ciri khas Islam, MA mempunyai jurusan Agama Islam selain jurusan-jurusan lain yang dimiliki SMA. MI dan MTs di luar ciri khas Islam, sepenuhnya sama dengan SD dan SMP.
4) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) adalah Lembaga Pendidikan Tinggi di bidang Agama Islam yang dikelola oleh Departemen Agama. Institut Agama Islam Swasta dan Fakultas Agama Islam pada Universitas Swasta adalah Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta yang dibina oleh Departemen Agama.
Kurikulum madrasah pun diperbaharui dengan kurikulum 1994 dengan perbandingan alokasi waktu antara 16-18% untuk mata pelajaran agama dan antara 82-86% mata pelajaran umum, dengan catatan bahwa alokasi waktu mata pelajaran umum muatan nasional diberlakukan 100%, sama sekolah umum setingkat.
Pada perkembangan berikutnya konsep kesederajatan madrasah melalui peningkatan kualitas yang tertera dalam Undang-undang tersebut dikuatkan dengan lahirnya Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Weakness (Kelemahan)
Prof. Mohammad Ali (Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama sejak tahun 2007) yang dikutip Marwan Saridjo mengidentifikasi beberapa kekurangan dalam pendidikan Islam, diantaranya: (1) kurikulum pendidikan agama lebih menekankan aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek pengamalan ajaran agama dalam pembentukan akhlak dan karakter, (2) jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang bermutu belum mencukupi, (3) sarana dan prasarana terbatas, (4) fasilitas lainnya belum memadai, dan (5) adanya efek negatif globalisasi yang mempengaruhi peserta didik yang tidak sejalan dengan agama.
Dalam beberapa hal penulis sependapat dengan identifikasi tersebut, namun dalam hal adanya efek negatif globalisasi penulis berpendapat bahwa hal tersebut tidak selamanya menjadi penyebab kelemahan pendidikan Islam tapi harus dilihat sebagai sebuah tantangan agar semua stakeholder mengencangkan ikat pinggangnya menghadapi arus tersebut, yang pada akhirnya bukan pendidikan yang tergerus globalisasi tapi justru diharapkan pendidikan bisa memanfaatkan dampak globalisasi tersebut.
Beberapa hal yang masih dianggap kelemahan dan harus segera dibenahi dalam pendidikan Islam diantaranya:
a. Aspek pendidik dan tenaga kependidikan
1. Rendahnya kualifikasi akademik guru
Secara sederhana profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan atau jabatan yang dilakukan seseorang sesuai dengan keahliannya (expertise), dengan kata lain, suatu profesi erat kaitannya dengan pekerjaan yang spesifik, terstandar mutunya dan dapat menjadi sumber penghasilan sesuai dengan penghargaan keprofesionalannya. Lebih jauh Subijanto menjelaskan bahwa profesi merupakan pengakuan masyarakat terhadap karakteristik pekerjaan yang memiliki sifat-sifat tertentu seperti juga profesi guru, adalah kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan dan memiliki pengetahuan spesialisasi dan pengetahuan praktis untuk menunjang proses belajar mengajar.
Kualifikasi pendidikan guru selanjutnya dibedakan menjadi lima kategori, yaitu tingkat pendidikan di bawah diploma satu (D3). Tingkat pendidikan di bawah diploma satu termasuk di dalamnya SLTA dan sederajat serta di bawah SLTA. Sedangkan tingkat pendidikan di atas diploma tiga termasuk di dalamnya S1, dan pasca sarjana (S2 dan S3).
Pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), kualifikasi guru didominasi dengan tingkat pendidikan di bawah diploma satu ( D3) persentasenya adalah 13.8% pada tahun 2002/2003 dan pada tahun 2006/2007 baru mencapai 20.5%.
2. Kualitas guru yang masih rendah
Harus diakui bahwa kelahiran lembaga-lembaga pendidikan Islam kebanyakan dibidani oleh inisiatif masyarakat, hal ini bisa dilihat dari fakta bahwa mayoritas lembaga pendidikan Islam seperti madrasah berstatus swasta, kalaupun madrasah tersebut berstatus negeri, maka tidak sedikit pula yang status ke-negerian-nya tersebut bermula dari swasta juga. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan lembaga pendidikan umum yang mayoritas berstatus negeri dan hampir semuanya dilahirkan oleh pemerintah.
Hal tersebut tentu berimplikasi pada sumber daya manusia pada lembaga pendidikan tersebut, implikasi tersebut diantaranya:
a) Masih banyaknya guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik (unqualified/underqualified), yaitu minimal lulusan S1
b) Dalam sistem rekruitment banyak lembaga pendidikan Islam yang masih mengedepankan akomodasi kekeluargaan dibanding kompetensi
c) Masih banyaknya guru yang mismatch (mengajar tidak sesuai dengan kualifikasi akademiknya), misalnya lulusan Fakultas Tarbiyah jurusan PAI mengajar matematika.
d) Karena rendahnya kesejahteraan, maka banyak guru yang masih “nyambi” di sekolah/madrasah lain atau bahkan pada profesi yang lain.
Jika dilihat data guru saat ini, hampir 20% guru madrasah termasuk kategori tidak layak karena unqualified atau mismatch. Melihat kondisi tersebut pemerintah melakukan beberapa upaya peningkatan kualitas guru seperti dengan program sertifikasi, bahkan Kementerian Agama melakukan kerja sama dengan beberapa lembaga keuangan luar negeri seperti Asian Development Bank (ADB) dengan programnya Junior Secondary Education Project (JSEP) untuk membantu peningkatan mutu MTs tahun 1994 dan berlanjut dengan program Basic Education Project (BEP) dan Development of Madrasah Aliyah Project (DMAP) tahun 1996. Dengan program-program tersebut ribuan guru unqualified diikut sertakan dalam berbagai program pendidikan dan latihan seperti pelatihan guru bina (master teacher), serta pendidikan S2, S3 diberbagai perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Begitu pula melalui Islamic Development Bank (IDB) telah dilakukan pula pelatihan berbagai program keterampilan bagi guru-guru yang mengajar di MA yang memiliki program keterampilan.
3. Kualitas Kepala Madrasah yang masih rendah
Data EMIS tahun 2003 menyebutkan bahwa pada tingkat MI terdapat 62% kepala madrasah belum memenuhi kualifikasi akademik, pada tingkat MTs sebesar 25,42%, dan 6,6% pada tingkat MA. Dari sudut kepemimpinan manajerial mereka masih banyak yang lemah bahkan banyak kepala madrasah yang berasal dari mantan pejabat administratif pada kandepag atau kanwil yang memperpanjang dinas aktifnya dengan mutasi menjadi pejabat fungsional kepala madrasah. Akibatnya banyak madarasah yang dikelola dengan penekanan aspek administratif dari pada dimensi akademisnya, yang terjadi adalah madrasah dikelola secara amatiran dan bernuansa birokratis.
Untuk melahirkan lembaga pendidikan yang bermutu dibutuhkan pemimpin yang memiliki kompetensi manajerial yang baik, beberapa indikatornya diantaranya adalah:
1) Visioner (memiliki visi yang jelas, terarah dan rasional untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang dia pimpin)
2) Memahami seluk-beluk dunia pendidikan
3) Paham tentang strategi pemasaran lembaga kependidikan yang dia pimpin
4) Memahami kebutuhan masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan
5) Cerdik dalam mengelola pembiayaan pendidikan yang efektif dan efisien
Walaupun beberapa point tersebut merupakan indikator minimal, tapi perlu diakui bahwa masih banyak lembaga pendidikan Islam yang pemimpinnya belum memenuhi kualifikasi tersebut.
4. Kualitas Pengawas Madrasah yang masih rendah
Sebagian besar pengawas berasal dari tenaga administratif seperti mantan kepala seksi atau kepala madrasah yang bermutasi menjadi tenaga pengawas dalam rangka memperpanjang usia dinas aktif. Bisa dibayangkan kualitas kepengawasannya, dengan keterbatasan pengetahuan tentang seluk beluk proses belajar mengajar ditambah dengan keterbatasan pengetahuan di bidang administrasi dan supervisi pendidikan. Dalam kenyataannya para tenaga pengawas tersebut tidak lebih hanya memainkan peran dan fungsinya sebagai ‘inspektur adminitratif’ dan tidak sempat mensupervisi masalah substansi dan proses KBM yang berlangsung di madrasah, bahkan banyak diantara pengawas yang berkunjung ke madrasah hanya pada saat ujian nasional saja. Ke depan, mestinya pengawas tidak dijabat oleh sembarang orang, mereka harus tenaga profesional dengan kualifikasi yang jelas, baik secara administratif, akademis, maupun moral keagamaan.
5. Rasio Siswa dan Guru
Berdasarkan data dari Ditjen Pendidikan Islam Depag, rasio siswa dan guru untuk madrasah ibtidaiyah lebih besar daripada rasio siswa dan guru untuk madrasah tsanawiyah dan aliyah. Rata-rata rasio siswa dan guru untuk MI adalah sebesar 16 yang dapat diartikan bahwa 1 guru mengajar 16 siswa. Rasio siswa dan guru terbesar di MI terjadi pada tahun 1999/2000 yaitu sebesar 20. Sementara itu, rasio siswa dan guru pada MTs dan MA relatif hampir sama. Hal ini menandakan bahwa jumlah guru untuk MTs dan MA secara relatif lebih banyak daripada guru untuk MI dalam hal keterbandingannya dengan jumlah siswa.
Rasio siswa terhadap guru berkisar antar 10 -11 orang per guru untuk siswa Madrasah Tsanawiyah dan untuk siswa Madrasah aliyah rasio siswa terhadap guru rata-rata berjumlah 9 orang siswa per guru. Sehingga makin tinggi jenjang sekolahnya makin banyak pula jumlah guru yang tersedia dibandingkan jumlah siswanya.
Ketersediaan jumlah guru antara madrasah dengan sekolah umum lainnya yang sederajat, masih lebih baik di madrasah. Umumnya rata-rata jumlah siswa per guru pada madrasah masih lebih rendah dibandingkan rata-rata jumlah siswa per guru pada sekolah umum dan madrasah. Rata-rata jumlah siswa perguru SD+MI tahun 2004/2005 – 2006/2007 masing-masing sebanyak 19 siswa. Sedangkan Jumlah siswa per guru pada MI pada periode tersebut hanya 15 siswa per tahun. Untuk tingkat SMP, rata-rata jumlah siswa per guru dari sekolah SMP+ MTs adalah 14 siswa tahun 2004/2005, Jumlah siswa per guru di MTs pada periode tersebut masing-masing sebanyak 10 siswa, 10 siswa dan 11 siswa. Hal yang sama diperlihatkan pada tingkat SMA, jumlah siswa per guru di Madrasah Aliyah lebih sedikit dibandingkan dengan rata-rata tingkat SMA + MA.
Proses belajar mengajar dari kondisi tersebut tentunya dapat menghasilkan proses belajar mengajar yang lebih baik pada madrasah, Namun bila dibandingkan dengan kualitas guru yang mengajar, terutama sekali guru yang telah memiliki standar nasional (segi pendidikan), sekolah-sekolah umum diluar madrasah masih lebih baik kualifikasinya.
Sebaran per provinsi rasio siswa per guru periode 2002/2003 dan 2006/2007 seperti yang disajikan pada tabel 7 dapat menggambarkan perkembangan rasio siswa per guru selama 2 periode tersebut. Dengan memperhatikan sebaran per provinsi, kebijakan alokasi guru per provinsi dapat dilakukan untuk memperkecil ketimpangan antar provinsi. Jumlah siswa per guru selama 5 tahun tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Perubahan yang terlihat pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah menunjukkan bahwa jumlah siswa per guru turun dari 16 siswa tahun 2002/2003 menjadi 15 siswa tahun 2006/2007.
Begitu pula pada tingkat Madrasah Aliyah pada tahun 2002/2003 tercatat ada 9 siswa per guru menjadi 8 siswa per guru pada tahun 2006/2007. Kondisi ini mengisyaratkan adanya persentase pertambahan jumlah guru lebih besar dari persentase pertambahan jumlah murid.
Bila diperhatikan sebaran per provinsi, ternyata tidak semua provinsi mengalami pertambahan jumlah guru yang lebih besar persentasenya dibandingkan persentase pertambahan jumlah siswa, tercatat beberapa provinsi yang mempunyai jumlah siswa per guru semakin besar selama periode 5 tahun tersebut. Untuk Madrasah Ibtidaiyah jumlah siswa per guru yang semakin besar setelah periode 5 tahun adalah Provinsi Lampung , Jawa Tengah, Banten, Sulut, Sulsel dan Irian Jaya Barat. Sedangkan pada Madrasah Tsanawiyah Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB, Kalbar, Kaltim , Sulut, Sultera dan Irian Jaya Barat jumlah siswa per guru nya bertambah banyak setelah 5 tahun.
Pada tingkat Madrasah Aliyah tercatat Provinsi Riau, Bengkulu, Jawa Tengah, NTT, Sulut dan Irian Jaya Barat yang mempunyai jumlah siswa per guru lebih banyak setelah 5 tahun.
Melihat rasio siswa per guru pada madrasah umumnya lebih rendah dibandingkan sekolah umum lainnya yang sederajat, hal ini bisa mengisyaratkan masih kurang minatnya masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anaknya ke madrasah, sehingga daya tampung madrasah masih cukup besar, hanya saja perlu dikaji lebih jauh bagaimana cara menaikkan minat masyarakat khususnya muslim agar mau mempercayakan pendidikan anaknya ke madrasah.
6. Lemahnya penguasaan teknologi informasi
Perkembangan zaman yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan mudahnya akses informasi menjadikan dunia tanpa sekat. Ruang dan waktu menjadi nisbi adanya. Di satu sisi hal tersebut menjadi kendala bagi dunia pendidikan Islam yang masih lemah dalam SDM dan sarana prasarana, harus diakui bahwa keterbatasan dana menyebabkan lembaga pendidikan Islam masih banyak yang belum bisa memfasilitasi derasnya perkembangan teknologi tersebut, ditambah lagi dengan kekhawatiaran yang begitu besar atas ekses negatif dari perkembangan teknologi tersebut yang berakibat banyaknya lembaga pendidikan Islam yang cenderung membatasi bahkan menjauhkan diri dari perkembangan teknologi tersebut.
b. Aspek Kurikulum
1. Kurikulum yang masih berorientasi pada kognisi.
Pada dasarnya pendidikan keagamaan bertujuan untuk mengarahkan anak didik pada perilaku yang lebih baik, taat menjalankan ajaran serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dianggap negatif, kesimpulannya pendidikan agama lebih berorientasi afektif dan psikomotor yang sudah pasti harus didahului oleh aspek kognitifnya. Pada kenyataannya, pembelajaran materi-materi keagamaan tersebut dianggap tuntas pada aspek teoritis, siswa dianggap tuntas mempelajari agama ketika dia mengetahui materi yang disampaikan oleh gurunya, tidak perduli dia melakukan kebaikan (ajaran agama) atau tidak. Saya berpendapat bahwa hal tersebut tidak semuanya merupakan kesalahan guru semata karena pada dasarnya guru dituntut untuk mengikuti kurikulum serta sistem evaluasi yang diinginkan pemerintah. Azas desentralisasi yang memunculkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) masih dianggap sebagai sebuah jargon karena berbenturan dengan egoisme pemerintah yang memaksakan sistem evaluasi yang berorientasi kognisi.
2. Terjebak pada orientasi ritualisme formalistik.
Salah satu substasi pengajaran agama adalah mempelajari bagaimana seharusnya relasi antara manusia dengan Tuhannya dalam bentuk ibadah, di dalamnya berisi ritual-ritual yang penuh dengan aturan sebagai bentuk penghambaan. Setiap ritual tersebut sesungguhnya memiliki makna atau hakikat yang terkandung di dalamnya, shalat misalnya, di dalamnya terkandung makna kedisiplinan, kebersihan, keteraturan, penghargaan terhadap sesama dan masih banyak yang lainnya. Dalam pengajarannya, guru sering kali hanya sebatas mengajarkan bagaimana anak benar shalatnya dalam hal gerakan dan bacaannya saja, tanpa mengetahui makna-makna yang terkandung di dalamnya, padahal perlu juga anak memahami arti-arti dari bacaan shalat tersebut untuk menyatukan ucapan, hati, pikiran dan gerakannya pada saat melaksanakan ibadah tersebut.
Dalam perspektif lain, tindakan ritual dan segi-segi formal itu dianggap baru mempunyai makna hakiki jika mampu mengantarkan seseorang kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT sehingga memiliki kesiapan emosional dan spiritual dalam menjalani hidup di dunia serta dalam mencapai pengalaman transendental. Wujud kedekatan kepada Tuhan itulah yang akan termanifestasikan dalam berbagai sikap dan perilaku yang terpuji (akhlakul karimah) sehingga bisa memberi manfaat dan kebaikan kepada sesama manusia, yang kemudian melahirkan pribadi-pribadi yang tidak hanya shaleh secara individual tapi juga shaleh secara sosial.
3. Opportunity (Peluang)
a. Tingginya Kuantitas Penduduk Muslim
Selain sebagai sebuah kekuatan, tingginya jumlah penduduk Muslim (muslim majority) di Indonesia, juga sekaligus merupakan peluang besar bagi perkembangan pendidikan Islam. Munculnya paradigma “pendidikan berbasis masyarakat” (community-based education) memberikan peluang besar kepada masyarakat Muslim untuk memberikan kontribusinya pada perkembangan pendidikan Islam. Hanya saja tingginya peluang tersebut harus diimbangi dengan perbaikan dan pengembangan kualitas pendidikan tersebut.
Pengembangan kualitas pendidikan tersebut tentu bukan hal mudah bagi lembaga-lembaga pendidikan Muslim, kecenderungan orientasi masyarakat yang lebih pragmatis harus direspon oleh dunia pendidikan Islam dengan melakukan “re-negosiasi” antara “sosial expectations” dengan “academic expectations”. Dengan demikian peluang perkembangan pendidikan Islam akan semakin besar dan lebih dinamis, dan masyarakat pun tidak sungkan menjatuhkan pilihannya bagi lembaga pendidikan Islam tersebut.
Atas dasar peluang di atas, Azyumardi Azra setidaknya mencatat ada empat macam lembaga pendidikan Islam yang bisa dipilih oleh masyarakat, yaitu: pertama: pendidikan yang berpusat pada tafaqquh fi al-din seperti pesantren, kedua, madrasah dengan kurikulum Kemdiknas dan Kemenag, tiga, sekolah Islam “plus” atau “unggulan”, dan empat, pendidikan keterampilan (vocational training) seperti madrasah keterampilan yang mengikuti model “STM”.
b. Terbukanya lembaga pendidikan umum berbasis Islam.
Seperti yang diungkapkan Azyumardi di atas, dari keempat pilihan yang menjadi peluang bagi perkembangan pendidikan Islam, pilihan yang ketiga yaitu Sekolah Umum Berbasis Islam merupakan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional, seperti TK, SD, SMP, atau SMA Islam, atau dengan beberapa tambahan label seperti “plus”, “unggulan”, atau “terpadu” dan lain sebagainya, pada tingkat perguruan tinggipun lembaga seperti ini sudah banyak di Indonesia, seperti UMJ, UNISBA, Universitas Paramadina, UII dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut biasanya lahir atas inisiatif tokoh-tokoh Muslim atau organisasi kemasyarakatan yang mengakomodasi modernitas tanpa menghilangkan prinsip tafaqquh fi al-din-nya.
c. Adanya kewajiban memasukan pelajaran agama di lembaga pendidikan umum.
Pada masa penjajahan pendidikan agama tidak masuk ke dalam kurikulum sehingga hukumnya tidak wajib dilakukan oleh lembaga pendidikan (ekstrakurikuler dan non-compulsary), kemudian pasca kemerdekaan (1946) pendidikan agama di sekolah menjadi bersifat fakultatif, sudah menjadi bagian kurikulum (intrakurikuler) tapi masih bersifat non-compulsary (tidak wajib) sehingga orang tua boleh meminta agar anaknya tidak diberi pendidikan agama.
Wajibnya pendidikan agama di sekolah dimulai sejak lahirnya TAP MPRS Nomor XXVII Tahun 1996 walaupun baru mewajibkan sekolah negeri saja, namun setelah lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 kewajiban adanya pendidikan agama tersebut berlaku juga untuk sekolah swasta dan berlaku untuk semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan. Pendidikan agama tersebut dipertegas dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tepatnya pada pada pasal 12 ayat (1) huruf a yang menyatakan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.”
Pemberlakuan pendidikan agama pada semua jenjang (dari mulai pendidikan dasar sampai perguruan tinggi) ditegaskan pada pasal 37 ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal (1): kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. Pendidikan agama, b. Pendidikan kewarganegaraan, c. Bahasa, d. Matematika, e. IPA, f. IPS, g. Seni dan Budaya, h. Pendidikan Jasmani dan Olahraga, i. Keterampilan/kejuruan, dan j. Muatan lokal.
Pasal (2): Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan agama, b. Pendidikan Kewarganegaraan, d. Bahasa.
4. Threatment (Tantangan)
a. Derasnya pengaruh negatif globalisasi
Dalam Konfrensi Berlin, kelompok yang menyebut dirinya sosial demokrat, Shimon Peres mengatakan bahwa kekuatan globalisasi diibaratkan pengalaman seseorang yang bangun pagi dan melihat segala sesuatu sudah berubah. Banyak hal yang kita anggap biasa, banyak paradigma yang kita anggap suatu kebenaran tiba-tiba menghilang tanpa bekas. Saat ini kita benar-benar merasakan dahsyatnya efek globalisasi yang masuk pada setiap lini kehidupan sampai-sampai ada yang menghawatirkannya dan menyebutnya globaphobia. Kedahsyatan globalisasi tersebut misalnya bisa dirasakan pada perubahan pola hidup manusia dalam hal food (makanan), fashion (pakaian) dan fun (kesenangan).
Globalisasi yang pada dasarnya memberikan peluang bagi bersatunya berbagai komunitas di belahan dunia pada satu entitas kehidupan akan menjadi tantangan luar biasa bagi eksistensi pendidikan Islam. Pendidikan Islam dituntut untuk bisa menunjukan jati dirinya sebagai pemelihara ajaran Islam yang shalihun likulli zaman wa makaan. Untuk mewujudkannya diperlukan persamaan persepsi sehingga yang terjadi bukanlah pendidikan Islam mengikuti globalisasi tapi justru pendidikan Islam mengakomodasi globalisasi tersebut.
b. Kecenderungan hidup materialitik hedonis
Pergeseran pola hidup ke arah materialistik hedonis memberikan peluang tergerusnya norma, etika bahkan moralitas yang menjadi target utama pendidikan agama termasuk pendidikan Islam, orang kemudian lebih terpacu untuk mengikuti perkembangan zaman tanpa berkaca pada aturan agama, akhirnya ajaran agama bisa jadi hanya dijadikan sebagai lipstik belaka.
Pergeseran pola hidup tersebut tentu juga berpengaruh lembaga pendidikan Islam, orientasi hidup yang materialistik akan menggiring para penguna jasa pendidikan tersebut untuk mencari lembaga pendidikan yang bisa mengantarkan anaknya pada kehidupan yang materialistik pula, sudah barang tentu hal tersebut menjadi tantangan bagi dunia pendidikan Islam.
c. Tumbuhnya paham sekularisme
Sekularisme diartikan sebagai paham yang memberikan kebebasan seluas-luasnya termasuk dalam hal keyakinan dan agama. Pada dasarnya Islam memberikan ruang kepada manusia untuk menetapkan pilihannya dalam hal keyakinan dan beragama tersebut termasuk konsekuensi dari pilihannya itu, dalam hal ini tidak ada paksaan dalam beragama, tapi Islam sudah menjelaskan secara gamblang akan kebenaran dan keabsahan Islam itu sendiri, bahwa hanya Islam-lah yang diridhai.
Semakin tumbuhnya sekularisme tersebut tentu sangat berimplikasi pada dunia pendidikan Islam, pengajaran agama Islam akan semakin ditantang untuk bisa menjawab argumentasi-argumentasi rasional menyangkut keberagaman akidah, pada titik inilah prinsip-prinsip ajaran Islam akan dipertaruhkan.
C. Upaya Mencari Solusi Peningkatan Mutu Pendidikan Islam
Dalam TAP MPR-RI No. VII/MPR/2001tertera Visi Indonesia 2020 yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Dalam rangka terwujudnya masyarakat yang religius, maka posisi pendidikan Islam benar-benar memiliki posisi strategis dan sangat sentral. Untuk mewujudkannya diperlukan kualitas pendidikan yang baik dan bermutu.
Untuk melihat lebih jernih posisi lembaga pendidikan Islam, ada baiknya kita membandingkannya dengan lembaga pendidikan kristen. Pada zaman kolonial Belanda, lembaga pendidikan Islam yang terpusat pada pesantren, surau, dayah, dan lain sebagainya sengaja menguzlahkan diri dari kekuasaan kolonial bahkan membentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Sementara lembaga pendidikan Kristen, selain secara langsung didukung gereja, juga mendapat fasilitas dari pemerintah Belanda. Hasilnya, tidak heran kalau lembaga pendidikan mereka lebih bermutu karena mereka memiliki headstart dan merupakan “early starter”, sementara lembaga-lembaga pendidikan Islam unggulan semacam al-Azhar, al-Izhar, Madania, atau Muthahari pada dasarnya merupakan “very late starter” yang berusaha masti-matian mengejar ketertinggalan.
Walau demikian, kita tidak boleh terjebak pada kondisi pesimistik tanpa solusi, kondisi realistik tersebut harus terus dijadikan cambuk agar pendidikan Islam bisa berkembang secara lebih progresif. Steven R Covey berpendapat bahwa “kita tidak akan bisa mengubah buah sebelum mengubah bakar”. Buah pendidikan agama antara lain amanah, sabar, tawadhu, tawakkal, ikhlas, dan taqwa. Kita sering memperbincangkan mengapa aspek agama semacam ini tidak lagi menjadi sikap dan perilaku umat beragama. Kita lupa, semua itu hanya buah dari cara kita beragama.
Untuk itu, diperlukan langkah-langkah yang gradual, terpola dan tentunya progresif pula dalam setiap aspek pendidikan agar akselerasi tersebut bisa terlaksana. Aspek-aspek tersebut antara lain:
1. Aspek Kebijakan
Menurut Emile Durkheim pendidikan harus selalu menundukan permasalahannya dalam konteks kemasyarakatan yang luas. Sementara Karl Mannheim mengatakan bahwa untuk memahami hakikat pendidikan perlu mengetahui: “ Siapa mendidik siapa, di masyarakat apa, kapan dan di mana, serta untuk posisi sosial apa peserta didik itu dididik. Kedua tokoh sosiologi pendidikan tersebut menggambarkan betapa tingginya signifikansi hubungan antara pendidikan dengan masyarakat. Untuk itu diperlukan kebijakan-kebijakan pendidikan yang berorientasi pada tuntutan, kebutuhan serta kemajemukan masyarakat, diantaranya:
a. Memaksimalkan biaya pendidikan dengan merealisasikan anggaran pendidikan 20%. Berdasarkan data yang disampaikan H.A.R Tilaar tahun 1992, biaya pendidikan kita masih sangat rendah baru mencapai 13.6%, jauh berbeda dengan Malaysia yang sudah mencapai 16%, atau Taiwan 18%, Thailand 19.4%, Korea Selatan 20.5%, bahkan Singapura sudah menembus 21.6%.
b. Perlunya transfaransi baik dalam hal keuangan maupun kebijakan.
Pada tahun 2009 anggaran untuk bidang pendidikan di lingkungan Departemen Agama mencapai ± Rp. 23 Triliyun. Dari jumlah tersebut ternyata hampir seluruhnya dialokasikan untuk penyelenggaraan sekolah umum berciri khas agama Islam, yaitu ± Rp. 1,7 Triliyun di pusat dan ± Rp. 18 Triliyun di daerah. Pendidikan Agama Islam di sekolah umum di bawah binaan Depdiknas seolah terlupakan, mereka hanya dialokasikan dana ± Rp. 74 Milyar saja dan itupun hanya dari pusat, sementara di daerah hampir tidak disediakan yang seharusnya diambilkan dari dana Rp. 18 Triliyun tersebut di atas, padahal anggarannya disebutkan sebagai anggaran Pendidikan Islam. Kebijakan tersebut tentu membuat merana unit-unit yang menangani pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum.
c. Perlunya keterbukaan akses
Dalam rangka tercipta good governance (pemerintahan yang baik) diperlukan keterbukaan akses untuk mensinergikan kebutuhan masyarakat dengan kebijakan pemimpinnya. Dalam hal pendidikan, pemerintah harus duduk bersama dengan seluruh stakholders dan menyerap apa yang benar-benar diharapkan oleh mereka. Bukan hanya dalam hal informasi dan kebijakan, keterbukaan akses juga diperlukan untuk memperluas wawasan, pemerintah harus menjalin kerjasama dengan berbagai pihak (baik dalam maupun luar negeri, lembaga pendidikan maupun non kependidikan, negeri atau swasta) untuk membuka akses pengetahuan, baik untuk pendidik, tenaga kependidikan, pengelola bahkan juga untuk siswa
2. Aspek Kurikulum
Dalam aspek kurikulum, pembenahan pendidikan Islam bisa dilakukan diantaranya dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Pendidikan Islam pada prinsipnya bertumpu pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits. Agar dalam tataran aplikasinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sejalan dengan prinsip ajaran tersebut maka diperlukan integrasi kurikulum berbasis nash dan sains.
b. Pada saat seorang guru mengajarkan pengetahuan terhadap muridnya, sesungguhnya guru tersebut sedang mempersiapkan murid tersebut untuk bisa survive di masa yang akan datang. Dengan demikian kurikulum harus didesain berwawasan masa depan.
c. Untuk mengatasi degradasi moral yang akhir-akhir ini begitu menghebat, sekolah dituntut untuk bisa meracik kurikulum berbasis akhlak. Salah satu caranya adalah dengan menjadikan akhlak sebagai core curriculum (inti kurikulum) yang masuk pada seluruh mata pelajaran, baik pelajaran umum maupun pelajaran agama.
d. Penambahan jumlah jam pelajaran agama khususnya pada sekolah-sekolah umum, dan untuk madrasah yang mata pelajaran agamanya sudah banyak, bisa diperkaya dengan memasukan hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) yang memuat materi-materi aplikasi keagamaan.
e. Aktualisasi dan internalisasi nilai-nilai ke-Islaman khususnya di lingkungan sekolah.
f. Peningkatan efektivitas pembelajaran keagamaan
g. Kurikulum pendidikan agama memuat tiga ranah, yaitu kognisi, afeksi dan psikomotor. Konsekuensinya dalam penilaian pun harus meliputi ketiga komponen tersebut. Untuk itu, harus dilakukan re-evaluasi terhadap sistem penilaian yang cenderung berbasis kognisi ke arah penilaian integratif.
h. Dalam memberikan pelajaran, seorang guru dituntut untuk mengintegrasikan kesalehan individu dengan kesalehan sosial siswanya. Siswa yang ibadahnya rajin dipandang belum cukup berhasil jika belum memiliki sikap kesetiakawanan, kedermawanan serta tanggung jawab yang tinggi terhadap sesama.
3. Aspek SDM (Sumber Daya Manusia)
Maju mundurnya sebuah lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh sumber daya manusia (SDM) yang ada di dalamnya, kualitasnya menjadi taruhan bagi eksistensi lembaga tersebut. Sebaik apapun sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan, tidak menjadi jaminan jika tidak didukung oleh kualitas SDM yang handal, sebaliknya walaupun sarana dan prasarana kurang memadai tapi jika ditopang dengan SDM yang hebat memungkinkan lembaga pendidikan tersebut bisa lebih berkembang pada masa yang akan datang.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam, beberapa hal yang harus dilakukan berkaitan dengan sumber daya manusia diantaranya:
a. Peningkatan kompetensi dan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan, misalnya dengan memperbanyak seminar atau workshop yang berkaitan dengan pembelajaran
b. Peningkatan aspek manajerial kepala sekolah
c. Penguatan (reinforcement) sistem kontrol, seperti supervisi dari pengawas atau kepala madrasah secara kontinyu.
d. Untuk meningkatkan wawasan dan etos kerja perlu dipertimbangkan program pertukaran guru antar sekolah, bahkan bila perlu pertukaran guru antar negara.
e. Memperbanyak beasiswa untuk guru, baik dalam negeri maupun luar negeri
D. Ikhtitam
Pendidikan dianggap sebagai pemberi corak hitam-putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan hidup yang wajib hukumnya bagi setiap manusia dan kewajiban tersebut berlangsung seumur hidup (long life education).
Kedudukan tersebut secara tidak langsung telah menempatkan pendidikan sebagai bagian tidak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan manusia. John Dewey dalam “Democracy and Education” berpendapat bahwa pendidikan adalah salah satu kebutuhan hidup (a necessity of life), salah satu fungsi sosial (a social function), sebagai bimbingan (a direction), dan sebagai sarana pertumbuhan (as growth) yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup yang bisa dicapai lewat transmisi, baik dalam bentuk formal, informal maupun non formal.
Walaupun dalam analisa Azyumardi Azra terungkap bahwa eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam dianggap sebagai very late starter ketika dibandingkan dengan lembaga pendidikan Kristen yang memiliki headstart dan merupakan early starter, akan tetapi tetap saja pendidikan Islam sudah memberikan kontribusinya yang luar biasa bagi perkembangan bangsa Indonesia. Analisa Azyumardi tersebut tentu harus dijadikan pemicu bagi perkembangan dan perbaikan mutu pendidikan Islam.
Wallahu’alam.
Daftar Pustaka
Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. Al-tarbiyah al-Islamiyah. (Damaskus: Dar al-Fikr, tth).
Aly, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999).
Assegaf, Abd. Rahman. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011).
Buchori, Mochtar. Pendidikan Antisipatoris, (Jakarta, Yayasan Kanisius, 1987).
Buchori, Mochtar. Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994)
Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemah
Depag RI. Panduan Kurikulum 1994 Madrasah. (Jakarta: Depag RI, 1994).
Depag RI. Sejarah Madrasah, Pertumbuhan, dinamika dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: Depag RI, 2004).
Fajar, A. Malik. Reorientasi Pendidikan Islam. (Jakarta: Fajar Dunia, 1999).
Hidayat, Dudung Rahmat dkk. Pendidikan Agama: Urgensi dan Tantangan. Dalam Ali M, dkk (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bagian III. (Bandung: PT Imtima, 2007).
Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999).
Saridjo Marwan (Penyunting). Mereka Bicara Pendidikan Islam, Sebuah Bunga Rampai. (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2009).
Subijanto. Profesi guru sebagai profesi yang menjanjikan Pasca Undang- Undang guru dan dosen. (Jakarta: Balitbang. Depdiknas. 2006)
Syaltout, Mahmud. Ila al-Qur’an al-Karim. (Cairo: Mathba’ah al-Azhar, 1962).
Tilaar, H.A.R. Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transpormatif untuk Indonesia. (Jakarta: Grasindo, 2002).
Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak dalam Islam. Terjemahan Jamaludin Miri (Jakarta: Pustaka Amani, 2007).
Langganan:
Postingan (Atom)