Senin, 12 September 2011

Hikmah Idul Fitri

Oleh: Ade Zaenudin, S.Ag

Dikisahkan pada zaman Rasulullah SAW ada seorang pemuda yang giat beribadah, rajin sholat, sering puasa dan suka bershodaqoh, dia bernama Alqomah. Suatu ketika dia sakit keras, bahkan sudah dalam keadaan sekarat, namun tidak kunjung meninggal dan tidak bisa mengucapkan “La ilaha illallah”. Para sahabat langsung melaporkan kejadian tersebut pada Rasulullah SAW dan Rasul pun bertanya: Apakah dia masih mempunyai kedua orang tua?, Sahabat menjawab : Ada wahai Rasulullah SAW, dia masih mempunyai seorang ibu yang sudah sangat tua renta.” Rasulullah SAW mengirim utusan untuk memanggilnya. Maka dia pun memakai tongkat dan berjalan mendatangi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda kepadanya : “Wahai ibu Alqomah, jawablah pertanyaanku dengan jujur, bagaimana sebenarnya keadaan putramu Alqomah ? Sang ibu menjawab : Wahai Rasulullah SAW, dia rajin mengerjakan sholat, banyak puasa dan senang bershodaqoh.” Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi : Lalu apa perasaanmu padanya ? Dia menjawab : Saya marah kepadanya Wahai Rasulullah SAW.” Rasulullah SAW bertanya lagi : Kenapa ?.” Dia menjawab : Wahai Rasulullah SAW, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan dia pun durhaka kepadaku.” Maka Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqomah sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.”
Kemudian beliau bersabda : Wahai Bilal , pergilah dan kumpulkan kayu bakar yang banyak.” Si ibu berkata : Wahai Rasulullah SAW, apa yang akan engkau perbuat ?.” Beliau menjawab : Saya akan membakarnya dihadapanmu .” dia menjawab : Wahai Rasulullah SAW , saya tidak tahan kalau engkau membakar anakku dihadapanku. Maka Rasulullah SAW menjawab : Wahai Ibu Alqomah, sesungguhnya adzab Allah lebih pedih dan lebih langgeng, kalau engkau ingin agar Allah SWT mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqomah, demi dzat yang jiwaku berada di Tangan Nya, sholat, puasa dan shodaqohnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,” Maka dia berkata: Wahai Rasulullah SAW, Allah SWT sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini bahwa saya telah ridlo pada anakku Alqomah”. Maka seketika Alqomah pun mengucapkan : La Ilaha Illallah.” Dan kemudian meninggal.
Kisah Alqamah tersebut memberikan pelajaran kepada kita bahwa ridha dan maaf orang tua itu sangatlah penting. Terlebih bagi kita yang hampir setiap hari berbuat salah, khilaf sering membuat mereka jengkel, baik disengaja ataupun tidak. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT mewanti-wanti kepada kita agar menghindari kata-kata yang menyakitkan mereka, bahkan hanya sekedar berkata “ah”.
Untuk orang Muslim, moment saling memaafkan tersebut terasa lebih kental pada saat idul fitri. Setiap Muslim saat itu saling meminta maaf bahkan dengan berbagai cara, ada yang secara langsung sambil berjabat tangan, lewat e-mail, situs jejaring sosial, SMS, Telephon dan lain sebagainya. Beragam kata pun dipilih sesuai selera, ada yang berbentuk pantun, puisi, kata-kata kocak sampai kata-kata yang sangat simpel, dengan satu tujuan saling memaafkan dan saling menyambung tali silaturahim.
Pada saat lebaran, kata minal aidzin wal faidzin menjadi sangat familiar. Ada dua kata kunci (keyword) pada kalimat tersebut, yaitu “aidzin” dan “faidzin”. Kata “aidzin” artinya “kembali” seakar dengan kata “idul” yang ada pada kata “idul fitri” yang berarti kembali kepada fitrah (kesucian), dan kata “faidzin” berarti kemenangan. Dengan demikian kalimat “minal aidzin wal faidzin” berarti “semoga kita kembali (kepada fitrah) dan mudah-mudahan kita meraih kemenangan”, bukan berarti “mohon maaf lahir dan bathin” seperti yang biasa diartikan sebagian orang.
Kegembiraan idul fitri tersebut memang terasa khas dan sangat spesial bagi masyarakat Indonesia, hal tersebut ditandai dengan tradisi “mudik” atau “pulang kampung” yang jarang ditemukan di negara-negara lain. Ini menandakan bahwa tali persaudaraan di Indonesia begitu kental dan tentu ini sangat positif karena silaturahim merupakan ajaran Islam. Nabi bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka sambunglah tali silaturahim”.
Lebaran memang bulan penuh keberkahan dan kenikmatan, bahkan kenikmatannya tidak hanya dirasakan oleh orang Islam saja, orang non Muslim pun banyak yang menyicipi keberkahan bulan tersebut. Sebut saja pengusaha yang berbisnis pakaian, makanan, alat transfortasi tempat-tempat hiburan dan lain sebagainya, mereka mendapatkan keuntungan luar biasa saat itu.
Ada beberapa hikmah yang bisa didapat pada hari raya idul fitri atau lebaran tersebut, diantaranya:
1. To Forgive (sarana memaafkan / meluaskan hati)
Dalam penelitian yang dilakukan Fuad Nashori pada tahun 2005, terungkap bahwa orang yang religius terbukti cenderung mudah memaafkan kesalahan orang lain. Mereka yang sering berdzikir, hatinya menjadi lembut hingga gampang memberi maaf. Seorang peneliti dari Stanford University, Amerika Serikat yang bernama Frederic Luskin pun mengungkap bahwa setelah memaafkan, kehidupan seseorang akan lebih tenang, tidak mudah marah, tidak gampang tersinggung dan lebih mudah membina hubungan baik dengan sesama.
Peristiwa saling memaafkan tersebut tentu tidak cukup hanya di mulut saja, perlu kerendahan hati ketika meminta maaf dan rasa ikhlas ketika memberi maaf, sehingga tidak ada sedikitpun serpihan-serpihan dendam atau benci yang tersisa di dalam hati, bahkan bertekad sekuat tenaga untuk tidak mengundang kembali kealfaan dan kesalahan yang bisa merenggangkan tali silaturahim.
Silaturahim tidak sekedar bersentuhan tangan atau memohon maaf belaka. Ada sesuatu yang lebih hakiki dari itu semua, yaitu aspek mental dan keluasan hati. Hal ini sesuai dengan asal kata dari silaturahim itu sendiri, yaitu shilat atau washl, yang berarti menyambungkan atau menghimpun, dan ar-rahiim yang berarti kasih sayang. Makna “menyambungkan” menunjukkan sebuah proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung. “Menghimpun” biasanya mengandung makna sesuatu yang tercerai-berai dan berantakan, menjadi sesuatu yang bersatu dan utuh kembali. Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda, "Yang disebut bersilaturahim itu bukanlah seseorang yang membalas kunjungan atau pemberian, melainkan bersilaturahim itu ialah menyambungkan apa yang telah putus" (HR. Bukhari).
Kalau orang lain mengunjungi kita dan kita balas mengunjunginya, ini tidak memerlukan kekuatan mental yang tinggi. Boleh jadi kita melakukannya karena merasa malu atau berhutang budi kepada orang tersebut. Namun, bila ada orang yang tidak pernah bersilaturahim kepada kita, lalu dengan sengaja kita mengunjunginya walau harus menempuh jarak yang jauh dan melelahkan, apalagi kalau kita bersilaturahim kepada orang yang membenci kita, seseorang yang sangat menghindari pertemuan dengan kita, lalu kita mengupayakan diri untuk bertemu dengannya, maka
inilah yang silaturahim yang hakiki.
2. To celebrate (Sarana untuk merayakan kemenangan)
Selama satu bulan umat Muslim diperintahkan oleh Allah SWT untuk berpuasa, bahkan Allah SWT pun menjanjikan reward (imbalan) berbentuk kegembiraan tak terhingga bagi yang melaksanakan puasa dengan baik dan benar, yaitu ketika berbuka dan ketika bertemu dengan Allah SWT nanti. Janji Allah SWT tersebut kebenarannya sudah bisa kita rasakan terutama ketika lebaran. Umat Muslim di seluruh dunia bersuka cita merayakan hari kemenangan setelah berusaha bertarung menaklukan nafsu syahwat selama satu bulan tersebut. Berbagai aktivitas diekspresikan umat Muslim untuk merayakan hari kemenangan tersebut, seperti dengan memperbanyak membaca takbir, ada yang karnaval keliling kampung, saling berkirim makanan ke sanak saudara, memakai baju baru, masak makanan spesial, shalat ied, saling berkunjung, saling berbagi bahkan muncul tradisi pulang kampung atau mudik.
Namun demikian, tidak sedikit yang merayakan hari lebaran tersebut dengan aktivitas yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti dengan tawuran, memubadzirkan harta dengan membakar petasan atau kembang api, pacaran dan lain sebagainya, dan yang lebih ironis adalah banyak orang muslim yang tidak berpuasa tapi begitu repotnya mempersiapkan perayaan lebaran, mereka pulang kampung dengan penampilan dan oleh-oleh yang luar biasa, mereka ikut bersuka cita bak pejuang yang pulang dari peperangan dengan membawa kemenangan, padahal sesungguhnya mereka sudah kalah dalam bertarung melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan. Naudzu billah.
3. To Give (Sarana berbagi)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menegaskan bahwa puasa di bulan Ramadhan harus disempurnakan dengan membayar zakat fitrah sampai menjelang shalat idul fitri. Hal tersebut merupakan gambaran bahwa harus ada keseimbangan antara ibadah individual dan ibadah sosial, antara kesalehan individu dan kesalehan sosial. Tidaklah dianggap cukup seorang muslim yang rajin beribadah tanpa memperhatikan kondisi sosial di sekitarnya.
Membayar zakat fitrah merupakan kewajiban setiap orang Islam yang mempunyai kelebihan untuk biaya makan selama satu hari satu malam di hari lebaran. Dengan adanya kewajiban membayar zakat tersebut, maka akan terjalin kasih sayang antara sesama, sehingga kegembiraan di hari lebaran tersebut bisa dirasakan oleh semua lapisan umat termasuk orang-orang fakir dan miskin.
4. To Increase (Sarana peningkatan)
Setelah selesai bulan ramadhan, maka datanglah bulan syawal yang kedatangannya dirayakan dengan hari raya idul fitri. Secara bahasa “syawal” berarti peningkatan. Dengan demikian, bulan syawal merupakan momentum untuk meningkatkan kualitas ibadah seorang Muslim agar lebih baik dari bulan sebelumnya. Tradisi-tradisi keagamaan yang marak dilakukan di bulan Ramadhan seperti tadarrus, shalat sunah, shadaqah dan lain sebagainya harusnya dipertahankan bahkan lebih ditingkatkan pada bulan-bulan selanjutnya, bukan sebaliknya, yang tadinya rajin tadarrus bahkan berkali-kali khatam di bulan Ramadhan, justru bulan selanjutnya tidak pernah membaca Al-Qur’an lagi. Minimal ada waktu khusus yang secara konsisten dan kontinyu digunakan untuk mengkaji Al-Qur’an. Atau yang tadinya jarang shalat tahajud, menjadi rajin shalat tahajud dan lain sebagainya. Dengan demikian, secara persistent Muslim yang telah lulus berpuasa harus senantiasa meningkatkan amal ibadahnya, dan secara konsistent berusaha sekuat tenaga menjaga hawa nafsu serta meninggalkan kemaksiatan yang dibalut dengan kesenangan duniawi. Amin, Allohumma Amiin.