Oleh: Ade Zaenudin
(Ketua KALIMAT)
Literasi
Richard Ken
dalam “Literacy and Language Teaching” mengatakan bahwa
literasi adalah sesuatu
yang kompleks dan bersifat dinamis atau sesuatu yang lebih dari kemampuan
membaca dan menulis dengan penggunaan praktik-praktik situasi sosial, dan
historis, serta kultural dalam menciptakan dan menginterpretasikan makna
melalui teks.
Senada dengan Richard Ken,
Alberta mencoba mendefinisikan literasi sebagai sebuah kemampuan membaca dan
menulis, menambah pengetahuan dan keterampilan, berpikir kritis dalam
memecahkan persoalan, serta kemampuan berkomunikasi secara efektif yang dapat
mengembangkan potensi dan berpartisipasi dalam kehidupan. Sementara itu
Elizabeth Sulzby (1986), Harvey J. Graff (2006) lebih menitikberatkan literasi
pada menulis dan membaca.
World Economic Forum pada tahun 2015 menyepakati enam ruang lingkup literasi, yaitu literasi baca tulis, literasi numerasi, literasi sains, literasi digital, literasi finansial, dan literasi budaya dan kewargaan.
Literasi baca tulis merupakan pondasi literasi sekaligus menjadi kunci dalam mendalami ilmu pengetahuan dan teknologi. Literasi tersebut tidak hanya terkait teks atau kata-kata saja, bahkan juga terkait simbol, angka atau grafik.
Literasi numerasi adalah simbol pengetahuan dan kecakapan untuk menggunakan berbagai macam angka dan simbol terkait matematika dasar dalam rangka memecahkan masalah praktis di berbagai macam segi kehidupan serta kecakapan menganalisis informasi yang ditampilkan dalam berbagai bentuk, baik itu grafik, tabel, bagan, dan lain sebagainya.
Literasi sains merupakan kecakapan ilmiah untuk mampu mengidentifikasi pertanyaan, memperoleh pengetahuan baru, menjelaskan fenomena ilmiah, serta mengambil kesimpulan berdasarkan fakta, memahami karakteristik, sains, kesadaran bagaimana sains dan teknologi membentuk lingkungan alam, intelektual, dan budaya, serta kemauan untuk terlibat dan peduli terhadap isu-isu terkait sains.
Literasi finansial adalah pengetahuan dan kecakapan untuk mengaplikasikan pemahaman tentang konsep dan risiko, keterampilan agar dapat membuat keputusan yang efektif dalam konteks finansial.
Literasi digital diartikan sebagai kemampuan untuk mengakses, merangkai, memahami, dan menyebarluaskan informasi dalam bentuk digital.
Literasi budaya adalah kemampuan memahami dan bersikap terhadap kebudayaan Indonesia sebagai identitas bangsa. Adapun literasi kewargaan adalah kemampuan memahami hak dan kewajiban sebagai warga negara.
Berbagai
penelitian menyebutkan bawah tingkat literasi di Indonesia masih sangat rendah,
lihat saja misalnya data Kemendikbud tahun 2015 yang menunjukan angka buta
huruf di Indonesia mencapai 5.984.075 orang. Ini tersebar di enam provinsi
meliputi JawaTimur 1.258.184 orang, Jawa Tengah 943.683 orang, Jawa Barat
604.683 orang, Papua 584.441 orang, Sulawesi Selatan 375.221 orang, dan Nusa
Tenggara Barat 315.258 orang. Hal ini tentu menjadi warning yang
luar biasa di tengah era disrupsi dan globalisasi yang tidak akan pernah bias
terbendung.
Disrupsi
Era disrupsi dipahami sebagai era
di mana masyarakat mampu menggeser aktivitasnya dari dunia nyata ke dunia maya.
Saat ini kita bias merasakan
betapa pergeseran tersebut masuk pada setiap aktivitas dan dirasakan oleh semua
kalangan, apapun profesinya. Kehadiran Ojek Online sampai munculnya
berbagai aplikasi elektronik berbasis digital di setiap lembaga pemerintah dan
swasta menjadi penanda betapa masifnya pergeseran tersebut.
Dunia literasi termasuk yang
tidak bias mengelak dari era ini. Serba cepat dan instannya informasi dan
teknologi mendorong dunia literasi untuk lebih adaptif baik dalamhalmetodologi
maupun substansinya.
Dalam kontek substansi, misalnya
dulu orang harus bersusah payah mencari materi referensi untuk membuat karya
ilmiah, saat ini hanya dengan satu “klik” saja, tanpa berhitung menit sudah
dapat diakses.
Begitu pula dalam kontek
metodologi pengembangan budaya berliterasi, dengan maraknya media social
misalnya, orang menjadi begitu mudah belajar meningkatkan kemampuan
berliterasi. Berbagai macam kursus ditawarkan, begitu mudah dan murahnya
sehingga siapapun mempunyai kesempatan yang terbuka untuk belajar.
KALIMAT
Salah satu contoh orang-orang
yang “berjihad” di dunia literasi dan terjerumus di era disrupsi adalah para
anggota KALIMAT (Komunitas Penulis untuk Indonesia Bermartabat).
Komunitas ini didirikan pada hari
senin tanggal 11 Maret 2019 oleh para alumni kursus menulis online “Alineaku”
pada kelas antologi batch 2 di bawah bimbingan Bapak Cahyadi Takariawan dan Ibu
Ida Nurlaila.
Anggota KALIMAT ini tersebar di
setiap wilayah nusantara yang otomatis mempunyai keragaman budaya, pendidikan,
profesi bahkan usia namun disatukan dengan visi yang sama yaitu ikut
berpartisipasi membangun negeri melalui dunia literasi.
Dalam rangka menyemai budaya
literasi, KALIMAT menggulirkan beberapa program diantaranya penerbitan buku
antologi, solo, jurnal serta berupaya “mendigitalisasikan” produk-produk
literasi.
Salah satu tantangan dunia
literasi saat ini adalah masih sangat minimnya minat dan budaya baca
masyarakat, hal ini tentu harus menjadi agenda bersama, setidaknya mengajak
generasi kita masing-masing untuk masuk dan mencintai dunia literasi.
Wallohu’alam
Daftar Referensi:
Kern, Richard. 2000. Literacy and
Language Teaching. Oxford: Oxford University Press.
https://www.dosenpendidikan.co.id
https://www.kompasiana.com
https://tirto.id