Kamis, 03 Maret 2011

FILSAFAT DAN PERKEMBANGAN METODOLOGI PEMBELAJARAN

Oleh: Ade Zaenudin

Tinjauan Filosofis tentang Potensi Manusia

Benyamin S. Bloom (1956) dalam teori taksonominya merinci tiga potensi dasar yang dimiliki manusia, yaitu: aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.[1] Abuddin Nata berpendapat bahwa ketiga potensi manusia tersebut sesungguhnya tersirat pada Q.S. An-Nahl ayat 78 yang berbunyi:

Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.

Kata as-sama’ yang berarti pendengaran merupakan potensi psikomotorik yang dimiliki manusia karena berkaitan dengan panca indra. Kata al-bashar yang biasa diartikan penglihatan sering diasosiasikan dengan pandangan atau pemahaman sehingga kata al-bashar tersebut merupakan potensi kognitif sementara kata af’idah diartikan hati yang merupakan potensi afektif manusia.[2]

Sigmun Freud (1856-1939) mengatakan bahwa pribadi manusia tersusun dari tiga sistem pokok, yaitu id (dorongan jasmaniah), ego (dorongan untuk berpikir), dan super ego (dorongan untuk mencapai hal-hal yang memiliki nilai-nilai moral).[3] Ibnu Maskawaih merinci tiga unsur jiwa manusia, yaitu terdiri dari akal, ghadab, dan syahwat.[4] Sementara itu, tokoh falsafah pendidikan Islam Al-Syaibani menyebut tiga dimensi manusia yang dianalogikan dengan “segi tiga sama sisi”, yaitu: badan, akal dan ruh,[5] atau dalam bahasa Abuddin Nata terdiri dari jasmani, akal, dan jiwa,[6] dan secara lebih sederhana Hery Noer Aly mengklasifikasikan wujud manusia tersebut menjadi unsur jasmani dan rohani.[7]

Dalam hal kecerdasan pun, manusia ternyata memiliki banyak aspek. Howard Gardner (1983) misalnya dalam teori Multiple Intelegent-nya, menyebut delapan jenis kecerdasan manusia, yaitu: Kecerdasan Spasial-Visual, Linguistik-Verbal, Interpersonal, Musikal-Ritmik, Naturalis, Badan-Kinestetik, Intrapersonal, dan Logis-Matematis yang disingkat SLIM n Bil.[8]

Beragamnya klasifikasi unsur dan potensi yang dimiliki manusia selain memberikan gambaran bahwa manusia merupakan makhluk yang spesial dan berbeda dengan makhluk ciptaan Allah SWT yang lain, juga memberikan isyarat bahwa secara filosofis manusia memiliki multi potensi yang kesemuanya harus dikembangkan, tentu melalui pendidikan atau lebih khususnya pembelajaran. Pengembangan seluruh potensi dinamis manusia tersebut tentu bukan hal yang sederhana sehingga untuk memaksimalkannya diperlukan beragam strategi atau metodologi pendidikan atau pembelajaran.

Tinjauan Filosofis tentang Pendidikan

Dalam perspektif filsafat, ada baiknya dianalisis pandangan beberapa aliran atau madzhab filsafat yang lazim dirujuk dalam dunia pendidikan, diantaranya:

a. Esensialisme

Aliran filsafat yang dipelopori William Bagley (1847-1946) ini didasarkan pada filsafat konservatif yang memandang bahwa sekolah itu tidak dapat mengubah masyarakat secara radikal. Sekolah seharusnya mengajarkan nilai-nilai moral tradisional dan pengetahuan agar siswa kelak menjadi warga negara yang teladan.[9] Dengan demikian, menurut aliran ini pendidikan harus mengajarkan sikap-sikap keteladanan, rasa hormat, ketabahan, ketaatan dalam menjalankan kewajiban, tenggang rasa, dan hendaknya menekankan pemahaman dunia lewat eksperimen saintifik dibanding melalui filsafat atau agama. Untuk itu, menurut mereka siswa pada tingkat dasar harus menguasai literasi dan komputasi dengan diajarkan menulis, membaca, berhitung, dan komputer agar memiliki literasi kultural yang memadai yakni memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan orang, kejadian, gagasan, dan institusi publik. Dan pada tingkat lanjutan siswa harus diajarkan pelajaran yang bisa memenuhi kebutuhannya secara personal dan sosial seperti sains, matematika, dan bahasa asing.

b. Perrenialisme

Aliran ini mengikuti paham realisme yang sejalan dengan Aritoteles bahwa manusia itu rasional, sekolah adalah lembaga yang didesain untuk menumbuhkan kecerdasan, dan siswa seyogiyannya diajari gagasan besar agar mencintainya, sehingga mereka menjadi intelektual sejati. Seperti halnya eksistesialisme, aliran ini pun kurang fleksibel dalam mengembangkan kurikulum. Karena perrenialis memandang bahwa secara esensial manusia adalah makhluk rasional, maka tidak tepat menggiring dan mencocok hidung siswa agar menguasai keterampilan vokasional karena akan berpotensi mengganggu perkembangan rasionalnya. Berbeda dari esensialis, eksperimen saintifik dianggap mengurangi pentingnya kapasitas manusia untuk berpikir, dan dengan demikian pelajaran filsafat menjadi penting agar siswa mampu berpikir mendalam, analitik, fleksibel, dan penuh imajinatif.[10]

Pendidikan menurut aliran ini mesti membangun sejumlah mata pelajaran yang umum bukan spesialis, liberal bukan vokasional, yang humanistik bukan teknikal sehingga pendidikan akan memenuhi fungsi humanistiknya yakni pembelajaran secara umum yang mesti dimiliki oleh manusia.

c. Progresivisme

Aliran yang lengket dengan nama besar John Dewey (1859-1952) ini menghormati perorangan, sains, dan menerima perubahan sesuai dengan perkembangan. Aliran ini menstimulasi sekolah untuk mengembangkan kurikulum sehingga lebih relevan dengan kebutuhan dan minat siswa sesuai dengan filsafat Dewey bahwa dunia fisik itu real dan perubahan itu bukan sesuatu yang tak dapat direncanakan. Buatnya perubahan dapat diarahkan oleh kepandaian manusia.[11]

Dalam hal pembelajaran Dewey mengatakan:

We may, I think, discover certain common principles amid the variety of progressive schools now existing. To imposition from above is opposed expression and cultivation of individuality; to external discipline is opposed free activity; to learning from text and teachers, learning throught experience; to acquisition of them as means of attaining ends which make direct vital appeal; to preparation for a more or less remote future is opposed making the most of the opportunities of present life; to statistics and materials is opposed acquaintance with a changing world.[12]

Untuk itu, pendidik yang menganut aliran ini sangat menentang praktik sekolah tradisional, khususnya dalam lima hal, yaitu: pertama, guru yang otoriter, kedua terlampau mengandalkan metode berbasis buku teks , ketiga pembelajaran pasif dengan mengingat fakta, keempat filsafat empat tembok yakni terisolasinya pendidikan dari kehidupan nyata, kelima penggunaan rasa takut atau hukuman badan sebagai alat menanamkan disiplin bagi siswa.

d. Eksistensialisme

Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme yang para tokohnya antara lain Kierkegaard (1813-1815), Nietzsche (1811-1900) yang inti dari ajaran filsafat ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Bagi mereka eksistensi mendahului esensi, artinya manusia lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi masing-masing.[13]

Bagi aliran ini, guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan memberikan berbagai metode yang bisa dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar maka kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya berorientasi kognitif tapi juga harus berorintasi afektif dan psikomotorik. Dengan demikian, pembelajaran menurut aliran ini harus fleksibel dan harus menyajikan sejumlah pilihan pelajaran yang bisa dipilih oleh siswa.

e. Rekonstruksi

Aliran rekonstruksi memiliki akar-akar filsafat eksistensialisme, namun terutama berlandaskan pada pemikiran aliran progresif. Persamaan antara dua aliran filsafat ini adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat relatif dan semua manusia mengelola dunia ini untuk memahaminya dan mengubahnya. Bila aliran perrenialis menekankan penyampaian pengetahuan mengenai kultur yang ada dan mapan, dan aliran progresif menekankan pentingnya evaluasi terhadap kultur yang ada tersebut, maka aliran rekonstruksi menginginkan transformasi kultur yang ada itu berdasarkan analisis terhadap ketidakadilan dan kesalahan-kesalahan mendasar dalam praktik-praktik pendidikan. Bila tujuan pendidikan untuk menyiapkan anak didik sebagai pengubah dunia, maka sekolah harus membekali siswa dengan alat untuk melakukan perubahan, yakni demi transformasi dunia lewat rekonstruksi sosial. Tokoh-tokoh besar aliran ini antara lain George Counts, Theodore Brameld, Ivan Illich, dan Paulo Freire.[14]

Perkembangan Metodologi Pembelajaran

Dalam bahasa Arab, metode diungkapkan dalam berbagai kata, terkadang digunakan kata al-thariqah yang berarti jalan, manhaj yang berarti sistem, dan al-wasilah yang diartikan perantara atau mediator.[15] Mohammad Athiyah al - Abrasyi mendefinisikan metode pembelajaran sebagai jalan untuk memberi faham kepada murid tentang segala macam pelajaran, sementara Edgar Bruce Wesley mendefinisikannya sebagai rentetan kegiatan terarah bagi guru yang menyebabkan timbulnya proses belajar pada murid, sehingga menghasilkan proses belajar yang sempurna dan berkesan.[16] Dengan demikian, fungsi metode pembelajaran adalah sebagai strategi untuk mempermudah proses transformasi dan internalisasi materi ajar yang disampaikan guru kepada muridnya.

Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan bahwa dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW terdapat banyak metode pendidikan yang bisa diaplikasikan dalam pembelajaran, misalnya: metode hiwar, kisah, amtsal, teladan, pembiasaan, ibrah dan mauidhah, serta targhib dan tarhib.[17] Seperti firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nahl ayat 125 sebagai berikut:

Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”.

Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, metodologi pembelajaran pun mengalami perkembangan yang begitu pesat, beberapa tokoh pendidikan banyak yang menganalisa dan melahirkan berbagai macam metodologi pembelajaran. Bobbi DePorter misalnya yang melalui penganalisaan mendalamnya di Super Camp, (sebuah lembaga pendidikan intrenasional yang menekankan perkembangan keterampilan akademis dan keterampilan pribadi) menemukan metode Quantum Teaching yang menginspirasi guru-guru di berbagai negara,[18] atau Richard Suchman yang mengembangkan model Inquiry, Albert Bandura yang dengan Social Learning Theory-nya kemudian melahirkan model observational learning atau modeling. Model Problem Based Instruktion (PBI) yang diinspirasi oleh teori cognitivism-nya Bruner dan teori construktivism-nya Piaget, Cooperative learning yang diinspirasi dari teori social cognition-nya Vogotsky, Student Team Achievment Devision (STAD), Teams-Games-Tournament (TGT) dan Jigsaw-nya Slavin, Numbered Heads Together (NHT)-nya Kagan, Learning Together-nya David and Roger Johnson, Group Investigation-nya Sharan, atau Think-Pair-Share-nya Frank Lyman.[19]

Dalam sistem pendidikan Islam pun perkembangan metodologi tidak kalah berkembang, hal ini bisa dilihat diantaranya dengan munculnya metode Iqra yang dikembangkan As’ad Umam dalam pelajaran baca al-Qur’an, Metode Amtsilati yang ditemukan H. Taufiqul Hakim di Jepara atau yang terbaru yaitu metode tamyiz untuk mempermudah membaca dan memahami kitab kuning.

Perkembangan metode tersebut sesungguhnya sangat relevan dengan paradigma baru pendidikan yang awalnya berpusat pada guru (teacher centris) ke arah student centris atau kolaborasi antara teacher and student centris.

Hubungan Filsafat dengan Perkembangan Metodologi Pembelajaran

Perubahan paradigma pendidikan ke arah student centris atau kolaborasi antara teacher and student centris sesungguhnya dilandasi atas kesadaran bahwa guru dan siswa adalah sama-sama sebagai makhluk Tuhan yang dibekali multi potensi, bahkan perkembangan teknologi informasi yang semakin tidak terkendali tidak menafikan siswa untuk memiliki informasi melebihi pengetahuan yang dimiliki oleh gurunya.

Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa beragamnya potensi yang dimiliki manusia tersebut memerlukan pengembangan, tentu melalui pendidikan atau pengajaran, dan untuk mencapai target pengembangan yang maksimal diperlukan strategi atau metode yang tepat dan akurat sesuai dengan potensi dasar siswa yang akan dikembangkannya serta target yang ingin dicapainya. Metode diskusi atau presentasi misalnya, sangat cocok untuk mengembangkan aspek kognitif atau daya nalar dan analisis siswa, sementara metode demonstrasi tentu sangat cocok untuk mengembangkan aspek psikomotornya.

Manusia sebagai makhluk yang diberikan kelebihan potensi dibanding dengan makhluk yang lain, tentu bukan berarti tidak memiliki kekurangan. Secara filosofis potensi-potensi tersebut sesungguhnya memiliki keterbatasan, implikasinya adalah pemberdayaan setiap potensi diri manusia dalam pembelajaran belum tentu mencapai target yang maksimal, seperti yang pernah diteliti oleh Dr. Venon Magnesen, seorang peneliti dari Texas University, dia mengatakan bahwa dengan metode pembelajaran yang memberdayakan penglihatan, pengucapan dan pengalaman siswa, materi pembelajaran bisa dikuasai sampai 90%. Metode seperti itu tentu lebih baik dari metode yang hanya sekedar mengandalkan, pendengaran saja, atau penglihatan saja, atau pengucapan saja.[20] Untuk itu, pengembangan metode pembelajaran diharapkan bisa memaksimalkan seluruh potensi yang ada pada diri siswa sehingga pencapaian target pembelajaran pun bisa dimaksimalkan pula.

Lahirnya paradigma baru pendidikan kearah student centris atau kolaborasi teacher and student centris seperti diungkap sebelumnya juga merupakan upaya optimalisasi potensi dasar yang dimiliki oleh siswa. Hal tersebut sejalan dengan pendapatnya William Burton yang mengatakan “teaching is the guidance of learning activities, teaching is for purpose of aiding the pupil learn,”[21] yang intinya bahwa mengajar adalah membimbing kegiatan belajar siswa sehingga ia mau belajar. Dengan menjadikan siswa sebagai subjek (bukan hanya objek), maka aktivitas dan kreatifitas siswa menjadi penting dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran, hal ini pun sejalan dengan rekomendasi UNESCO dengan The Fuor Pillars of Educationnya atau empat pilar pendidikan, yaitu: learning to know, learning to do, learning to life together dan learning to be.[22]

Dalam aplikasinya, learning to know menuntut metode pembelajaran yang berbasis teknologi informasi, learning to do bukan hanya sekedar mengembangkan kemampuan atau keterampilan fisik, tetapi harus dibarengi pula dengan kemampuan menjalin hubungan interpersonal sehingga membutuhkan metode pembelajaran yang mampu mengembangkan kecerdasan emosional (emotional intelligence) peserta didik, learning together menuntut metode pembelajaran yang menumbuhkan sikap empati siswa dalam menghadapi keragaman, dan learning to be memerlukan strategi atau metode pembelajaran yang menumbuhkan integritas kepribadian dan kearifan siswa dalam mensikapi kondisi lingkungannya.

Dengan demikian, untuk mengakomodasi pengembangan seluruh potensi dasar yang dimiliki manusia tersebut diperlukan metode-metode pembelajaran yang variatif dan disesuaikan dengan potensi yang dimiliki manusia itu sendiri. Inilah yang mendasari perkembangan metodologi pembelajaran.

Wallahu’alam.



[1] Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. (Jakarta: Kencana, 2009) h. 47. Benyamin S. Bloom merinci secara lebih spesifik ketiga ranah tersebut. Secara hierarkis ranah kognitif (berfikir) terdiri dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ranah afektif (penghayatan) terdiri dari penerimaan, partisifasi, penilaian dan penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup. Ranah psikomotor (keterampilan) terdiri dari persepsi, kesiapan, gerak terbimbing, gerak yang terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas.

[2] Dalam Tafsir al-Maraghy yang dikutip oleh Abuddin Nata, Perspektif Islam…. H. 51

[3] Abuddin Nata, Perspektif Islam … h. 65

[4] Disampaikan oleh Abuddin Nata dalam perkuliahan mata kuliah Filsafat dan Metode Pendidikan Islam di Program Pascasarjana UMJ tanggal 25 Oktober 2010.

[5] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani. Falsafah Pendidikan Islam. Terjemahan Hasan Langgulung. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), cet. 1. h. 130.

[6] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Gaya Media Utama, 2005),h. 146.

[7] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos, 1999). h, 118.

[8] Bobbi DePorter, dkk. Quantum Teaching, Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. (Terj) Ary Nilandri. (Bandung: Kaifa, 2002), h. 96

[9] Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2008), h. 102

[10] Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa … h. 103

[11] Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa … h. 103

[12] Dikutip dalam Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa … h. 106

[13] Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa … h. 106

[14] Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa … h. 106

[15] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam…h. 144.

[16] al-Syaibani. Falsafah Pendidikan Islam. … h. 551 dan 552.

[17] Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah. (Beirut: Darul Fikr: 1999) h. 205

[18] Bobbi DePorter, dkk. Quantum Teaching, …(Bandung: Kaifa, 2002)

[19] Nn, Model-model Pembelajaran, Balai Diklat Keagamaan Jakarta

[20] Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, (Bandung: Kaifa, 2009), hal 137

[21] Abdul Haris, Model Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, efektif, dan Menyenangkan. Materi PLPG. FITK UIN Jakarta hal. 23

[22] Muslikah, Sukses Profesi Guru dengan Penelitian Tindakan Kelas. (Yogyakarta: Interprebook, 2010), h. 11

Referensi

An-Nahlawi, Abdurrahman. Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah. (Beirut: Darul Fikr: 1999).

Al-Syaibani, Omar Mohammad al-Toumy. Falsafah Pendidikan Islam. Terjemahan Hasan Langgulung. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), cet. 1.

Alwasilah, Chaedar. Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008).

Aly, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos, 1999).

Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia, (Bandung: Kaifa, 2009)

DePorter, Bobbi dkk. Quantum Teaching, Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. (Terj) Ary Nilandri. (Bandung: Kaifa, 2002).

Haris, Abdul. Model Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, efektif, dan Menyenangkan. Materi PLPG. FITK UIN Jakarta.

Muslikah, Sukses Profesi Guru dengan Penelitian Tindakan Kelas. (Yogyakarta: Interprebook, 2010).

Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Gaya Media Utama, 2005).

Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. (Jakarta: Kencana, 2009)

Nn, Model-model Pembelajaran, Balai Diklat Keagamaan Jakarta


CORAK PEMIKIRAN KAUM MUDA NU KONTEMPORER

Oleh: Ade Zaenudin
Rata Penuh
A. Pendahuluan
Pada dekade 1990-an cendekiawan muslim Nurcholish Madjid (Cak Nur) pernah memberikan prediksinya tentang perkembangan intelektual generasi muda Nahdlatul Ulama, dia mengatakan bahwa akan terjadi musim panen (harvesting season) dalam kurun waktu 25 tahun lagi. Seperti diketahui bahwa sebelum tahun 1980-an, NU sering dianggap sebagai organisasi Islam yang anti pembaharuan, reaktif terhadap modernisasi dan bahkan dicap sebagai organisasi yang kolot. Namun pada masa berikutnya, khususnya ketika KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) memimpin organisasi ini perkembanganpun semakin pesat, salah satu indikatornya adalah bermunculannya tokoh-tokoh muda progresif seperti yang diprediksikan Cak Nur sebelumnya.
Laode Ida menggolongkan generasi muda Nahdliyin yang progresif tersebut menjadi 3 tipe. Pertama, tipe progresif-transformis, yakni kaum muda Nahdliyin yang secara internal mengupayakan penyadaran terhadap subyek (utamanya masa akar rumput). Mereka berharap agar subyek tersebut merubah dirinya sendiri serta melakukan perubahan dalam komunitas yang lebih luas. Kelompok ini ingin melakukan pencerahan agar akar rumput NU tidak terjebak dalam persoalan politik pragmatis sehingga NU bisa mentransformasikan programnya dalam berbagai hal di berbagai wilayah kehidupan. Kelompok generasi muda seperti ini misalnya aktivis P3M, Lakpesdam dan LP3ES. Kedua, tipe progresif-radikalis, yakni kelompok yang memperjuangkan kesetaraan (egalitarian) dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia. Kelompok ini sering dicap sebagai gerakan kiri NU. Generasi muda yang masuk kategori ini misalnya aktivis LkiS. Ketiga, tipe progresif-moderat, yakni generasi muda yang memiliki ide-ide perubahan tetapi tidak memiliki ideologi yang jelas dan konsisten. Generasi muda yang masuk pada tipe ini lebih memilih di tengah-tengah arus yang ada dan tidak berani mengusung sebuah bendera.
Pengklasifikasian kaum muda NU progresif yang dikemukakan Laode Ida tersebut mempunyai motif yang berbeda, tipe yang pertama (progresif-transformis) lebih didorong oleh kejenuhan sosial yang terjadi pada masyarakat Nahdliyin dan kemudian ditangkap dan dirasakan kaum muda NU, sementara tipe kedua dan ketiga (progresif-radikalis dan progresif moderat) muncul atas dasar kejenuhan idiologis yang terjadi pada Nahdliyin. Oleh sebab itu, masih ada peluang untuk merekonstruksi pengklasifikasian kaum muda NU yang diungkapkan oleh Laode Ida tersebut.
Tradisi intelektual generasi muda Nahdliyin tersebut tidak lagi hanya berkutat pada tradisi Islam klasik, tapi sudah merambah pada pemikiran-pemikiran sekuler dan kontemporer seperti filsafat, sosiologi, antropologi, politik, ekonomi dan bahkan teknologi. Referensi yang menjadi bacaan merekapun sudah bukan hanya kitab kuning saja, tetapi sudah memakai referensi atau tulisan-tulisan pemikir kontemporer seperti Mohammed Arqoun, Nasr Hamid Abu Zayd, Abid al-Jabiri, Hasan Hanafi, Fatimah Mernisse, Karl Marx dan lain sebagainya. Kehadiran anak muda NU progresif ini ternyata tidak disambut gembira oleh sebagian kiai sepuh yang menempatkan dirinya sebagai penjaga dan penerus tradisi Nahdliyin, mereka dianggap akan mengancam khazanah dan eksistensi NU.
Untuk menelaah persoalan tersebut perlu kiranya mengkaji Mukaddimah Qonun Asasi yang ditulis Hadratusyekh Hasyim Asy’ari. Dia mengatakan bahwa NU adalah organisasi yang berdiri di atas landasan keadilan dan kebenaran, memperjuangkan kebaikan dan kesejahteraan bagi seluruh umat. Jam’iyyah NU menganut Ahlussunah Waljama’ah yakni para ulama tafsir Qur’an, Sunnah Rasul dan ulama fiqih yang tunduk pada tradisi Rasul dan Khulafaur Rasyidin. Syekh Hayim Asy’ari selanjutnya mengatakan bahwa di antara ulama Ahlussunah Waljama’ah adalah para Imam Madzhab Empat (Hanafi, Maliki, Hambali dan Syafi’i) yang harus diikuti. Penegasan tradisi intelektual di kalangan ulama Nahdliyin ini termaktub pada kaidah al-muhafazah ala al-qadim al-salih wa al-akzu bi al-jadiid al-ashlah (memelihara tradisi lama yang baik dan mengambil sesuatu yang baru yang lebih baik). Yang menjadi persoalan kemudian adalah apakah kaidah dan Qonun Asasi yang digariskan oleh para pendiri NU tersebut masih mengakomodasi corak pemikiran kaum muda NU yang sedemikian progresif atau justru malah sebaliknya sudah jauh berbeda dan keluar dari garis batas kaidah yang semestinya.

B. Akar Pemikiran Kaum Muda NU Kontemporer
Ruang-ruang kebebasan berpikir yang semakin menjamur di kalangan kaum muda NU tersebut melahirkan transformasi budaya intelektual yang semakin dinamis, kita bisa melihat Post-Tradisional Islam gagasan Ahmad Baso, Islam Liberal yang ditokohi Ulil Abshar Abdala, Islam Kirinya anak-anak PMII dan lain sebagainya. Pergulatan pemikiran semacam ini sesungguhnya telah berakar lama dan tumbuh secara diam-diam di kalangan “kiai-kiai nyentrik” yang selalu ada pada setiap generasi NU , namun baru terlihat nyata pada era Gus Dur yang kehadirannya menjadi peletak pilar-pilar rasionalisme sekaligus pengayom gerakan pemikiran dan gerakan kerakyatan sejak akhir 70-an.
Geliat perkembangan kaum muda NU ini didasari oleh beberapa faktor, pertama akses pendidikan yang semakin tinggi. Semakin tingginya persentuhan mereka dengan pendidikan maka semakin tinggi pula khazanah keilmuan yang mereka miliki. Kedua, kekayaan tradisi intelektual yang dimiliki Nahdlatul Ulama begitu besar. Pesantren misalnya, meskipun seringkali mendapat kritik baik dari segi kultur, sistem pengajaran ataupun sebagainya, tapi harus diakui lembaga ini mempunyai andil besar dalam konservasi keilmuan Islam dan ini tentunya membantu menyuburkan khazanah intelektual kamu muda NU. Ketiga, kondisi politik di zaman orde baru yang cenderung otoritarian. Hal ini menjadi cambuk bagi kaum muda NU untuk bangkit. Keempat, pengaruh Gus Dur yang pada Muktamar NU ke-27 di Situbondo pada tahun 1984 terpilih sebagai ketua NU.
Muktamar tersebut menjadi sangat spesial dengan adanya perubahan yang sangat fundamental di tubuh NU, yaitu diputuskannya untuk ‘kembali ke khittah 1926’ dan menyatakan diri keluar dari politik praktis dan kembali menjadi ‘jam’iyah diniyyah’, bukan lagi sebagai wadah politik. Konsekuensinya maka para kiai NU secara personal bebas berafiliasi dengan partai politik manapun, termasuk Golkar sebagai penguasa Orde Baru.
Selama kepemimpinannya, Gus Dur mengubah citra dan perjalanan NU dari organisasi Islam yang “kolot” dan “terbelakang” menjadi organisasi Islam yang dinamis. Di tangan dia pula NU kemudian dikenal di kancah internasional, bahkan pada masa dia ruang-ruang kebebasan berpikir menjadi semakin lebar dan hal ini berimplikasi terhadap munculnya tokoh-tokoh muda NU yang progresif.
Dalam pandangan Luthfi Assyaukanie, fase kepemimpinan NU di tangan Gus Dur ini bahkan disebut sebagai fase keemasan. Pada masanya, Gus Dur menjadi ikon intelektualisme Indonesia sekaligus sebagai aktivis HAM, pembela demokrasi dan pejuang kebebasan. Hal ini bukan saja didukung oleh posisi strategisnya di NU melainkan juga karena percikan-percikan pemikirannya yang progresif tentang Islam, pluralisme dan demokrasi. Douglas E Ramage, Greg Barton, Adam Schwarz, Mitsuo Nakamura dan Einar M. Sitompul secara umum tidak menafikan Gus Dur sebagai intelektual Indonesia yang berpengaruh dalam diskursus pemikiran Islam kontemporer dengan corak pemikiran Islam yang kritis dan progresif .
Ikon intelektual Indonesia ini didukung juga dengan produktivitasnya yang begitu tinggi dalam menghasilkan karya tulis, bahkan dalam satu studi bibliografis yang dilakukan Marzuki Wahid terungkap 493 buah tulisan Gus Dur sejak awal 1970-an hingga awal tahun 2000, dan total tulisan sampai akhir hayatnya (2009) sudah lebih dari 600 buah tulisan.
Gus Dur adalah seorang intelektual independen dari tradisi akademik pesantren, sehingga tulisan-tulisannya cenderung bersifat reflektif, membumi, terkait dengan dunia penghayatan realitas, bahkan senantiasa bermotifkan transformatif. Begitu banyaknya tulisan yang dihasilkan tersebut membuktikan intelektualisme Gus Dur yang kaya dengan gagasan dan pemikiran yang kreatif-transformatif dan inovatif. Tulisan-tulisan tersebut juga bisa dikatakan sebagai bukti bahwa gerakan atau aksi Gus Dur tidak hampa teori atau tidak visioner.
Corak pemikiran dan gerakan Gus Dur yang sedemikian progresif ini tidak terlepas dari sisi kultural yang pernah dilaluinya, paling tidak ada tiga lapisan kultur yang membentuk sosok Gus Dur: pertama, kultur pesantren yang cenderung bersifat hierarkis, penuh dengan etika formalistik dan apreciate terhadap budaya lokal; kedua, budaya timur tengah yang terbuka dan keras; ketiga, budaya barat yang liberal, rasional dan sekuler. Ketiga lapisan kultur tersebut terinternalisasi dalam pribadi Gus Dur dan saling bersinergi sehingga tidak terlihat dominasi satu kultur dalam dirinya, dan menjadikan dirinya sebagai tokoh yang unik bahkan kontroversial. Lepas dari makna-makna kontroversial yang berkembang, Gus Dur dikenal sebagai tokoh yang memiliki banyak status. Selain populer sebagai intelektual kritis, dia juga dikenal sebagai budayawan pluralis, agamawan inklusif dan politisi independen. Dalam pandangan Abdul Moqsith Ghazali, posisi Gus Dur ini tegak di atas dua kekuatan, yaitu kapasitas intelektualnya yang mumpuni dan basis kulturalnya yang begitu kuat.
Kran kebebasan berfikir yang dibuka Gus Dur ini berimplikasi pada menggeliatnya pemikir atau tokoh muda NU yang berpikiran maju dan progresif. Eksistensi beberapa lembaga yang memperjuangkan pluralisme yang ditokohi beberapa kaum muda tersebut menjadi bukti bahwa Gus Dur menjadi virus intelektual terhadap anak muda Nahdliyin, dalam hal ini kita bisa melihat LKiS di Yogyakarta, LAPAR di Makasar, LK3 di Banjarmasin, YPKM di NTB, eLSA di Semarang, JIL dan The Wahid Institute di Jakarta, serta masih banyak yang lain.
Abdul Moqsith Ghazali mengisyaratkan pentingnya pelembagaan (institusionalisasi) gagasan-gagasan Gus Dur tersebut seperti yang dilakukan anak muda Nahdliyin, paling tidak ada dua keuntungan yang akan diperoleh NU sebagai organisasi masa terbesar di Indonesia, pertama gerakan pluralisme, HAM dan demokrasi akan berjalan lebih sistematis dan terstruktur, dan sekiranya anak-anak ideologis Gus Dur ini suatu saat memegang kendali Nahdlatul Ulama, maka NU akan menjadi lembaga raksasa yang mengefektifkan gerakan civil society. Kedua, melalui pelembagaan ini, kaderisasi bisa bergulir dengan lebih baik dan teratur, penguatan kapasitas individu anak muda NU bisa dilakukan secara lebih massif dan berjenjang.

C. Dari Tradisionalisme ke Post Tradisionalisme
Deliar Noer mencoba mengkatagorikan organisasi-organisasi Islam ke dalam dua katagori, yaitu organisasi Islam tradisional dan modern. Menurutnya organisasi Islam yang tradisional dikesankan kolot, sulit menerima pembaruan, kurang murni dalam menjalankan agamanya karena dianggap memelihara bid’ah dan khurafat. Kelompok tradisional tersebut menurutnya diwakili oleh Nahdlatul Ulama (NU) yang berdiri tahun 1926 dan Persatuan Tarbiyah Islamiyah (PERTI) yang berdiri tahun 1929. Sedangkan organisasi Islam modern dikesankan responsif terhadap modernitas, mudah menerima pembaharuan dan Islamnya lebih “murni”. Kelompok ini diwakili oleh Sarekat Islam (SI) yang berdiri tahun 1911 dan Muhammadiyah yang lahir tahun 1912. Kategori tersebut sampai saat ini masih diperdebatkan dan banyak yang menganggap sudah tidak relevan lagi, walau harus diakui sebagai sebuah teori, kategori tersebut mempunyai pengaruh yang luar biasa baik di dunia akademik maupun di masyarakat umum.
Beberapa ciri yang melekat pada kelompok tradisional diantaranya: Pertama, pemikiran-pemikiran ke-Islaman mereka masih terikat kuat dengan ulama-ulama sebelumnya yang hidup antara abad ke 7 hingga 13 Masehi, baik dalam tasawuf, hadits, fiqih, tafsir, maupun teologi. Kedua, pendukung utamanya adalah para kyai dan tokoh-tokoh lokal yang berbasis pesantren. Ketiga, mayoritas pendukungnya tinggal di pedesaan, atau meski tinggal di kota namun social origin-nya adalah pedesaan. Hal ini terjadi salah satunya disebabkan mobilitas “anak muda tradisional” yang semakin baik tingkat pendidikannya dan menjadi kaum urban. Keempat, ciri yang lebih idiologis adalah keterikatan mereka pada faham ahlu sunnah wal jama’ah.
Anak muda NU berbasis pesantren yang masuk ke perguruan tinggi (khususnya IAIN/UIN) lebih memungkinkan untuk melakukan refleksi kritis dan mendiskusikan tradisi keberagamaan yang sebelumnya dianggap tabu, atau kalaupun tidak dianggap tabu, mereka belum memiliki kesadaran kritis atas sejumlah tradisi yang diwarisi secara turun temurun, sehingga ketika di perguruan tinggi mereka memperkaya bahkan membandingkan pengetahuan dan metodologi yang pernah mereka terima dengan pengetahuan dan metodologi yang baru.
Selain perguruan tinggi agama di Indonesia, “anak muda tradisional” tersebut juga banyak yang merambah pendidikan tingginya di luar negeri, ada yang ke Timur Tengah dan bahkan tidak sedikit yang menimba ilmu di Barat seperti halnya “anak muda modernis”. Arus pendidikan anak muda Islam ke Barat tersebut tidak bisa dilepaskan dari kebijakan Departemen Agama RI dengan melakukan kerjasama dengan beberapa perguruan tinggi barat seperti McGill University Canada, Universitas Leiden Belanda, UCLA Columbia, Chicago Harvard di AS, Hanburg Jerman, Monash University, Flinders di Australia dan lain sebagainya yang mulai dirintis oleh H.A. Mukti Ali dan dilanjutkan oleh menteri-menteri agama selanjutnya. Kebijakan tersebut tentu berimplikasi terhadap munculnya transformasi intelektual anak muda Islam, termasuk anak muda NU yang tadinya dicap tradisional menjadi kaum muda yang progresif bahkan tidak sedikit yang mengatakannya liberal.
Uniknya lagi, progresifitas anak muda NU tersebut tidak hanya lahir di Barat. Perguruan tinggi Timur Tengah yang sebelumnya melahirkan intelektual konservatif justru belakangan melahirkan generasi muda progesif juga, anak muda NU yang tergabung dalam Keluarga Mahasiswa Nahdlatul Ulama (KMNU) di mesir misalnya, justru lebih menggandrungi pemikiran liberal Hassan Hanafi atau Al-Jabiri ketimbang pemikiran-pemikiran seperti Sayyid Qutub, Yusuf Qardhawi dan sebagainya. Yang lebih menarik lagi adalah bahwa semangat liberalisme ini mulai menjangkiti dunia pesantren yang berbasis konservatif. Di Pesantren Babakan Ciwaringin misalnya, sekelompok santri senior dan beberapa putra kyai setempat yang pernah nyantri di berbagai tempat membuat “kelompok studi” yang mengkritisi berbagai kitab.
Gerakan intelektualisme NU semakin menampakan gairahnya sejak pertengahan 1980-an dengan munculnya beberapa LSM dalam komunitas anak muda NU yang bukan hanya sekedar melakukan kegiatan pemberdayaan masyarakat tapi juga mengusung gagasan dan pemikiran-pemikiran ke-Islaman yang lebih segar dan progresif. Gairah baru intelektualisme kaum muda NU tersebut menjadi perbincangan hangat, sehingga pada bulan Maret tahun 2000 sebuah LSM yang dikelola anak muda NU bernama ISIS (Institute for Social and Institutional Studies) di Jakarta membahasnya dalam sebuah diskusi, dan pada saat diskusi tersebut muncul pertama kali istilah Post-Tradisionalisme. Gema dari wacana tersebut meluas terutama setelah LKiS menjadikan “Postra” sebagai landasan ideologisnya dalam strategi planning pada bulan Mei 2000 di Kaliurang Yogyakarta. Beberapa bulan kemudian, dua aktivis ISIS, yaitu Muh. Hanif Dhakiri dan Zaini Rahman menerbitkan buku berjudul Post Tradisionalisme Islam, Menyingkap Corak Pemikiran dan Gerakan PMII (Jakarta: Isisindo Mediatama, 2000) dan wacana “postra” tersebut lebih matang dan menjadi wacana publik setelah diterbitkannya bulletin yang bernama “Postra”.
Spirit utama dari komunitas Post-Tradisional tersebut adalah semangat untuk terus menerus mengkritisi kemapanan doktrin dan tradisi, berdasarkan nilai-nilai etis yang mereka peroleh setelah bergumul dengan berbagai tradisi keilmuan, baik melalui kajian, penelitian, maupun penerbitan buku dan jurnal. Berbagai bentuk penafsiran teks suci, tradisi, dan ideologi yang tidak berpihak pada kemanusiaan mereka gugat keabsahannya. Bagi mereka narasi besar yang mereka gugat tersebut ingin memonopoli kebenaran dan karenanya mereka menolak “penunggalan kebenaran” karena dianggap tidak akan menyelesaikan persoalan.
Menurut Marzuki Wahid , target kaum muda NU berbasis Post-Tradisionalis tersebut antara lain: pertama, merebut kepemimpinan moral dan intelektual di segala lini gerakan kemasyarakatan. Kedua, konsisten di jalur politik ekstra parlementer berbasis multikulturalisme, dan ketiga menyiapkan secara serius paradigma economical society, membangun basis ekonomi mandiri demi terwujudnya civil society. Gerakan anak muda tersebut berangkat dari kesadaran untuk melakukan revitalisasi tradisi, yaitu sebuah upaya menjadikan tradisi (turast) sebagai basis untuk melakukan transformasi pembentukan tradisi baru dengan jangkauan yang sangat jauh (meloncat) secara progresif. Dari sinilah komunitas postra bertemu dengan pemikir Arab modern seperti Muhammad Abed al-Jabiri dan Hasan Hanafi yang mempunyai apresiasi tinggi atas tradisi sebagai basis transformasi.
Target-target tersebut tentu bukan hal yang mudah untuk komunitas postra, problem terberat mereka adalah bagaimana melakukan pembaharuan pemikiran keagamaan yang tentu saja di satu pihak harus mengkritik tradisi dan di pihak lain ada ketergantungan pada tradisi tersebut sebagai basis transformasi, dan kaidah yang dirumuskan para ulama terdahulu “al-muhafadzah ala al-qadim al-shalih, wa al-akhdzu bi al-jadid al-ashlah” ternyata pada tataran aplikatif tidak sesederhana yang dibayangkan. Kerumitan tersebut terjadi karena adanya tarik menarik yang terkadang sangat kuat antara “modernisme” dan “tradisionalisme” yang secara alami memang sulit disandingkan.

D. Konsern Pemikiran Kaum Muda NU Kontemporer
Penelaahan secara rasional, kritis, dan obyektif terhadap sebuah tradisi meniscayakan adanya kemampuan untuk membuat distansi (mengambil jarak) antara sang “penelaah” sebagai subyek dan “tradisi” sebagai obyek. Sikap tersebut akan melahirkan “obyektifitas” dan cara pandang yang lebih historis dalam menelaah sebuah tradisi. Dalam hal ini, kaum muda NU progresif mencoba melihat tradisi secara kritis, historis, dan obyektif. Doktrin teologi aswaja (ahli sunah wal jama’ah) yang sudah berjalan bertahun-tahun misalnya mereka pertanyakan, baik doktrinnya itu sendiri maupun kemampuan dan relevansinya dengan perkembangan jaman, sehingga digagas teologi kemanusiaan yang lebih transformatif. Di bidang fiqih mereka juga menggagas konstekstualisasi fiqih dan kitab kuning, sehingga melahirkan fiqih rakyat, fiqih sosial, fiqih politik yang berorientasi rakyat, termasuk masalah pluralisme, feminisme, dan civil society.
1. Pluralisme
Secara historis, istilah pluralisme diidentifikasikan dengan sebuah aliran filsafat yang menentang konsep negara absolut dan berkedaulatan. Sementara pluralisme klasik merupakan reaksi terhadap doktrin hukum tentang kedaulatan negara dan pluralisme kontemporer (yang muncul tahun 1950-an) dikembangkan untuk menentang teori-teori tentang elit. Dalam perkembangan selanjutnya, kata “pluralisme” diartikan sebagai sebuah faham tentang kemajemukan, dan “pluralisme agama” berarti faham tentang kemajemukan dalam beragama.
Pluralitas keberagamaan yang terjadi di Indonesia sesungguhnya sudah tidak unik lagi, karena di zaman modern ini di setiap kota di dunia hampir tidak ada masyarakat tanpa pluralitas, kecuali di kota-kota ekslusif tertentu saja seperti Vatican, Makkah, dan Madinah.
Pada dasarnya, setiap umat beragama meyakini bahwa agama yang dianutnya akan mengantarkan mereka pada keselamatan dan kebahagiaan eskatologis. Disadari ataupun tidak, keyakinan yang berbeda antar pemeluk agama tersebut berpotensi melahirkan kesenjangan, disintegrasi, dan konflik sosial.
Kesenjangan hubungan muslim dan non-muslim tidak bisa dielakkan lagi di Indonesia, tentu dengan porsi yang beragam. Kesenjangan tersebut bisa disebabkan beberapa faktor, antara lain: pertama, pemahaman agama yang tidak toleran dengan mengedepankan doktrin teologi yang ekslusif. Kedua, kurang terbukanya hubungan lintas agama, kalaupun ada, jangkauannya masih terbatas dan hanya terjadi pada pihak elit. Dalam hal ini bisa dilihat program FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama) yang digagas Kementerian Agama, program-programnya belum begitu membumi. Ketiga, kondisi politik dan produk hukum yang masih dirasa diskriminatif bahkan banyak yang memanfaatkannya sebagai komoditas politik.
Dalam Laporan Pelaksanaan “Belajar Bersama Islam Transformatif dan Toleran” yang dilakukan LKiS bekerjasama dengan Ford Fondation tahun 2001-2002 diajukan beberapa solusi untuk mengatasi persoalan pluralitas tersebut, yaitu: pertama, perlu adanya reinterpretasi ajaran agama menuju sebuah ajaran teologi yang lebih toleran dan terbuka. Kedua, perlu membuka forum-forum dialog antara muslim dan non-muslim dengan mengedepankan kejujuran, hal tersebut dianggap penting karena seringkali dialog lintas agama hanya dilakukan sebatas tuntutan formalistik semata. Ketiga, penting adanya kerjasama riil yang intens antara muslim dan non-muslim dalam kerja-kerja pelayanan publik untuk me-landing-kan gagasan-gagasan yang telah dibangun pada tingkat wacana. Keempat, sistem politik dan produk hukum yang diskriminatif harus diubah menjadi toleran dan terbuka.
Konsep pluralisme yang lebih ekstrim dikemukakan oleh tokoh Jaringan Islam Liberal Ulil Absar Abdala yang nota bene termasuk anak muda NU progresif, dia mengatakan semua agama benar dengan variasi, tingkat, dan kadar kedalaman yang berbeda-beda dalam menghayati jalan religiusitasnya, semua agama ada dalam satu keluarga besar yang sama, yaitu keluarga pencipta jalan menuju kebenaran yang tak pernah ada ujungnya. Dalam hal ini, Majlis Ulama Indonesia mengeluarkan fatwa pengharaman faham pluralisme, sekularisme, dan liberalisme karena dianggap bertentangan dengan ajaran Islam.
2. Feminisme
Feminisme merupakan salah satu isu yang mendapat perhatian besar di kalangan kaum muda NU, hal tersebut bisa dilihat dari beberapa organisasi underbow NU seperti IPPNU, Fatayat, dan muslimat yang menjadikan isu-isu perempuan sebagai program utamanya. Begitu pula beberapa LSM di lingkungan NU seperti P3M yang mempunyai program fiqih perempuan (fiqh al-nisa), yang kemudian dilanjutkan oleh Rahima, sebuah LSM pecahan dari P3M dari divisi fiqh al-nisa’, juga Desantara yang dikomandani Ahmad Baso menjadikan ‘Kritik Wacana Gender’ menjadi bagian dari ‘Madrasah Emansipatorisnya’, bahkan muncul beberapa anak muda NU yang konsern dengan isu perempuan seperti Syafiq Hasyim, Husen Muhammad, atau juga Badriyah Fayumi.
Menjamurnya isu feminisme di lingkungan NU lebih disebabkan karena perempuan masih dilihat sebagai lambang identitas, pembawa kemurnian agama, dan nasionalisme, di samping menifestasi dari usaha untuk menghadapi modernisme sambil tetap berpegang pada prinsip-prinsip tradisional.
Isu-isu perempuan yang berkembang di kalangan NU tersebut cukup beragam, diantaranya tentang bagaimana mengangkat ketertindasan perempuan, mengimbangi dominasi politik yang diskriminatif (lebih dikuasai laki-laki), bahkan termasuk isu-isu yang berkaitan dengan agama seperti poligami, pembagian warisan, kesaksian, imam shalat dan lain sebagainya dengan cara menafsir ulang doktrin dan praktik keagamaan yang dianggap merugikan perempuan.
3. Civil society
Kata “civil society” yang berarti “masyarakat warga” dipilih oleh anak-anak muda NU sebagai sebuah gerakan untuk mendapatkan hak-hak kewarganegaraan. Mereka tidak memilih istilah “masyarakat madani” yang diintrodusir kalangan “modernis”. Perbedaan tersebut bukan semata-mata karena adanya rivalitas baru antara “tradisionalis” dengan “modernis”, tapi keduanya memang mempunyai konsep dan landasan yang berbeda.
Secara konseptual, masyarakat madani menempatkan agama sebagai pusat dari perubahan sosial, sementara civil society menempatkan agama setara dengan institusi sosial lainnya. Pilihan terhadap konsep civil society tersebut dianggap lebih tepat dan adaptif di tengah pluralitas budaya dan agama di Indonesia.
Sebagai konsep politik, civil society adalah kelompok di luar kekuasaan negara yang berkepentingan untuk membentuk “blok sejarah” guna menghadapi hegemoni kekuasaan. Beberapa ciri dari konsep civil society tersebut diantaranya: pertama, memungkinkan setiap individu untuk mengaktualisasikan aspirasi politiknya tanpa ada intervensi dari pihak luar, kedua tidak mengizinkan adanya otoritarianisme, anarkisme, tirani dan bentuk-bentuk kekerasan lainnya, ketiga selalu terbuka dengan pluralitas, keempat posisi individu dalam kelompok-kelompok sosial bermotif sukarela (voluntary) sebagai konsekuensi dari keswakarsaan individu. Ini berarti bahwa individu tidak bisa dipaksa untuk melakukan dan menyalurkan aspirasi yang tidak sesuai dengan kehendaknya.
Konsep civil society merupakan formulasi dari masyarakat politik barat yang mengalami perkembangan dari masyarakat alamiah (natural society) yang belum mengenal sistem dan hukum negara ke masyarakat politik (political society) yang mengenal politik sebagai otoritas sehingga tercipta law order (aturan hukum). Dengan demikian, implementasi civil society tersebut adalah lahirnya masyarakat yang sudah mengenal, menghormati, dan melindungi hak asasi warganya. Sementara konsep “masyarakat madani” yang dipopulerkan kalangan modernis seperti Cak Nur diinspirasi dari kata al-mujtama’ al-madani (yang diterjemahkan “masyarakat madani”) dalam buku Al-Siyasah al-Madaniyah-nya al-Farabi (w. 339 H/950 M). Kata Mujtama al-Madani tersebut kemudian dipopulerkan oleh Profesor Naquib al-Attas, seorang ahli sejarah dan peradaban Islam dari Malaysia, pendiri sebuah lembaga yang bernama Institute for Islamic Thought and Civilation (ISTAC) yang disponsori oleh Anwar Ibrahim. Kata madani juga diasosiasikan dengan Kota Madinah yang modern dan di sana Nabi Muhammad SAW berhasil membangun dan membina masyarakat yang plural, demokratis, damai, saling menghormati berlandaskan hukum, hak, dan tanggung jawab bersama.
Dato Seri Anwar Ibrahim yang sering disebut sebagai pengusung istilah masyarakat madani di Indonesia menggambarkan masyarakat madani sebagai berikut:
“Sistem sosial yang subur yang diasaskan atas moral yang menjamin keseimbangan antara kebebasan perorangan dengan kesetabilan masyarakat. Masyarakat yang mendorong daya usaha serta inisiatif individu baik dari segi pemikiran, seni, pelaksanaan, pemerintahan, mengikuti undang-undang dan bukan nafsu atau keinginan individu menjadikan keterdugaan atau predectability serta kelulusan atau tranparancy system. .

Lebih khusus, Anwar Ibrahim pada ceramahnya di Festival Istiqlal tanggal 26 September 1995 merinci karakteristik masyarakat madani dalam masyarakat kontemporer dengan jamak budaya (multi-etnis), kesalingan (reciprocity), dan kesediaan untuk saling menghargai dan memahami (lita’arafu), sementara Nurcholis Madjid menyebutnya sebagai “masyarakat yang sopan, beradab dan teratur” dalam bentuk negara yang baik, dan menurutnya Masyarakat Madani dalam semangat modern tidak lain dari civil society.
Berbeda dengan Hidayat Nurwahid, menurutnya Masyarakat Madani bukan hanya sekedar civil society sebagaimana yang diinginkan masyarakat Barat, Masyarakat Madani justru mengacu pada sistem sosial yang diretas oleh Nabi Muhammad SAW di Madinah yang dibangun dengan beberapa pilar, yaitu akidah Islam, pembacaan realitas tanggung jawab sosial dan norma-norma sosial yang tertuang dalam Piagam Madinah.

E. Kesimpulan
Tidak bisa dipungkiri lagi bahwa prediksi Cak Nur akan terjadi “musim panen” di tubuh NU ternyata benar-benar terbukti, geliat pemikiran kaum Muda NU demikian progresif terutama ketika kran kebebasan berpikir semakin terbuka. Kran keterbukaan pemikiran tersebut dipengaruhi secara internal dan eksternal. Secara internal, progresifitas kaum muda dipengaruhi oleh keterkungkungan kultur yang melahirkan kejemuan. Pada saat yang sama, beberapa tokoh tua NU “nyentrik” seperti Gus Dur memberikan ruang gerak yang luar biasa kepada kaum muda NU untuk menyalurkan ekspresi intelektualnya dengan membuka selebar-lebarnya ruang-ruang kebebasan berpikir. Sedangkan secara eksternal, progresifitas kaum muda NU banyak dipengaruhi oleh komunitas akademik baik dalam maupun luar negeri serta kondisi politik dalam negeri yang otoritarian sehingga menjadi cambuk generasi muda NU untuk bangkit.
Secara umum, organisasi ke-Islaman sering dikelompokan menjadi tradisional dan modern, dan sebagai sebuah organisasi Islam terbesar di Indonesia, para akademisi mengidentifikasi Nahdlatul Ulama (NU) sebagai kelompok tradisional berdasarkan beberapa karakter yang dimiliki organisasi tersebut yang berbasiskan doktrin dan tradisi. Namun pada perjalanan selanjutnya, ketika geliat kaum muda NU semakin progresif muncullah semangat untuk mengkritisi kemapanan dan doktrin tradisi tersebut dengan menjadikan tradisi (turast) sebagai basis untuk melakukan transformasi pembentukan tradisi baru secara progresif, inilah yang dimaksud dengan munculnya post tradisionalisme.
Beberapa kajian tradisi intelektual yang menjadi penelaahan kaum muda NU diantaranya masalah pluralisme, feminisme, dan civil society. Dari beberapa kajian tersebut penulis mencoba memetakan corak pemikiran kaum muda NU menjadi dua bagian yaitu:
1. Kaum muda NU progresif, kelompok tersebut banyak dibidani oleh kalangan akademisi atau yang telah banyak mengikuti pergumulan akademik,
2. Kaum muda NU non-progresif, kelompok ini banyak “digawangi” oleh anak muda NU berbasiskan pesantren yang masih memegang doktrin dan tradisi sebagai ajaran yang murni.
Dalam hal pluralisme kaum muda NU progresif seperti LKiS dan beberapa tokoh seperti Ulil Absar Abdala memandang perlu adanya reinterpretasi ajaran agama menuju sebuah ajaran yang lebih toleran dan terbuka, sementara kaum muda non-progresif membedakan antara pluralisme dan pluralitas. Pluralisme sebagai paham yang menyamakan atau membenarkan semua agama mereka tolak bahkan hal tersebut diperkuat oleh fatwa MUI sementara pluralitas atau kemajemukan agama adalah sesuatu yang tidak mungkin ditolak.

Dalam hal feminisme kaum muda NU progresif memandang perlu adanya kesejajaran dan menghilangkan diskriminasi dengan menafsir ulang beberapa doktrin dan tradisi keagamaan seperti poligami, hal tersebut dilakukan beberapa organigasi dan LSM anak muda NU seperti Fatayat, IPPNU, Rahima, P3M.
Dalam hal politik, kaum muda NU mencoba menawarkan konsep civil society yang boleh dikatakan mirip konsep “masyarakat madani”nya kaum modernis dengan beberapa perbedaan konseptual. Dalam konsep civil society tersebut agama ditempatkan setara dengan institusi sosial lainnya dengan harapan lebih adaptif di tengah pluralitas budaya dan agama di Indonesia.

Wallahu’alam.


Daftar Pustaka

Assyaukanie, Lutfhi. NU Pasca Gus Dur, Jurnal Nasional, 08/01/2010. http://www.assyaukanie.com.articles/nu-pasca-gus-dur

Azra, Azyumardi dan Saiful Umam (Ed.), Menteri-menteri Agama RI, Biografi Sosial Politik. Jakarta: INIS, 1998.

Barton, Greg Ph.D, Gagasan Islam Liberal di Indonesia: Pemikiran Neo-Modernisme Nurcholish Madjid, Djohan Effendi, Ahmad Wahib dan Abdurrahman Wahid1968-1980, Jakarta: Kerjasama Paramadina dengan Pustaka Antara, Yayasan Adikarya IKAPI, dan Ford Foundation, 1999.

Baso, Ahmad, “Neo-Modernisme Islam vs Post-Tradisionalisme Islam” dalam Jurnal Taswirul Afkar, edisi No. 10 tahun 2001.

Dhofier, Zamakhsyari. Tradisi pesantren, Studi tentang Pandangan Hidup Kyai. Jakarta: LP3ES, 1994, cet. Keenam.

Ghazali, Abd Moqsith. NU dan Perihal Pengganti Gus Dur, Jurnal Lakpesdam NU edisi V/2010

Hidayat, Arsyad. Mencari Islam Alternatif: Perjalanan Seorang Mahasiswa Al-Azhar. Dalam Taswirul Afkar edisi no. 8 tahun 2000.

Hidayat, Mansur. Ormas Keagamaan dalam Pemberdayaan Politik Masyarakat Madani. Jurnal Pengembangan Masyarakat Islam “Komunitas”, Volume 4, Nomor 1, Juni 2008.

http://www.eramuslim.com/berita/nasional/hidayat-nurwahid-piagam-madinah-acuan-masyarakat-madani.htm

Hurmain, Imam. Pernikahan lintas Agama dalam Perspektif Jaringan Islam Liberal. Artikel diskusi rutin FUS UIN Riau tanggal 5 Desember 2007.

Ida, Laode. NU Muda: Kaum Progresif dan Sekulerisme Baru (Jakarta: Erlangga, 2004).

Noer, Deliar. Gerakan Modern Islam di Indonesia 1990-1942, Jakarta: LP3ES, 1980

Madjid, Nurcholish. Islam dan Doktrin Peradaban. Jakarta: Yayasan Wakaf Paramadina, 1992, cet 1.

Rahman, Zaini. Post-Tradisionalisme Islam: Epistemologi Peloncat Tangga. Dalam Bulletin Wacana Postra, edisi perkenalan, nopember, 2001.

Rahmat, M. Imdadun. Kaum Muda dan Klaim “NU Otentik” dalam Tashwirul Afkar/XVII/2004.

Rumadi. Post-Tradisionalisme Islam: Wacana Intelektualisme dalam Komunitas NU di http://ern.pendis.kemenag.go.id

Salim, Hairus. Kultur Hibrida: Anak Muda NU di Jalur Kultural. 1998

Suratno. Musim Panen: NU & Generasi muda Nahdliyin di http://agama.kompasiana.com

Wahid, Marzuki. Antropologi Gus Dur: Nyleneh dan “membingungkan:, Benarkah? Jurnal Lakpesdam NU Edisi V 2010.

Wahid, Marzuki. Peta Intelektualisme dan Tema Pokok Pemikiran Gus Dur, http://daraltauhid.com/artikel/15-peta-intelektualisme-dan-tema-pokok-pemikiran-gus-dur-.html