Tinjauan Filosofis tentang Potensi Manusia
Benyamin S. Bloom (1956) dalam teori taksonominya merinci tiga potensi dasar yang dimiliki manusia, yaitu: aspek kognitif, afektif, dan psikomotor.[1] Abuddin Nata berpendapat bahwa ketiga potensi manusia tersebut sesungguhnya tersirat pada Q.S. An-Nahl ayat 78 yang berbunyi:
Artinya: “Dan Allah mengeluarkan kamu dari perut ibumu dalam keadaan tidak mengetahui sesuatupun, dan Dia memberi kamu pendengaran, penglihatan dan hati, agar kamu bersyukur”.Kata as-sama’ yang berarti pendengaran merupakan potensi psikomotorik yang dimiliki manusia karena berkaitan dengan panca indra. Kata al-bashar yang biasa diartikan penglihatan sering diasosiasikan dengan pandangan atau pemahaman sehingga kata al-bashar tersebut merupakan potensi kognitif sementara kata af’idah diartikan hati yang merupakan potensi afektif manusia.[2]
Sigmun Freud (1856-1939) mengatakan bahwa pribadi manusia tersusun dari tiga sistem pokok, yaitu id (dorongan jasmaniah), ego (dorongan untuk berpikir), dan super ego (dorongan untuk mencapai hal-hal yang memiliki nilai-nilai moral).[3] Ibnu Maskawaih merinci tiga unsur jiwa manusia, yaitu terdiri dari akal, ghadab, dan syahwat.[4] Sementara itu, tokoh falsafah pendidikan Islam Al-Syaibani menyebut tiga dimensi manusia yang dianalogikan dengan “segi tiga sama sisi”, yaitu: badan, akal dan ruh,[5] atau dalam bahasa Abuddin Nata terdiri dari jasmani, akal, dan jiwa,[6] dan secara lebih sederhana Hery Noer Aly mengklasifikasikan wujud manusia tersebut menjadi unsur jasmani dan rohani.[7]
Dalam hal kecerdasan pun, manusia ternyata memiliki banyak aspek. Howard Gardner (1983) misalnya dalam teori Multiple Intelegent-nya, menyebut delapan jenis kecerdasan manusia, yaitu: Kecerdasan Spasial-Visual, Linguistik-Verbal, Interpersonal, Musikal-Ritmik, Naturalis, Badan-Kinestetik, Intrapersonal, dan Logis-Matematis yang disingkat SLIM n Bil.[8]
Beragamnya klasifikasi unsur dan potensi yang dimiliki manusia selain memberikan gambaran bahwa manusia merupakan makhluk yang spesial dan berbeda dengan makhluk ciptaan Allah SWT yang lain, juga memberikan isyarat bahwa secara filosofis manusia memiliki multi potensi yang kesemuanya harus dikembangkan, tentu melalui pendidikan atau lebih khususnya pembelajaran. Pengembangan seluruh potensi dinamis manusia tersebut tentu bukan hal yang sederhana sehingga untuk memaksimalkannya diperlukan beragam strategi atau metodologi pendidikan atau pembelajaran.
Tinjauan Filosofis tentang Pendidikan
Dalam perspektif filsafat, ada baiknya dianalisis pandangan beberapa aliran atau madzhab filsafat yang lazim dirujuk dalam dunia pendidikan, diantaranya:
a. Esensialisme
Aliran filsafat yang dipelopori William Bagley (1847-1946) ini didasarkan pada filsafat konservatif yang memandang bahwa sekolah itu tidak dapat mengubah masyarakat secara radikal. Sekolah seharusnya mengajarkan nilai-nilai moral tradisional dan pengetahuan agar siswa kelak menjadi warga negara yang teladan.[9] Dengan demikian, menurut aliran ini pendidikan harus mengajarkan sikap-sikap keteladanan, rasa hormat, ketabahan, ketaatan dalam menjalankan kewajiban, tenggang rasa, dan hendaknya menekankan pemahaman dunia lewat eksperimen saintifik dibanding melalui filsafat atau agama. Untuk itu, menurut mereka siswa pada tingkat dasar harus menguasai literasi dan komputasi dengan diajarkan menulis, membaca, berhitung, dan komputer agar memiliki literasi kultural yang memadai yakni memiliki pengetahuan yang berkaitan dengan orang, kejadian, gagasan, dan institusi publik. Dan pada tingkat lanjutan siswa harus diajarkan pelajaran yang bisa memenuhi kebutuhannya secara personal dan sosial seperti sains, matematika, dan bahasa asing.
b. Perrenialisme
Aliran ini mengikuti paham realisme yang sejalan dengan Aritoteles bahwa manusia itu rasional, sekolah adalah lembaga yang didesain untuk menumbuhkan kecerdasan, dan siswa seyogiyannya diajari gagasan besar agar mencintainya, sehingga mereka menjadi intelektual sejati. Seperti halnya eksistesialisme, aliran ini pun kurang fleksibel dalam mengembangkan kurikulum. Karena perrenialis memandang bahwa secara esensial manusia adalah makhluk rasional, maka tidak tepat menggiring dan mencocok hidung siswa agar menguasai keterampilan vokasional karena akan berpotensi mengganggu perkembangan rasionalnya. Berbeda dari esensialis, eksperimen saintifik dianggap mengurangi pentingnya kapasitas manusia untuk berpikir, dan dengan demikian pelajaran filsafat menjadi penting agar siswa mampu berpikir mendalam, analitik, fleksibel, dan penuh imajinatif.[10]
Pendidikan menurut aliran ini mesti membangun sejumlah mata pelajaran yang umum bukan spesialis, liberal bukan vokasional, yang humanistik bukan teknikal sehingga pendidikan akan memenuhi fungsi humanistiknya yakni pembelajaran secara umum yang mesti dimiliki oleh manusia.
c. Progresivisme
Aliran yang lengket dengan nama besar John Dewey (1859-1952) ini menghormati perorangan, sains, dan menerima perubahan sesuai dengan perkembangan. Aliran ini menstimulasi sekolah untuk mengembangkan kurikulum sehingga lebih relevan dengan kebutuhan dan minat siswa sesuai dengan filsafat Dewey bahwa dunia fisik itu real dan perubahan itu bukan sesuatu yang tak dapat direncanakan. Buatnya perubahan dapat diarahkan oleh kepandaian manusia.[11]
Dalam hal pembelajaran Dewey mengatakan:
We may, I think, discover certain common principles amid the variety of progressive schools now existing. To imposition from above is opposed expression and cultivation of individuality; to external discipline is opposed free activity; to learning from text and teachers, learning throught experience; to acquisition of them as means of attaining ends which make direct vital appeal; to preparation for a more or less remote future is opposed making the most of the opportunities of present life; to statistics and materials is opposed acquaintance with a changing world.[12]
Untuk itu, pendidik yang menganut aliran ini sangat menentang praktik sekolah tradisional, khususnya dalam lima hal, yaitu: pertama, guru yang otoriter, kedua terlampau mengandalkan metode berbasis buku teks , ketiga pembelajaran pasif dengan mengingat fakta, keempat filsafat empat tembok yakni terisolasinya pendidikan dari kehidupan nyata, kelima penggunaan rasa takut atau hukuman badan sebagai alat menanamkan disiplin bagi siswa.
d. Eksistensialisme
Gerakan eksistensialis dalam pendidikan berangkat dari aliran filsafat yang menamakan dirinya eksistensialisme yang para tokohnya antara lain Kierkegaard (1813-1815), Nietzsche (1811-1900) yang inti dari ajaran filsafat ini adalah respek terhadap individu yang unik pada setiap orang. Bagi mereka eksistensi mendahului esensi, artinya manusia lahir dan eksis lalu menentukan dengan bebas esensi masing-masing.[13]
Bagi aliran ini, guru berperan sebagai fasilitator untuk membiarkan siswa berkembang menjadi dirinya dengan memberikan berbagai metode yang bisa dilalui. Karena perasaan tidak terlepas dari nalar maka kaum eksistensialis menganjurkan pendidikan sebagai cara membentuk manusia secara utuh, bukan hanya berorientasi kognitif tapi juga harus berorintasi afektif dan psikomotorik. Dengan demikian, pembelajaran menurut aliran ini harus fleksibel dan harus menyajikan sejumlah pilihan pelajaran yang bisa dipilih oleh siswa.
e. Rekonstruksi
Aliran rekonstruksi memiliki akar-akar filsafat eksistensialisme, namun terutama berlandaskan pada pemikiran aliran progresif. Persamaan antara dua aliran filsafat ini adalah bahwa segala sesuatu di dunia ini bersifat relatif dan semua manusia mengelola dunia ini untuk memahaminya dan mengubahnya. Bila aliran perrenialis menekankan penyampaian pengetahuan mengenai kultur yang ada dan mapan, dan aliran progresif menekankan pentingnya evaluasi terhadap kultur yang ada tersebut, maka aliran rekonstruksi menginginkan transformasi kultur yang ada itu berdasarkan analisis terhadap ketidakadilan dan kesalahan-kesalahan mendasar dalam praktik-praktik pendidikan. Bila tujuan pendidikan untuk menyiapkan anak didik sebagai pengubah dunia, maka sekolah harus membekali siswa dengan alat untuk melakukan perubahan, yakni demi transformasi dunia lewat rekonstruksi sosial. Tokoh-tokoh besar aliran ini antara lain George Counts, Theodore Brameld, Ivan Illich, dan Paulo Freire.[14]
Perkembangan Metodologi PembelajaranDalam bahasa Arab, metode diungkapkan dalam berbagai kata, terkadang digunakan kata al-thariqah yang berarti jalan, manhaj yang berarti sistem, dan al-wasilah yang diartikan perantara atau mediator.[15] Mohammad Athiyah al - Abrasyi mendefinisikan metode pembelajaran sebagai jalan untuk memberi faham kepada murid tentang segala macam pelajaran, sementara Edgar Bruce Wesley mendefinisikannya sebagai rentetan kegiatan terarah bagi guru yang menyebabkan timbulnya proses belajar pada murid, sehingga menghasilkan proses belajar yang sempurna dan berkesan.[16] Dengan demikian, fungsi metode pembelajaran adalah sebagai strategi untuk mempermudah proses transformasi dan internalisasi materi ajar yang disampaikan guru kepada muridnya.
Abdurrahman an-Nahlawi mengatakan bahwa dalam al-Qur’an dan Sunnah Nabi SAW terdapat banyak metode pendidikan yang bisa diaplikasikan dalam pembelajaran, misalnya: metode hiwar, kisah, amtsal, teladan, pembiasaan, ibrah dan mauidhah, serta targhib dan tarhib.[17] Seperti firman Allah SWT dalam Q.S. An-Nahl ayat 125 sebagai berikut:
Artinya: “Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik”.Seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, metodologi pembelajaran pun mengalami perkembangan yang begitu pesat, beberapa tokoh pendidikan banyak yang menganalisa dan melahirkan berbagai macam metodologi pembelajaran. Bobbi DePorter misalnya yang melalui penganalisaan mendalamnya di Super Camp, (sebuah lembaga pendidikan intrenasional yang menekankan perkembangan keterampilan akademis dan keterampilan pribadi) menemukan metode Quantum Teaching yang menginspirasi guru-guru di berbagai negara,[18] atau Richard Suchman yang mengembangkan model Inquiry, Albert Bandura yang dengan Social Learning Theory-nya kemudian melahirkan model observational learning atau modeling. Model Problem Based Instruktion (PBI) yang diinspirasi oleh teori cognitivism-nya Bruner dan teori construktivism-nya Piaget, Cooperative learning yang diinspirasi dari teori social cognition-nya Vogotsky, Student Team Achievment Devision (STAD), Teams-Games-Tournament (TGT) dan Jigsaw-nya Slavin, Numbered Heads Together (NHT)-nya Kagan, Learning Together-nya David and Roger Johnson, Group Investigation-nya Sharan, atau Think-Pair-Share-nya Frank Lyman.[19]
Dalam sistem pendidikan Islam pun perkembangan metodologi tidak kalah berkembang, hal ini bisa dilihat diantaranya dengan munculnya metode Iqra yang dikembangkan As’ad Umam dalam pelajaran baca al-Qur’an, Metode Amtsilati yang ditemukan H. Taufiqul Hakim di Jepara atau yang terbaru yaitu metode tamyiz untuk mempermudah membaca dan memahami kitab kuning.
Perkembangan metode tersebut sesungguhnya sangat relevan dengan paradigma baru pendidikan yang awalnya berpusat pada guru (teacher centris) ke arah student centris atau kolaborasi antara teacher and student centris.
Hubungan Filsafat dengan Perkembangan Metodologi Pembelajaran
Perubahan paradigma pendidikan ke arah student centris atau kolaborasi antara teacher and student centris sesungguhnya dilandasi atas kesadaran bahwa guru dan siswa adalah sama-sama sebagai makhluk Tuhan yang dibekali multi potensi, bahkan perkembangan teknologi informasi yang semakin tidak terkendali tidak menafikan siswa untuk memiliki informasi melebihi pengetahuan yang dimiliki oleh gurunya.
Seperti dikemukakan sebelumnya bahwa beragamnya potensi yang dimiliki manusia tersebut memerlukan pengembangan, tentu melalui pendidikan atau pengajaran, dan untuk mencapai target pengembangan yang maksimal diperlukan strategi atau metode yang tepat dan akurat sesuai dengan potensi dasar siswa yang akan dikembangkannya serta target yang ingin dicapainya. Metode diskusi atau presentasi misalnya, sangat cocok untuk mengembangkan aspek kognitif atau daya nalar dan analisis siswa, sementara metode demonstrasi tentu sangat cocok untuk mengembangkan aspek psikomotornya.
Manusia sebagai makhluk yang diberikan kelebihan potensi dibanding dengan makhluk yang lain, tentu bukan berarti tidak memiliki kekurangan. Secara filosofis potensi-potensi tersebut sesungguhnya memiliki keterbatasan, implikasinya adalah pemberdayaan setiap potensi diri manusia dalam pembelajaran belum tentu mencapai target yang maksimal, seperti yang pernah diteliti oleh Dr. Venon Magnesen, seorang peneliti dari Texas University, dia mengatakan bahwa dengan metode pembelajaran yang memberdayakan penglihatan, pengucapan dan pengalaman siswa, materi pembelajaran bisa dikuasai sampai 90%. Metode seperti itu tentu lebih baik dari metode yang hanya sekedar mengandalkan, pendengaran saja, atau penglihatan saja, atau pengucapan saja.[20] Untuk itu, pengembangan metode pembelajaran diharapkan bisa memaksimalkan seluruh potensi yang ada pada diri siswa sehingga pencapaian target pembelajaran pun bisa dimaksimalkan pula.
Lahirnya paradigma baru pendidikan kearah student centris atau kolaborasi teacher and student centris seperti diungkap sebelumnya juga merupakan upaya optimalisasi potensi dasar yang dimiliki oleh siswa. Hal tersebut sejalan dengan pendapatnya William Burton yang mengatakan “teaching is the guidance of learning activities, teaching is for purpose of aiding the pupil learn,”[21] yang intinya bahwa mengajar adalah membimbing kegiatan belajar siswa sehingga ia mau belajar. Dengan menjadikan siswa sebagai subjek (bukan hanya objek), maka aktivitas dan kreatifitas siswa menjadi penting dalam merancang dan melaksanakan pembelajaran, hal ini pun sejalan dengan rekomendasi UNESCO dengan The Fuor Pillars of Educationnya atau empat pilar pendidikan, yaitu: learning to know, learning to do, learning to life together dan learning to be.[22]
Dalam aplikasinya, learning to know menuntut metode pembelajaran yang berbasis teknologi informasi, learning to do bukan hanya sekedar mengembangkan kemampuan atau keterampilan fisik, tetapi harus dibarengi pula dengan kemampuan menjalin hubungan interpersonal sehingga membutuhkan metode pembelajaran yang mampu mengembangkan kecerdasan emosional (emotional intelligence) peserta didik, learning together menuntut metode pembelajaran yang menumbuhkan sikap empati siswa dalam menghadapi keragaman, dan learning to be memerlukan strategi atau metode pembelajaran yang menumbuhkan integritas kepribadian dan kearifan siswa dalam mensikapi kondisi lingkungannya.
Dengan demikian, untuk mengakomodasi pengembangan seluruh potensi dasar yang dimiliki manusia tersebut diperlukan metode-metode pembelajaran yang variatif dan disesuaikan dengan potensi yang dimiliki manusia itu sendiri. Inilah yang mendasari perkembangan metodologi pembelajaran.
Wallahu’alam.
[1] Abuddin Nata, Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. (Jakarta: Kencana, 2009) h. 47. Benyamin S. Bloom merinci secara lebih spesifik ketiga ranah tersebut. Secara hierarkis ranah kognitif (berfikir) terdiri dari pengetahuan, pemahaman, penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi. Ranah afektif (penghayatan) terdiri dari penerimaan, partisifasi, penilaian dan penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup. Ranah psikomotor (keterampilan) terdiri dari persepsi, kesiapan, gerak terbimbing, gerak yang terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian pola gerakan, dan kreativitas.
[2] Dalam Tafsir al-Maraghy yang dikutip oleh Abuddin Nata, Perspektif Islam…. H. 51
[3] Abuddin Nata, Perspektif Islam … h. 65
[4] Disampaikan oleh Abuddin Nata dalam perkuliahan mata kuliah Filsafat dan Metode Pendidikan Islam di Program Pascasarjana UMJ tanggal 25 Oktober 2010.
[5] Omar Mohammad al-Toumy al-Syaibani. Falsafah Pendidikan Islam. Terjemahan Hasan Langgulung. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), cet. 1. h. 130.
[6] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Gaya Media Utama, 2005),h. 146.
[7] Hery Noer Aly, Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos, 1999). h, 118.
[8] Bobbi DePorter, dkk. Quantum Teaching, Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. (Terj) Ary Nilandri. (Bandung: Kaifa, 2002), h. 96
[9] Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya,2008), h. 102
[10] Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa … h. 103
[11] Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa … h. 103
[12] Dikutip dalam Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa … h. 106
[13] Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa … h. 106
[14] Chaedar Alwasilah, Filsafat Bahasa … h. 106
[15] Abuddin Nata, Filsafat Pendidikan Islam…h. 144.
[16] al-Syaibani. Falsafah Pendidikan Islam. … h. 551 dan 552.
[17] Abdurrahman an-Nahlawi, Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah. (Beirut: Darul Fikr: 1999) h. 205
[18] Bobbi DePorter, dkk. Quantum Teaching, …(Bandung: Kaifa, 2002)
[19] Nn, Model-model Pembelajaran, Balai Diklat Keagamaan Jakarta
[20] Munif Chatib, Sekolahnya Manusia, (Bandung: Kaifa, 2009), hal 137
[21] Abdul Haris, Model Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, efektif, dan Menyenangkan. Materi PLPG. FITK UIN Jakarta hal. 23
[22] Muslikah, Sukses Profesi Guru dengan Penelitian Tindakan Kelas. (Yogyakarta: Interprebook, 2010), h. 11
Referensi
An-Nahlawi, Abdurrahman. Ushul al-Tarbiyah al-Islamiyah. (Beirut: Darul Fikr: 1999).
Al-Syaibani, Omar Mohammad al-Toumy. Falsafah Pendidikan Islam. Terjemahan Hasan Langgulung. (Jakarta: Bulan Bintang, 1979), cet. 1.
Alwasilah, Chaedar. Filsafat Bahasa dan Pendidikan, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 2008).
Aly, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: Logos, 1999).
Chatib, Munif. Sekolahnya Manusia, (Bandung: Kaifa, 2009)
DePorter, Bobbi dkk. Quantum Teaching, Mempraktikkan Quantum Learning di Ruang-ruang Kelas. (Terj) Ary Nilandri. (Bandung: Kaifa, 2002).
Haris, Abdul. Model Pembelajaran Aktif, Inovatif, Kreatif, efektif, dan Menyenangkan. Materi PLPG. FITK UIN Jakarta.
Muslikah, Sukses Profesi Guru dengan Penelitian Tindakan Kelas. (Yogyakarta: Interprebook, 2010).
Nata, Abuddin. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: Gaya Media Utama, 2005).
Nata, Abuddin. Perspektif Islam tentang Strategi Pembelajaran. (Jakarta: Kencana, 2009)
Nn, Model-model Pembelajaran, Balai Diklat Keagamaan Jakarta