Sumber Gambar: turospustaka.com |
Oleh:
Ade Zaenudin
Dalam kitab Sirojut Tholibin, dikisahkan seorang murid memimpikan
gurunya, sesaat setelah gurunya tersebut wafat. Sang guru adalah seorang ulama
sufi bernama syekh Hasan Bashri.
Bagaimana kabarnya guru?
Sang murid bertanya di mimpi itu
Hampir saja aku ditolak oleh Allah swt, penyebabnya adalah ketika saya salat
di hadapan orang banyak, maka bacaan salat saya
bagus-baguskan, saya lama-lamakan, saya enak-enakkan.
Lalu, Allah Swt
menyampaikan kepadaku, [seandainya
dari awal kamu salah, maka aku tidak sudi melihat kamu, akan tetapi karena niat
di awal salat kamu
bagus maka Aku maafkan]. Ketika
di awal salat aku selalu berniat lillahi ta’ala, hanya karena Allah Swt.
Beruntung Syekh Hasan
Basri, akhirnya Allah selamatkan karena niat yang baik.
Pernah kita merasakan
ketika salat di masjid sendirian, lalu ada yang makmum masbuk dan tiba-tiba
kita lebih mengkhusyukan salat, membaguskan bacaan, atau jadi memperlama durasi
setiap rukun salat?
Pointnya adalah ada
perbedaan antara ketika dilihat orang dan tidak dilihat orang.
Dalam posisi itu, kita
tidak sadar bahwa sesungguhnya ada atau tidak ada orang lain, kita sedang
dilihat sama Allah Swt. Namun kenapa kita lebih malu sama manusia.
Ya, di sini kita bisa
menyimpulkan bahwa orang yang salat saja belum tentu akan selamat, apalagi yang
tidak pernah mau melakukan salat. Kita bisa perdalam lagi hal ini melalui surah
al-Ma’un.
Point yang kedua adalah
bahwa niat itu punya peran strategis. Maka yang ideal adalah bagaimana
memadukan antara niat dan pelaksanaan, keduanya harus baik dan semata hanya
karena menjalankan perintah Allah.
Mungkin sebagian kita
pernah digelayuti pertanyaan ngeyel, kenapa salat harus menghadap ka’bah?
kenapa tidak menghadap monas saja? padahal sama-sama bangunan yang terbuat dari
batu.
Kita salat menghadap
ka’bah bukan karena menyembah batu, bukan pula kita punya anggapan bahwa Allah
Swt berada di dalam ka’bah. Bukan. Alasannya cuma satu, karena Allah Swt
menyuruh kita salat menghadap ke arah masjidil haram (ka’bah) yang tertuang
dalam surah al-Baqarah ayat 144.
Anda saja Allah Swt menyuruh
kita salat menghadap monas, maka pasti akan kita lakukan. Bahkan sebaliknya,
jika tidak pernah ada perintah salat, buat apa kita lakukan?
Kita bisa bayangkan,
kalau lah tidak ada perintah menghadap kiblat, maka bisa jadi kita salat ke
arah mana saja, semaunya, bisa berantakan, beradu kepala sesama jamaah saat
ruku’ atau sujud. Hehe… kan aneh.
Di doa iftitah yang kita
baca setiap awal salat, kita senantiasa menegaskan, Innii wajjahtu wajhiya
lilladzi fatoros samawati wal ardi (Sesungguhnya aku hadapkan wajahku ke
hadapan Allah yang menciptakan langit dan bumi). Kita pun secara tegas
menyatakan Inna salati, wanusukii, wa mahyaaya wa mamaati, lillahi robbil
alamin. (Sesungguhnya salatku, ibadahku, hidupku, matiku, hanyalah untuk
Allah Tuhan Semesta Alam.
Jadi, kalau salat gak
usah baper, hehe…
Wassalam
8 Syawal 1441 H.