Mulianya Bulan Rajab
Dalam sejarah peradaban Islam, kita mengenal sebuah peristiwa yang sangat monumental, yaitu peristiwa di-isra-kan (berjalan malam dari Masjidil Haram di Makkah sampai Masjidil Aqsha di Palestina)dan di-mi’raj-kannya Nabi Muhammad SAW (Naik dari Masjidil Aqsha sampai ke sidratul Muntaha). Keotentikan peristiwa tersebut diabadikan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 1 yang artinya berbunyi: ” Maha suci Dzat (Allah SWT) yang menjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) di waktu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang kami liputi dengan keberkahan di sekitarnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian keajaiban kekuasaan kami, sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat”.
Sebagai umat Islam, tentunya kita wajib mempercayai peristiwa tersebut karena walau bagaimanapun Allah SWT mempunyai kekuasaan penuh untuk menggerakan makhluk-Nya, kapanpun dan dimanapun karena kita tahu Allah SWT mempunyai sifat Kudrat.
Karena peristiwa tersebut terjadi bulan Rajab, maka bulan Rajab ini kemudian menjadi salah satu bulan penting. Nabi pernah bersabda:” Bahwasanya Rajab itu bulan Allah, Sya’ban bagiku dan Ramadhan bagi umatku”.
Dalam kitab Durratun Nasihin diceritakan ada seorang wanita di Baitul Muqaddas yang taat beribadah kepada Allah SWT, setiap bulan Rajab tiba ia selalu menyambutnya dan memulyakannya dengan membaca Al-Qur’an, pakaian kebesarannya ia tanggalkan dan digantinya dengan pakaian khusus walau lebih sederhana dari biasanya. Pada suatu bulan Rajab, ia jatuh sakit dan meninggalkan pesan buat putranya agar jika dirinya meninggal nanti dikafani dengan pakaian khusus tersebut. Namun putranya sedikit gengsi, mayat ibunya tersebut dibungkus dengan kain kafan yang lain dan lebih bagus. Maka di malam harinya ia bermimpi ditemui oleh ibunya dan berkata: “ Hai puteraku, kenapa engkau abaikan pesanku, sungguh aku tidak rela kepadamu”. Maka ia pun bangun dan terkejut bercampur rasa takut, akhirnya ia memutuskan untuk menggali kembali makam ibunya. Namun setelah digali, mayat ibunya ternyata sudah hilang hingga ia bingung, menangis dan menyesalinya, dan ketika itu pula terdengar suara yang berbunyi: “Ketahuilah, bahwa orang yang selalu mengagungkan bulan kami, yaitu bulan Rajab, ia tidak mungkin dibiarkan kesepian, menyendiri di dalam kubur”.
Isra Mi’raj dan Perjuangan Hidup Manusia
Oleh-oleh terbesar yang dibawa Nabi Muhammad SAW dari peristiwa Isra Mi’raj tersebut adalah disyari’atkannya Shalat lima waktu. Sepintas muncul pertanyaan kenapa Allah SWT ‘repot –repot’ menyuruh Nabi berjalan dan naik ke Sidratul Muntaha hanya untuk memerintahkan Shalat, bukankah Allah SWT sangat berkuasa untuk menyampaikannya secara langsung atau lewat malaikat Jibril seperti perintah-perintah yang lain, terlebih kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW adalah makhluk kesayangan-Nya.
Hal ini menggambarkan bahwa peristiwa Isra Mi’raj mengajarkan kepada kita bahwa hidup ini adalah perjuangan, kita diajarkan untuk menyusuri dan menaiki tangga kehidupan layaknya Nabi berjalan dan naik ke Sidratul Muntaha, dan terjadi di malam hari menggambarkan bahwa sebesar apapun rintangan kehidupan yang kita hadapi harus dihadapi dengan penuh semangat dan rasa optimis.
Pada awalnya, shalat lima waktu yang saat ini wajib kita kerjakan adalah lima puluh waktu, tidak ada sedikitpun protes yang disampaikan Nabi kepada Allah SWT, mungkin tidak seperti kebanyakan manusia yang lebih banyak protes atau mengeluh dibanding kataatan dan ibadahnya.
Kita bisa bayangkan kalau dalam sehari kita diwajibkan mengerjakan shalat sebanyak lima puluh waktu, maka dalam satu jam rata-rata kita mengerjakan dua kali shalat wajib, namun sedikitpun Nabi tidak protes terhadap perintah tersebut.
Baru setelah mendapat masukan dari para Nabi yang saat itu sempat bertemu dengan Nabi Muhammad SAW bahwa umat akhir zaman tidak akan sekuat umat sebelumnya, maka dengan kebijaksanaannya Nabi Muhammad SAW mengajukan pengurangan waktu shalat kepada Allah SWT yang akhirnya menjadi lima waktu. Hal ini pun mengambarkan kepada kita betapa Allah SWT Maha Bijaksana dan Maha Menyayangi hamba-Nya.
Jika setelah dikurangi saja kita masih sering meninggalkan Shalat, maka sebagai seorang hamba sungguhlah keterlaluan bahkan bisa dikatagorikan tidak menghormati perjuangan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika meminta pengurangan waktu tersebut, bahkan lebih jauh bisa masuk katagori tidak menghormati peristiwa Isra Mi’raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, Naudzubillahi min zalik.
Beberapa Peristiwa yang dialami Nabi Muhammad SAW ketika Isra Mi’raj
1. Nabi menghirup udara yang sangat harum, lalu Nabi bertanya kepada Malaikat Jibril yang menemani perjalannya: “Wahai Jibril, wangi apakah ini?”. Jibril menjawab: “Ini adalah wanginya kuburan Siti Masitoh yang rela mengorbankan nyawanya dan nyawa anaknya yang masih bayi dengan dimasukan kedalam kuali panas oleh Fir’aun hanya karena mempertahankan keimanannya kepada Allah SWT.
2. Nabi melihat sebuah kaum yang memukul-mukul kepalanya sendiri sampai hancur dan setelah hancur kembali lagi kebentuk semula, demikian selanjutnya. Nabi bertanya: Wahai Jibril, siapakah mereka?” Jibril menjawab: “Mereka adalah kaum yang keras kepala, dan tidak pernah mau mengerajakan shalat fardhu”.
3. Nabi melihat ada sebuah kaum yang berjalan digiring seperti digiringnya binatang sambil memakan kotoran ahli neraka. Malaikat jibril menjelaskan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa mereka itu adalah orang kaya yang tidak pernah mau bersedekah.
4. Nabi melihat suatu kaum yang memakan daging mentah dan busuk padahal di sana ada daging yang baik dan sudah masak. Nabi bertanya kepada Malaikat Jibril : “Siapa mereka wahai Jibril?” Malaikat Jibril menjawab: “Mereka adalah umatmu yang suka berzina pada hal mereka mempunyai istri yang halal”.
5. Ketika diperjalanan Nabi menemukan sebuah dahan kayu berduri yang melintang di jalan sehingga orang tidak bisa melalui jalan tersebut. Malaikat Jibril menjelaskan bahwa hal tersebut adalah gambaran manusia yang suka membegal atau menghalangi perjalanan. Dan juga menggambarkan orang yang menjadi penghalang orang lain untuk beribadah.
6. Nabi pernah melihat seorang laki-laki yang berenang di sungai darah sambil mengulum batu di mulutnya, Malaikat Jibril menjelaskan bahwa mereka adalah orang yang suka memakan riba.
7. Nabi Menjumpai kaum yang terus menerus mengumpulkan kayu untuk dipikulnya, namun kayu tersebut tidak terpikul karena terus ditambahkannya. Malaikat Jibril menggambarkan mereka adalah orang yang mempunyai amanah tapi tidak menjalankannya dengan benar.
8. Nabi melihat kaum yang terus menurus memotong lidahnya, karena lidahnya tersebut terus menjulur. Malaikat Jibril menjelaskan bahwa mereka adalah gambaran orang yang suka memfitnah dan ‘mengadu domba’ orang lain.
9. Nabi melihat ada kaum yang kukunya panjang dari tembaga, lalu mereka menyakar-nyakar muka dan dadanya. Mereka adalah gambaran orang yang suka mengumpat dan suka menceritakan aib orang lain. Orang seperti ini biasa sebagai orang yang memakan daging saudaranya sendiri.
Referensi:
1. Abu H.F. Ramadlan, BA. Tarjamah Durratun Nasihin. PT. Mahkota. Surabaya. 1987
2. H. Abdullah Syafi’i. Hikayat Isra Mi’raj Jakarta.
Dalam sejarah peradaban Islam, kita mengenal sebuah peristiwa yang sangat monumental, yaitu peristiwa di-isra-kan (berjalan malam dari Masjidil Haram di Makkah sampai Masjidil Aqsha di Palestina)dan di-mi’raj-kannya Nabi Muhammad SAW (Naik dari Masjidil Aqsha sampai ke sidratul Muntaha). Keotentikan peristiwa tersebut diabadikan oleh Allah SWT dalam Al-Qur’an surat Al-Isra ayat 1 yang artinya berbunyi: ” Maha suci Dzat (Allah SWT) yang menjalankan hamba-Nya (Nabi Muhammad SAW) di waktu malam dari Masjidil Haram ke Masjidil Aqsha yang kami liputi dengan keberkahan di sekitarnya agar kami perlihatkan kepadanya sebagian keajaiban kekuasaan kami, sesungguhnya Allah maha mendengar lagi maha melihat”.
Sebagai umat Islam, tentunya kita wajib mempercayai peristiwa tersebut karena walau bagaimanapun Allah SWT mempunyai kekuasaan penuh untuk menggerakan makhluk-Nya, kapanpun dan dimanapun karena kita tahu Allah SWT mempunyai sifat Kudrat.
Karena peristiwa tersebut terjadi bulan Rajab, maka bulan Rajab ini kemudian menjadi salah satu bulan penting. Nabi pernah bersabda:” Bahwasanya Rajab itu bulan Allah, Sya’ban bagiku dan Ramadhan bagi umatku”.
Dalam kitab Durratun Nasihin diceritakan ada seorang wanita di Baitul Muqaddas yang taat beribadah kepada Allah SWT, setiap bulan Rajab tiba ia selalu menyambutnya dan memulyakannya dengan membaca Al-Qur’an, pakaian kebesarannya ia tanggalkan dan digantinya dengan pakaian khusus walau lebih sederhana dari biasanya. Pada suatu bulan Rajab, ia jatuh sakit dan meninggalkan pesan buat putranya agar jika dirinya meninggal nanti dikafani dengan pakaian khusus tersebut. Namun putranya sedikit gengsi, mayat ibunya tersebut dibungkus dengan kain kafan yang lain dan lebih bagus. Maka di malam harinya ia bermimpi ditemui oleh ibunya dan berkata: “ Hai puteraku, kenapa engkau abaikan pesanku, sungguh aku tidak rela kepadamu”. Maka ia pun bangun dan terkejut bercampur rasa takut, akhirnya ia memutuskan untuk menggali kembali makam ibunya. Namun setelah digali, mayat ibunya ternyata sudah hilang hingga ia bingung, menangis dan menyesalinya, dan ketika itu pula terdengar suara yang berbunyi: “Ketahuilah, bahwa orang yang selalu mengagungkan bulan kami, yaitu bulan Rajab, ia tidak mungkin dibiarkan kesepian, menyendiri di dalam kubur”.
Isra Mi’raj dan Perjuangan Hidup Manusia
Oleh-oleh terbesar yang dibawa Nabi Muhammad SAW dari peristiwa Isra Mi’raj tersebut adalah disyari’atkannya Shalat lima waktu. Sepintas muncul pertanyaan kenapa Allah SWT ‘repot –repot’ menyuruh Nabi berjalan dan naik ke Sidratul Muntaha hanya untuk memerintahkan Shalat, bukankah Allah SWT sangat berkuasa untuk menyampaikannya secara langsung atau lewat malaikat Jibril seperti perintah-perintah yang lain, terlebih kita tahu bahwa Nabi Muhammad SAW adalah makhluk kesayangan-Nya.
Hal ini menggambarkan bahwa peristiwa Isra Mi’raj mengajarkan kepada kita bahwa hidup ini adalah perjuangan, kita diajarkan untuk menyusuri dan menaiki tangga kehidupan layaknya Nabi berjalan dan naik ke Sidratul Muntaha, dan terjadi di malam hari menggambarkan bahwa sebesar apapun rintangan kehidupan yang kita hadapi harus dihadapi dengan penuh semangat dan rasa optimis.
Pada awalnya, shalat lima waktu yang saat ini wajib kita kerjakan adalah lima puluh waktu, tidak ada sedikitpun protes yang disampaikan Nabi kepada Allah SWT, mungkin tidak seperti kebanyakan manusia yang lebih banyak protes atau mengeluh dibanding kataatan dan ibadahnya.
Kita bisa bayangkan kalau dalam sehari kita diwajibkan mengerjakan shalat sebanyak lima puluh waktu, maka dalam satu jam rata-rata kita mengerjakan dua kali shalat wajib, namun sedikitpun Nabi tidak protes terhadap perintah tersebut.
Baru setelah mendapat masukan dari para Nabi yang saat itu sempat bertemu dengan Nabi Muhammad SAW bahwa umat akhir zaman tidak akan sekuat umat sebelumnya, maka dengan kebijaksanaannya Nabi Muhammad SAW mengajukan pengurangan waktu shalat kepada Allah SWT yang akhirnya menjadi lima waktu. Hal ini pun mengambarkan kepada kita betapa Allah SWT Maha Bijaksana dan Maha Menyayangi hamba-Nya.
Jika setelah dikurangi saja kita masih sering meninggalkan Shalat, maka sebagai seorang hamba sungguhlah keterlaluan bahkan bisa dikatagorikan tidak menghormati perjuangan yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW ketika meminta pengurangan waktu tersebut, bahkan lebih jauh bisa masuk katagori tidak menghormati peristiwa Isra Mi’raj yang dilakukan oleh Nabi Muhammad SAW, Naudzubillahi min zalik.
Beberapa Peristiwa yang dialami Nabi Muhammad SAW ketika Isra Mi’raj
1. Nabi menghirup udara yang sangat harum, lalu Nabi bertanya kepada Malaikat Jibril yang menemani perjalannya: “Wahai Jibril, wangi apakah ini?”. Jibril menjawab: “Ini adalah wanginya kuburan Siti Masitoh yang rela mengorbankan nyawanya dan nyawa anaknya yang masih bayi dengan dimasukan kedalam kuali panas oleh Fir’aun hanya karena mempertahankan keimanannya kepada Allah SWT.
2. Nabi melihat sebuah kaum yang memukul-mukul kepalanya sendiri sampai hancur dan setelah hancur kembali lagi kebentuk semula, demikian selanjutnya. Nabi bertanya: Wahai Jibril, siapakah mereka?” Jibril menjawab: “Mereka adalah kaum yang keras kepala, dan tidak pernah mau mengerajakan shalat fardhu”.
3. Nabi melihat ada sebuah kaum yang berjalan digiring seperti digiringnya binatang sambil memakan kotoran ahli neraka. Malaikat jibril menjelaskan kepada Nabi Muhammad SAW bahwa mereka itu adalah orang kaya yang tidak pernah mau bersedekah.
4. Nabi melihat suatu kaum yang memakan daging mentah dan busuk padahal di sana ada daging yang baik dan sudah masak. Nabi bertanya kepada Malaikat Jibril : “Siapa mereka wahai Jibril?” Malaikat Jibril menjawab: “Mereka adalah umatmu yang suka berzina pada hal mereka mempunyai istri yang halal”.
5. Ketika diperjalanan Nabi menemukan sebuah dahan kayu berduri yang melintang di jalan sehingga orang tidak bisa melalui jalan tersebut. Malaikat Jibril menjelaskan bahwa hal tersebut adalah gambaran manusia yang suka membegal atau menghalangi perjalanan. Dan juga menggambarkan orang yang menjadi penghalang orang lain untuk beribadah.
6. Nabi pernah melihat seorang laki-laki yang berenang di sungai darah sambil mengulum batu di mulutnya, Malaikat Jibril menjelaskan bahwa mereka adalah orang yang suka memakan riba.
7. Nabi Menjumpai kaum yang terus menerus mengumpulkan kayu untuk dipikulnya, namun kayu tersebut tidak terpikul karena terus ditambahkannya. Malaikat Jibril menggambarkan mereka adalah orang yang mempunyai amanah tapi tidak menjalankannya dengan benar.
8. Nabi melihat kaum yang terus menurus memotong lidahnya, karena lidahnya tersebut terus menjulur. Malaikat Jibril menjelaskan bahwa mereka adalah gambaran orang yang suka memfitnah dan ‘mengadu domba’ orang lain.
9. Nabi melihat ada kaum yang kukunya panjang dari tembaga, lalu mereka menyakar-nyakar muka dan dadanya. Mereka adalah gambaran orang yang suka mengumpat dan suka menceritakan aib orang lain. Orang seperti ini biasa sebagai orang yang memakan daging saudaranya sendiri.
Referensi:
1. Abu H.F. Ramadlan, BA. Tarjamah Durratun Nasihin. PT. Mahkota. Surabaya. 1987
2. H. Abdullah Syafi’i. Hikayat Isra Mi’raj Jakarta.