Dalam bahasa Arab lafadz al-Qur'an adalah bentuk mashdar yang maknanya sinonim dengan "qira'ah", yang berarti "bacaan"[1]. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Qiyamah ayat 17-18:
اِنَّ عَلَيْنَا جَمْعَه وَقُرْانَه . فَإِﺫَﺍ قَرَأْ نَه فَاتَّبِعْ قُرْانَه (القيامة : 17-18)
Artinya: "Sesungguhnya atas tanggungan Kamilah mengumpulkannya dan membacanya. Apabila Kami telah selesai membacakannya maka ikutilah bacaannya itu. (Q.S. Al- Qiyamah, 17-18).
Kemudian kata "al-Qur'an" itu dipergunakan untuk nama kitab suci terakhir yang telah diwahyukan kepada Nabi Muhammad SAW. Allah SWT berfirman dalam Surah Al-Baqarah ayat 185:
شَهْرُ رَمَضَانَ الَّذِى اُنْزِلَ فِيْهِ الْقُرْأن (البقرة : 185)
Artinya: "Bulan Ramadhan, bulan yang di dalamnya diturunkan (permulaan) Al-Qur'an". (Q.S. Al-Baqarah, 185).
Dalam pengertian istilah, al-Qur'an biasa didefinisikan sebagai firman Allah yang bersifat mukjizat ( sebagai bukti kebenaran atas kenabian Muhammad SAW) yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW yang (telah) tertulis di dalam mushaf-mushaf yang sampai kepada kita dengan jalan mutawatir dan dipandang ibadah membacanya"[2]. Definisi tersebut memberikan pengertian bahwa firman Allah SWT yang diturunkan kepada nabi-nabi sebelum Nabi Muhammad SAW tidak disebut al-Qur'an, begitu pula firman Allah SWT yang diturunkan kepada Nabi Muhammad yang tidak tertulis dalam mushaf-mushaf tidak disebut Al-Qur'an juga.
Di zaman sahabat, proses pemahaman tentang kandungan al-Qur'an tidak terlalu banyak masalah, kalaupun menghadapi kesukaran mereka menanyakan langsung kepada Nabi Muhammad SAW. Kemudian dalam perkembangan berikutnya (sepeninggal Nabi Muhammad SAW), muncul berbagai persoalan dalam al-Qur'an yang belum ada penjelasannya, hal ini mendorong munculnya ijtihad para sahabat untuk menafsirkannya.
Untuk menghasilkan sebuah penafsiran yang sesuai dengan substansi ayatnya, maka diperlukan sebuah ilmu yang mengkaji berbagai hal tentang al-Qur'an tersebut. Maka muncullah beberapa kajian ilmu yang membahas al-Qur'an dari berbagai perspektif, diantara ilmu-ilmu al-Qur'an yang sangat berpengaruh pada penafsiran kandungannya adalah: ilmu Asbabun Nuzul, ilmu tentang Makiyah dan Madaniyah, ilmu Nasikh dan Mansukh, ilmu Rasamul Qur'an, serta ilmu yang membahas ayat Muhkamat dan Mutasyabihat[3]. Bahkan pada perkembangan selanjutnya muncul ilmu-ilmu al-Qur'an yang lain seperti Ilmu Bada'iul Qur'an,(yang membahas tentang keindahan al-Qur'an), Ilmu Hujajul Qur'an, Ilmu Aqsamul Qur'an dan Ilmu Amtsalul Qur'an[4]. yang kemudian ilmu-ilmu tersebut terkumpul dalam satu ilmu yang disebut Ulumul Qur'an..
Sebagian para peneliti sejarah al-Qur'an mengatakan bahwa istilah Ulumul Qur'an muncul setelah terbitnya kitab al-Burhan Fi Ulumil Qur'an (Pembuktian Tentang Ilmu Ilmu al-Qur'an) karya Ali bin Ibrahim bin Sa'id yang terkenal dengan nama al-Hufi (wafat 430 H)[5]. Namun Dr. Subhi As-Shalih berpendapat bahwa ada kitab yang membahas masalah al-Qur'an yang lebih dulu muncul dengan judul Ulumul Qur'an karya Ibnul Mirzaban pada abad ke-3 H.[6]
B. ULUMUL QUR'AN (Ilmu-ilmu al-Qur'an)
1. Asbabun Nuzul (Sebab Turunnya)
Asbabun Nuzul adalah sesuatu yang menjadi sebab turunnya sebuah ayat atau beberapa ayat, atau suatu pertanyaan yang menjadi sebab turunnya ayat sebagai jawaban, atau sebagai penjelasan yang diturunkan pada waktu terjadinya suatu peristiwa[7]. Namun demikian, ada ayat yang turunnya tidak disebabkan oleh adanya suatu peristiwa, seperti ayat-ayat tentang kisah para Nabi terdahulu, dan umatnya masing-masing atau yang menerangkan beberapa kejadian di masa lampau atau yang berupa berita-berita ghaib di masa mendatang. Ayat-ayat yang melukiskan terjadinya hari kiamat akan disaksikan manusia pada saat itu juga, begitu juga ayat-ayat yang menjelaskan nikmat surga serta adzab neraka dan banyak ayat lainnya lagi di dalam al-Qur'an yang diturunkan Allah SWT untuk menuntun manusia ke jalan yang lurus. Dengan demikian tidak semua ayat memerlukan pengkajian tentang sebab-sebab turunnya (Asbabun Nuzulnya).
Mengungkapkan Asbabun Nuzul melalui kisah adalah salah satu cara menerangkan al-Qur'an secara jelas mengenai sesuatu yang bernilai tinggi, sehingga kita tidak terperosok pada kebingungan dan keragu-raguan. Seandainya tidak ada penjelasan mengenai Asbabun Nuzul, mungkin sampai saat ini masih ada orang yang menghalalkan arak atau minuman keras lainnya yang memabukan berdasarkan bunyi harfiyah sural al-Ma'idah, 93:
لَيْسَ عَلَى الَّذِيْنَ أمَنُوْا وَعَمِلُوْاالصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيْمَا طَعِمُوْا (المعدة:93)
Artinya: "Tiada dosa bagi orang-orang yang beriman dan berbuat kebajikan (jika) mereka itu makan makanan yang dahulu telah mereka makan" (Q.S. al-Maidah : 93)
Diriwayatkan, Utsman bin Madzghun dan Amr bin Ma'ad mengatakan: Khamr adalah Mubah (halal) dengan bersandar pada dalil tersebut. Mereka tidak mengetahui sebab turunnya ayat-ayat yang melarang minuman keras. Padahal setelah ayat yang mengharamkan khamr turun ada yang bertanya: "Lantas bagaimana teman-teman kita yang telah mati dalam keadaan perutnya berisi khamr, sedangkan Allah telah memberitahu kita bahwa minum khamr itu perbuatan keji dan dosa?!" Tidak lama kemudian turunlah ayat tersebut di atas[8].
2. Makiyah dan Madaniyah
Bidang pengetahuan yang menjadi cakupan ilmu al-Makkiy wal Madaniy demikian luas sehingga objek penelitiannya pun banyak dan berlainan. Ia sekaligus merupakan pengetahuan tentang urutan waktu turunnya Surah dan ayat, mengenai kepastian tempat turunnya, pemilahan-pemilahan soal dan temanya serta penentuan oknum yang dimaksud oleh suatu ayat.
Secara umum para ulama berpendapat bahwa ayat Makiyah merupakan dialog kepada penduduk Mekah dan ayat Madaniyah merupakan dialog kepada penduduk Madinah. Oleh sebab itu, definisi Makiyah dan Madaniyah yang sudah dikenal luas, yaitu bahwa ayat Makiyah ialah ayat yang turun sebelum Hijrah sekalipun turun di luar mekah, dan ayat Madaniyah ialah ayat yang turun sesudah hijrah sekalipun turunnya di Mekah[9].
Adapun ciri-ciri Surah Makiyah dan Madaniyah, Dr. Subhi As-Shalih dalam bukunya: Membahas Ilmu-Ilmu Al-Qur'an[10], menjelaskan sebagai berikut:
a. Ciri-ciri Makiyyah antara lain:
1. Surah yang di dalamnya terdapat Sajdah
2. Surah yang didalamnya terdapat lafadz Kalla (Sekali-kali tidak demikian). Dan itu hanya terdapat pada bagian pertengahan sampai akhir al-Qur'an.
3. Surah yang di dalamnya terdapat kalimat Yaa ayyuhannas (Wahai manusia), kecuali Surah al-Haj yang pada bagian akhirnya ada terdapat kalimat Yaa ayyuhal-ladzina aamanuu (Wahai orang-rang yang beriman).
4. Surah yang di dalamnya terdapat kisah para Nabi dan umat-umat terdahulu, kecuali al-Baqarah.
5. Surah yang di dalamnya kisah Nabi Adam dan Iblis kecuali al-Baqarah.
6. Surah yang diawali dengan huruf-huruf hija'iyyah, seperti Alif Laam Miim, kecuali dua surah, yaitu al-Baqarah dan Ali Imran.
7. Ayat-ayat maupun surah-surahnya pada umumnya pendek-pendek, dan ringkas.
8. Da'wah mengenai pokok-pokok keimanan, budi pekerti dan amal kebajikan.
9. Sanggahan terhadap kaum musrikin dan celaan terhadap alam fikiran mereka.
10. Banyak pernyataan sumpah sebagaimana lazim menjadi kebiasaan orang-orang Arab.
b. Ciri-ciri surah Madaniyah, antara lain:
1. Surah yang terdapat di dalamnya soal peperangan.
2. Surah yang di dalamnya terdapat rincian hukum hadd, fara'idh, hukum sipil, hukum sosial dan hukum antar-negara.
3. Surah yang di dalamnya terdapat uraian tantang kaum munafik, kecuali surah al-Ankabut, yang makkiyah, selain 11 ayat pada pendahulunya adalah Madaniyyah.
4. Bantuan terhadap Ahlul Kitab dan serua agar meraka meninggalkan sikap berlebihan dalam mempertahankan agamanya.
5. Sebagian besar ayat-ayatnya panjang-panjang.
6. Mengemukakan dalil-dalil dan pembuktian mengenai kebenaran Islam secara rinci.
3. Nasikh dan Mansukh
فَيَنْسَخُ اللهُ مَا يُلْقِي الشَّيْطَانُ ثُمَّ يُحْكِمُ اللهُ أيَاتِهِ (الحج : 52)
Artinya: "Allah kemudian meniadakan apa yang dimasukan oleh setan, lalu Allah memperkuat ayat-ayat-Nya" (Al-Haj : 52)[11].
Kadang-kadang kata Naskh juga bermakna "penggantian" (tabdiil) karena memang ada ayat yang menerangkan bahwa ada penggantian suatu ayat dengan ayat yang lain seperti terungkap dalam surah an-Nahl ayat 101:
وَاِذَا بَدَّ لْنَا أيَةً مَكَانَ أيَةٍ (النحل : 101)
Artinya: "Dan jika Kami gantikan sebuah ayat dengan ayat yang lain". (An-Nahl : 101)[12]
Adakalanya bermakna "pengalihan" (tahwit) seperti yang berlaku di dalam peristilahan ilmu Fara'id yaitu tanaasukhul-mawaariits[13] (yakni pengalihan bagian harta warits dari A ke pada B). Dan adakalanya juga bermakna "pemindahan" (naqt) dari suatu tempat ke tempat lain, misalnya kalimat nasakhtul kitaaba yang berarti "memindahkan" atau " mengutip" isi buku persis menurut kata dan penulisannya.
Dr. Subhi As-Shalih berpendapat bahwa kata nasakh dengan makna "mencabut hukum syari'at dengan dalil syari'at" (Raf'ul hukmy syar'iyyi bi dalilin syar'iyyi) dianggap sebagai definisi yang paling cermat[14], dan definisi tersebut sejalan dengan bahasa Arab yang mengartikan kata nasakh sama dengan "meniadakan" atau "mencabut". Beberapa ketentuan hukum syariat yang oleh Syar'i (Allah dan Rasul-Nya) dipandang tidak perlu dipertahankan, dicabut dengan dalil-dalil yang kuat dan jelas serta berdasarkan kenyataan yang dapat dimengerti, dan sesuai dengan kondisi.
Pada zaman sebelum munculnya Abu Muslim al-Asfahani[15], jumhur ulama tanpa ragu membolehkan menetapkan sendiri ayat-ayat mana yang nasikh dan mana yang mansukh, bahkan sampai berlebihan. Kemudian setelah muncul Abu Muslim yang berpendapat bahwa nasikh sama sekali tidak membatalkan (menghapuskan) ayat-ayat al-Qur'an, baik secara garis besar maupun rinciannya. Ia hanya membatalkan segi-segi pengertian yang dipandangnya berlawanan dengan firman Allah surah al-Fushshilat, 42:
لاَ يَأْتِيْهِ الْبَاطِلُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ (الفصلت: 42)
Artinya: "Tiada kebatilan apapun di dalam al-Qur'an" (Q.S. Al-Fushshilat: 42)
Atas dasar itu ia lebih suka menyebut kata nasakh dengan istilah takhshish (membatasi keumuman sesuatu hanya pada bagian-bagiannya) untuk menghindari pengertian adanya pembatalan hukum al-Qur'an yang diturunkan Allah SWT.
Namun demikian, pendapat Abu Muslim tersebut banyak mendapat kritikan dan dianggap "tidak sopan" terhadap Allah karena lebih suka memakai kata takhshish yang dibuatnya sendiri daripada menggunakan kata naskh yang dinyatakan dalam al-Qur'an. Allah SWT berfirman dalam surah al-Baqarah, 106: Setiap ayat yang kami nasakh, atau yang kami jadikan (manusia) lupa kepadanya, tentu Kami ganti dengan yang lebih baik daripadanya atau yang sebanding dengannya.
Az-Zarqani[16] mengatakan, orang-orang yang mengingkari adanya nasakh lupa bahwa Allah SWT pada saat menaskh beberapa ketentuan hukum-Nya bukan karena ada soal baru yang tidak diketahui sebelumnya, tapi Allah sejak azali telah mengetahui soal nasikh dan mansukh sebelum kedua soal itu disyari'atkan bagi hamba-hamba-Nya. Allah Maha Mengetahui bahwa pe-naskh-an hukum yang di-nasakh adalah untuk kepentingan suatu hikmah atau suatu kemaslahatan hingga waktu tertentu. Di samping itu Allah pun mengetahui bahwa hukum yang me-nasakh ditetapkan untuk kepentingan suatu hikmah atau kemaslahatan yang lain.
Diantara ayat yang termasuk di nasakh antara lain surah al-Baqarah ayat 218 tentang haramnya berperang yang berbunyi:
يَسْئَلُونَكَ عَنِ الشَّهْرِ الحَرَامِ قِتَالٌ فِيْهِ قُلْ قِتَالٌ فِيْهِ كَبِيْرٌ (البقرة : 217)
Artinya: "Mereka bertanya kepadamu tentang berperang pada bulan Haram. Katakanlah: "Berperang dalam bulan itu adalah dosa besar" (Q.S. al-Baqarah: 217)
Syekh Mohammad Aly Syaisy[17] mengatakan bahwa para ulama ada yang me-nasakh ayat tersebut dengan ayat yang berbunyi:
قَاتِلُوْا المُشْرِكِيْنَ كَافَّةً كَمَا يُقَاتِلُونَكُمْ كَافَّةً
Ibnu Arabi[18] meriwayatkan bahwa ayat tersebut membolehkan memerangi orang musyrik (yang memerangi kita) walaupun pada bulan haram.
4. Ilmu Rasamul Qur'an (Tulisan Al-Qur'an)
Pada zaman Khalifah Utsman bin Affan dibentuk sebuah kepanitiaan yang bertugas menulis beberapa naskah al-Qur'an untuk disebarkan ke daerah-daerah Islam. Dalam proses penyusunan dan penulisannya mereka menempuh cara yang direstui oleh Khalifah, oleh sebab itu para ulama menamainya Rasam Utsmani.
Zarqani[19] dalam bukunya, Manahilul Irfan berpendapat tak ada salahnya memandang beberapa keistimewaan rasam Utsmani sebagai "petunjuk" tentang adanya makna rahasia yang sangat halus. Misalnya tambahan huruf yaa(ي) dalam penulisan lafadz بأيد (biaidin – dengan tangan-tangan) yang dalam ayat ke-47 surah adz-dzariyat bermakna" dengan kekuatan atau dengan kekuasaan" ditulis dengan tambahan huruf yaa (ي) menjadi بأييد . Zarqani berpendapat bahwa penulisan seperti itu dianggap sebagai isyarat mengagungkan kekuatan Allah dan kekuasaan-Nya yang telah membangun (menciptakan) langit. Penta'wilan tersebut didasarkan pada sebuah kaidah "Tambahan mabniy menunjukan adanya tambahan makna"[20].
Banyak ulama yang menyatakan pendapat mengenai keharusan berpegang teguh pada rasam utsmani sehingga Imam Ahmad bin Hanbal menegaskan:" Diharamkan menulis al-Qur'an dengan cara yang menyalahi tulisan mushaf Utsman, baik mengenai huruf-huruf wawu, alif, yaa ataupun yang lainnya[21]. Namun demikian ada juga ulama yang mengatakan bahwa Rasam Qur'ani adalah Tauqif artinya atas dasar tuntunan dan petunjuk dari Rasulullah SAW. Seperti yang diungkapkan Ibnu Mubarak[22].
5. Ilmu tentang Muhkamat dan Mutasyabihat.
Ayat Muhkamat ialah ayat terang maknanya serta lafadznya yang diletakan untuk suatu makna yang kuat dan dapat dipahami. Sedangkan ayat Mutasyabihat ialah ayat-ayat yang bersifat mujmal (global) yang memerlukan perincian, yang mu'awwal (memerlukan ta'wil) dan yang musykil (sukar dipahami).
Diantara ayat Mutasyabihat adalah ayat:
اَلرَّحْمنُ عَلَى الْعَرْشِ اسْتَوَى (طه :5)
Artinya: "(Allah) Yang Maha Pemurah, Yang bersemayam di atas Arsy" (Q.S. Thoha: 5).
Kaum Salaf (ulama generasi sahabat) mengimani ayat mutasyabihat dan menyerahkan maknanya kepada Allah SWT, sementara ulama Khalaf mengartikan (menta'wilkan) lafadz (استوى) dengan Maha Berkuasa menciptakan segala sesuatu tanpa susah payah[23].
PENUTUP
Al-Qur'an memuat pesan yang sebagian besar masih bersifat global dan bahkan tidak sedikit yang maknanya masih samar. Oleh sebab itu perlu adanya orang yang memfokuskan diri dan pikirannya untuk memahami, menghayati dan mengeluarkan hukum yang terkandung dalam pesan-pesan tersebut agar dapat dijadikan dasar utama penetapan hukum yang pada akhirnya pesan itu dapat diaplikasikan dalam kehidupan. Untuk bisa masuk ke "wilayah tersebut" tentunya dibutuhkan satu ilmu dan kemampuan mendasar tentang ilmu-ilmu al-Qur'an. Atas dasar itulah maka peranan Ulumul Qur'an begitu urgen. Semoga tulisan ini termasuk salah satu proses bagi penulis untuk masuk ke dunia tersebut. Amiin.
Wallahu'alam bi shawab.[1] Subhi As-Shalih, MembahasIlmu-Ilmu Al-Qur'an, (
[2] Chatibul Umam, Qur'an Hadits( Kudus: Menara Kudus, 1994) hal 14.
[3] Subhi As-Shalih, MembahasIlmu-Ilmu Al-Qur'an, (
[4] Ibid, hal. 160
[5] Ibid, hal 161.
[6] Ibid, hal 162.
[7] Ibid, hal 174.
[8] Al-Wahidi, Asbabun Nuzul. Hal. 197
[9] Subhi As-Shalih, MembahasIlmu-Ilmu Al-Qur'an, (
[10] Ibid, hal. 250.
[11] Al-Burhan II hal. 29
[12] Al-Itqan, II hal 32
[13] AL-Burhan, II hal 29
[14] Subhi As-Shalih, MembahasIlmu-Ilmu Al-Qur'an, (
[15] Wafat tahun 322H. Ulama tafsir penganut Mu'tajilah.
[16] Manahilul Irfan, I hal. 78
[17] Syekh Moh. Ali Syaisy, Tafsir Ayat Ahkam, hal. 118
[18] Ibid
[19] Ibid, hal. 376
[20] Ibid,
[21] Al-Itqan, II hal 283.
[22] Subhi As-Shalih, MembahasIlmu-Ilmu Al-Qur'an, (
[23] Ibid, hal. 405.