Kamis, 29 September 2011

Kemuliaan Mengalahkan Kebencian

Oleh: Prof Dr Yunahar Ilyas
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Kamis, 29 September 2011

Adi bin Hatim adalah kepala suku Thai yang disegani. Dia mewarisi kepemimpinan bapaknya. Sebagaimana kepala suku, Adi menerima seperempat penghasilan kaumnya sebagai pajak. Hidupnya tenang dengan kekayaan yang melimpah.

Dia sangat membenci Rasulullah SAW, kendati dia belum pernah bertemu. Adi semakin gelisah setelah mendengar kabar pengaruh Rasulullah semakin kuat di jazirah Arabia. Beberapa kepala suku sudah memeluk Islam dan bergabung dengan Madinah. Adi khawatir kedatangan Rasulullah SAW akan mengancam kepemimpinannya.

Satu hari, hamba sahayanya melaporkan bahwa dia melihat bendera tentara Muhammad di sekeliling perkampungan mereka. Dengan tergesa-gesa, Adi mengumpulkan keluarganya dan segera lari meninggalkan Thai menuju utara, Syam. Tetapi, saudara perempuannya tertinggal. Dia tidak berani kembali. Dia hanya bisa berharap saudara perempuannya dapat menyusul.

Harapannya terpenuhi. Saudara perempuannya muncul bersama rombongan yang baru datang dari Madinah, sambil marah. "Engkau tinggalkan kami. Engkau zalim. Istri dan anak-anakmu engkau bawa, tetapi saudara perempuanmu dan yang lainnya engkau tinggalkan." Adi berusaha menenangkan kemarahan saudara perempuannya. Setelah tenang, dia bercerita akan kemuliaan Nabi Muhammad.

"Setelah negeri kita diserang, aku dan berapa penduduk lain dibawa ke Madinah," kata saudara perempuannya itu. "Di sana kami ditawan di dekat masjid. Ketika Rasulullah lewat aku menyapanya. Wahai Rasulullah. Bapakku telah tiada, yang menjaminku telah lenyap. Maka, limpahkanlah karunia yang dikaruniakan Allah kepada Anda." Rasulullah bertanya, "Siapa yang menjamin engkau?" Aku menjawab, "Adi bin Hatim." Kata Rasulullah, "Dia lari dari Allah dan Rasul-Nya."

Kemudian, Rasul SAW berlalu. Besoknya, terjadi lagi dialog yang sama. "Pada hari ketiga, Rasulullah lewat tetapi aku tidak menyapa beliau lagi sampai seorang laki-laki -yang kemudian kuketahui adalah Ali bin Abi Thalib- memberi isyarat kepadaku untuk menyapa beliau. Kali ketiga itulah permintaanku dipenuhi. Rasulullah berkata, "Engkau jangan terburu-buru pergi sebelum engkau dapatkan orang yang dapat dipercaya untuk mengantarkanmu." Setelah mendapatkan orang yang dipercaya, Rasulullah memberiku pakaian, unta untuk kendaraan, dan belanja secukupnya. Akhirnya dengan rombongan yang dipercaya, aku sampai di sini," tuturnya.

Adi disarankan untuk menemui Rasulullah. "Datangilah segera. Jika dia seorang Nabi, maka yang paling dahulu mendatanginya akan beruntung. Dan jika dia seorang raja, tidak ada hinanya engkau berada di sampingnya. Engkau juga seorang raja."

Akhirnya Adi pergi ke Madinah. Dia masuk ke majelis Nabi SAW ketika beliau berada di masjid. Mengetahui yang datang adalah Adi bin Hatim, Rasulullah berdiri menyongsongnya. Menggandeng tangan Adi, membawanya ke rumah beliau, dipersilakan duduk di atas bantal kulit. Sedangkan Rasulullah sendiri duduk di tikar biasa. Adi berguman, "Ini bukan kebiasaan raja-raja."

Setelah berdialog beberapa saat akhirnya Adi mengucapkan dua kalimah syahadat. Kebenciannya luluh oleh kemuliaan hati Rasulullah SAW.

Minggu, 25 September 2011

Tadabur Ayat dan Alam

Oleh Muhbib Abdul Wahab
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Sabtu, 24 September 2011

Diriwayatkan Ibn Hibban bahwa suatu hari Ubaid bin Umar dan Atha' menemui Aisyah ra, dengan maksud belajar tentang Islam. Ubaid berkata, "Wahai Aisyah sampaikanlah kepada kami sesuatu yang paling mengagumkan dari kehidupan Rasulullah SAW." Mendengar permintaan itu, Aisyah menangis. Setelah itu, ia menceritakan bagaimana Rasul beribadah dan bertadabur di malam hari.

Kata Aisyah, Rasulullah pernah shalat tahajud sangat lama. Beliau meminta Aisyah membiarkannya berlama-lama dalam beribadah kepada Tuhan-Nya. Aisyah berkata, "Demi Allah, aku ingin selalu dekat denganmu dan melakukan sesuatu yang membahagiakanmu." Rasul hanya tersenyum, kemudian melanjutkan shalat tahajud.

Aisyah mengisahkan, saat shalat, Rasul menitikkan air mata. Air mata itu mula-mula hanya membasahi pipi, lalu jenggot beliau, sampai akhirnya membasahi tanah tempat beliau shalat. Rasul tak henti-hentinya menangis dalam shalat itu, hingga Bilal mengumandangkan azan Subuh. Aisyah bertanya, "Mengapa engkau menangis seperti itu? Tidakkah Allah telah mengampuni dosamu yang lalu maupun yang akan datang?" Rasul menjawab, "Sungguh aku ingin menjadi hamba Allah yang pandai bersyukur!"

Rasul melanjutkan, "Wahai Aisyah, aku menangis seperti itu karena Allah baru saja menurunkan ayat kepadaku. Orang yang membaca ayat (QS Ali Imran [3]:190-191) ini, akan celaka jika tidak menadaburinya.

Tadabur artinya memahami dan merenungkan makna untuk kemudian menjadikannya sebagai pelajaran. Salah satu cara tadabur ayat yang diteladankan Rasul adalah membaca ayat dalam shalat tahajud secara tartil, penuh penghayatan, dan keterlibatan hati dan pikiran kemudian mengamalkannya dalam kehidupan.

Ayat yang dibaca Rasul dalam shalat tahajud tersebut tidak hanya mengharuskan kita tadabur ayat Alquran, tapi juga tadabur alam (ayat-ayat kauniyyah). Alam sangat sarat dengan tanda-tanda kekuasaan, kebesaran, dan keagungan Allah. Tadabur ayat menjadi lengkap dan seimbang jika disertai dengan tadabur alam.

Tadabur ayat dan tadabur alam sama-sama bernilai ibadah. Tadabur ayat mengantarkan kita pada pemahaman dan pemaknaan teks kitab suci, sedangkan tadabur alam membimbing kita untuk mengerti konteks, hukum-hukum kausalitas, dan hidup harmoni kepada alam raya. Tadabur ayat dan alam mengharuskan kita bersikap rendah hati terhadap keagungan Ilahi. Keduanya memotivasi kita untuk selalu membaca, meneliti, memahami, dan mengaktualisasikan diri kita menjadi hamba yang pandai bersyukur.

Dengan demikian, kita baru layak disebut hamba yang pandai bersyukur, jika selalu melakukan tadabur ayat-ayat Quraniah sekaligus ayat-ayat kauniyyah secara terpadu dan seimbang. Merasakan dan memahami kebesaran Allah tidak cukup melalui ibadah ritual seperti shalat, tapi harus pula melalui penelitian dan permenungan terhadap aneka ciptaan Allah di alam raya ini.

Integrasi pemahaman ayat-ayat Quraniah dan ayat-ayat kauniyyah idealnya merupakan basis pengembangan imtak dan ipteks (ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni). Karena itu, setiap Muslim harus meyakini bahwa semua ciptaan Allah di alam raya ini dapat menjadi "laboratorium hidup" bagi kita semua.

Kamis, 22 September 2011

Kiat Memelihara Ilmu

Oleh Muhammad Kosim MA
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Kamis, 22 September 2011

Ilmu pengetahuan sangat menentukan kesuksesan dan kebahagiaan seseorang. Dengan ilmu, harkat dan martabat seseorang bisa terangkat. (QS al-Mujadilah [58]: 11). Dan, dengan ilmu pula seseorang mudah melakukan perubahan hidupnya ke arah yang lebih baik. Rasulullah SAW pun menegaskan bahwa ilmu menjadi syarat utama untuk mencapai kebahagiaan dunia dan akhirat.

Hanya saja, tidak semua orang yang telah memperoleh ilmu mampu memeliharanya. Akibatnya, ia termasuk kepada kelompok orang-orang yang lupa (ghafilun). Lupa yang dimaksud bisa dalam dua hal. Pertama, lupa dalam bentuk ingatan sehingga apa yang telah ia ketahui dan pelajari tidak mampu ia kemukakan. Lupa jenis kedua adalah dalam bentuk perilaku, yaitu tidak sesuai antara apa yang ia ketahui dengan yang dilakukan.

Kedua bentuk lupa tersebut diakibatkan oleh tidak terpeliharanya ilmu sehingga ilmunya tidak memperoleh keberkahan. Karena itu, perlu dilakukan berbagai upaya agar ilmu itu tetap terpelihara dan menjadi sikap batin yang memengaruhi perbuatan seseorang.

Rasulullah SAW mengemukakan lima kiat agar ilmu tetap terpelihara. Pertama, shalat malam walau hanya dua rakaat. Udara di malam hari sangat segar dan baik untuk kesehatan. Ketika seseorang sujud di waktu tahajud, maka darah yang mengandung oksigen dari udara yang segar itu akan mengalir ke sel-sel syaraf otak. Hal ini akan berdampak positif terhadap kecerdasan otak itu sendiri. Kalbu pun memperoleh ketenangan dan terhindar dari penyakit-penyakit hati.

Kedua, senantiasa dalam keadaan berwudhu (dawamul wudhu'). Setiap kali wudhu batal, maka ia segera memperbaharuinya. Intinya, ia selalu memelihara kesucian dirinya, baik secara lahiriah maupun batiniah. Imam Syafii berkata, "Aku mengeluh kepada guruku (Imam Waqi) akan jeleknya hafalanku, maka guruku menasihati untuk meninggalkan maksiat. Karena sesungguhnya, ilmu itu adalah cahaya Allah dan cahaya itu tidak akan diberikan kepada orang yang bermaksiat."

Ketiga, senantiasa bertakwa, baik dalam keadaan terang-terangan maupun sembunyi-sembunyi (at-taqwa fissirri wal 'alaniyah). Takwa berarti tidak bermaksiat sehingga menutup hidayah Allah. Keempat, memakan makanan yang bernilai takwa, bukan memenuhi keinginan syahwat (an ya'kula littaqwa la lisysyahawat). Makanan yang bernilai takwa adalah makanan yang halal lagi baik (halalan tayyiban).

Imam al-Ghazali mengatakan, sesuap makanan yang haram dikonsumsi seseorang akan menjadi darah yang mengalir ke otaknya sehingga otaknya cenderung berpikir pada hal-hal yang diharamkan. Akibatnya, ilmu yang merupakan cahaya Allah (nur Allah) akan terhijab karena haramnya makanan tersebut. Sebaliknya, jika makanan itu tidak bergizi, maka daya tahan tubuhnya akan mudah terserang penyakit.

Kelima, bersiwak untuk menjaga kebersihan mulut. Siwak ini tidak hanya sebatas pengertian fisik membersihkan gigi, tetapi juga menjaga kebersihan lidah untuk selalu berkata jujur, tidak bohong, dan tidak berkata kotor. Dengan kelima kiat tersebut, insya Allah, ilmu yang ada akan terpelihara dengan baik. Wallahu a'lam.

Senin, 12 September 2011

Hikmah Idul Fitri

Oleh: Ade Zaenudin, S.Ag

Dikisahkan pada zaman Rasulullah SAW ada seorang pemuda yang giat beribadah, rajin sholat, sering puasa dan suka bershodaqoh, dia bernama Alqomah. Suatu ketika dia sakit keras, bahkan sudah dalam keadaan sekarat, namun tidak kunjung meninggal dan tidak bisa mengucapkan “La ilaha illallah”. Para sahabat langsung melaporkan kejadian tersebut pada Rasulullah SAW dan Rasul pun bertanya: Apakah dia masih mempunyai kedua orang tua?, Sahabat menjawab : Ada wahai Rasulullah SAW, dia masih mempunyai seorang ibu yang sudah sangat tua renta.” Rasulullah SAW mengirim utusan untuk memanggilnya. Maka dia pun memakai tongkat dan berjalan mendatangi Rasulullah SAW. Rasulullah SAW bersabda kepadanya : “Wahai ibu Alqomah, jawablah pertanyaanku dengan jujur, bagaimana sebenarnya keadaan putramu Alqomah ? Sang ibu menjawab : Wahai Rasulullah SAW, dia rajin mengerjakan sholat, banyak puasa dan senang bershodaqoh.” Lalu Rasulullah SAW bertanya lagi : Lalu apa perasaanmu padanya ? Dia menjawab : Saya marah kepadanya Wahai Rasulullah SAW.” Rasulullah SAW bertanya lagi : Kenapa ?.” Dia menjawab : Wahai Rasulullah SAW, dia lebih mengutamakan istrinya dibandingkan saya dan dia pun durhaka kepadaku.” Maka Rasulullah SAW bersabda : Sesungguhnya kemarahan sang ibu telah menghalangi lisan Alqomah sehingga tidak bisa mengucapkan syahadat.”
Kemudian beliau bersabda : Wahai Bilal , pergilah dan kumpulkan kayu bakar yang banyak.” Si ibu berkata : Wahai Rasulullah SAW, apa yang akan engkau perbuat ?.” Beliau menjawab : Saya akan membakarnya dihadapanmu .” dia menjawab : Wahai Rasulullah SAW , saya tidak tahan kalau engkau membakar anakku dihadapanku. Maka Rasulullah SAW menjawab : Wahai Ibu Alqomah, sesungguhnya adzab Allah lebih pedih dan lebih langgeng, kalau engkau ingin agar Allah SWT mengampuninya, maka relakanlah anakmu Alqomah, demi dzat yang jiwaku berada di Tangan Nya, sholat, puasa dan shodaqohnya tidak akan memberinya manfaat sedikitpun selagi engkau masih marah kepadanya,” Maka dia berkata: Wahai Rasulullah SAW, Allah SWT sebagai saksi, juga para malaikat dan semua kaum muslimin yang hadir saat ini bahwa saya telah ridlo pada anakku Alqomah”. Maka seketika Alqomah pun mengucapkan : La Ilaha Illallah.” Dan kemudian meninggal.
Kisah Alqamah tersebut memberikan pelajaran kepada kita bahwa ridha dan maaf orang tua itu sangatlah penting. Terlebih bagi kita yang hampir setiap hari berbuat salah, khilaf sering membuat mereka jengkel, baik disengaja ataupun tidak. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT mewanti-wanti kepada kita agar menghindari kata-kata yang menyakitkan mereka, bahkan hanya sekedar berkata “ah”.
Untuk orang Muslim, moment saling memaafkan tersebut terasa lebih kental pada saat idul fitri. Setiap Muslim saat itu saling meminta maaf bahkan dengan berbagai cara, ada yang secara langsung sambil berjabat tangan, lewat e-mail, situs jejaring sosial, SMS, Telephon dan lain sebagainya. Beragam kata pun dipilih sesuai selera, ada yang berbentuk pantun, puisi, kata-kata kocak sampai kata-kata yang sangat simpel, dengan satu tujuan saling memaafkan dan saling menyambung tali silaturahim.
Pada saat lebaran, kata minal aidzin wal faidzin menjadi sangat familiar. Ada dua kata kunci (keyword) pada kalimat tersebut, yaitu “aidzin” dan “faidzin”. Kata “aidzin” artinya “kembali” seakar dengan kata “idul” yang ada pada kata “idul fitri” yang berarti kembali kepada fitrah (kesucian), dan kata “faidzin” berarti kemenangan. Dengan demikian kalimat “minal aidzin wal faidzin” berarti “semoga kita kembali (kepada fitrah) dan mudah-mudahan kita meraih kemenangan”, bukan berarti “mohon maaf lahir dan bathin” seperti yang biasa diartikan sebagian orang.
Kegembiraan idul fitri tersebut memang terasa khas dan sangat spesial bagi masyarakat Indonesia, hal tersebut ditandai dengan tradisi “mudik” atau “pulang kampung” yang jarang ditemukan di negara-negara lain. Ini menandakan bahwa tali persaudaraan di Indonesia begitu kental dan tentu ini sangat positif karena silaturahim merupakan ajaran Islam. Nabi bersabda : “Barang siapa yang beriman kepada Allah SWT dan hari akhir, maka sambunglah tali silaturahim”.
Lebaran memang bulan penuh keberkahan dan kenikmatan, bahkan kenikmatannya tidak hanya dirasakan oleh orang Islam saja, orang non Muslim pun banyak yang menyicipi keberkahan bulan tersebut. Sebut saja pengusaha yang berbisnis pakaian, makanan, alat transfortasi tempat-tempat hiburan dan lain sebagainya, mereka mendapatkan keuntungan luar biasa saat itu.
Ada beberapa hikmah yang bisa didapat pada hari raya idul fitri atau lebaran tersebut, diantaranya:
1. To Forgive (sarana memaafkan / meluaskan hati)
Dalam penelitian yang dilakukan Fuad Nashori pada tahun 2005, terungkap bahwa orang yang religius terbukti cenderung mudah memaafkan kesalahan orang lain. Mereka yang sering berdzikir, hatinya menjadi lembut hingga gampang memberi maaf. Seorang peneliti dari Stanford University, Amerika Serikat yang bernama Frederic Luskin pun mengungkap bahwa setelah memaafkan, kehidupan seseorang akan lebih tenang, tidak mudah marah, tidak gampang tersinggung dan lebih mudah membina hubungan baik dengan sesama.
Peristiwa saling memaafkan tersebut tentu tidak cukup hanya di mulut saja, perlu kerendahan hati ketika meminta maaf dan rasa ikhlas ketika memberi maaf, sehingga tidak ada sedikitpun serpihan-serpihan dendam atau benci yang tersisa di dalam hati, bahkan bertekad sekuat tenaga untuk tidak mengundang kembali kealfaan dan kesalahan yang bisa merenggangkan tali silaturahim.
Silaturahim tidak sekedar bersentuhan tangan atau memohon maaf belaka. Ada sesuatu yang lebih hakiki dari itu semua, yaitu aspek mental dan keluasan hati. Hal ini sesuai dengan asal kata dari silaturahim itu sendiri, yaitu shilat atau washl, yang berarti menyambungkan atau menghimpun, dan ar-rahiim yang berarti kasih sayang. Makna “menyambungkan” menunjukkan sebuah proses aktif dari sesuatu yang asalnya tidak tersambung. “Menghimpun” biasanya mengandung makna sesuatu yang tercerai-berai dan berantakan, menjadi sesuatu yang bersatu dan utuh kembali. Tentang hal ini Rasulullah SAW bersabda, "Yang disebut bersilaturahim itu bukanlah seseorang yang membalas kunjungan atau pemberian, melainkan bersilaturahim itu ialah menyambungkan apa yang telah putus" (HR. Bukhari).
Kalau orang lain mengunjungi kita dan kita balas mengunjunginya, ini tidak memerlukan kekuatan mental yang tinggi. Boleh jadi kita melakukannya karena merasa malu atau berhutang budi kepada orang tersebut. Namun, bila ada orang yang tidak pernah bersilaturahim kepada kita, lalu dengan sengaja kita mengunjunginya walau harus menempuh jarak yang jauh dan melelahkan, apalagi kalau kita bersilaturahim kepada orang yang membenci kita, seseorang yang sangat menghindari pertemuan dengan kita, lalu kita mengupayakan diri untuk bertemu dengannya, maka
inilah yang silaturahim yang hakiki.
2. To celebrate (Sarana untuk merayakan kemenangan)
Selama satu bulan umat Muslim diperintahkan oleh Allah SWT untuk berpuasa, bahkan Allah SWT pun menjanjikan reward (imbalan) berbentuk kegembiraan tak terhingga bagi yang melaksanakan puasa dengan baik dan benar, yaitu ketika berbuka dan ketika bertemu dengan Allah SWT nanti. Janji Allah SWT tersebut kebenarannya sudah bisa kita rasakan terutama ketika lebaran. Umat Muslim di seluruh dunia bersuka cita merayakan hari kemenangan setelah berusaha bertarung menaklukan nafsu syahwat selama satu bulan tersebut. Berbagai aktivitas diekspresikan umat Muslim untuk merayakan hari kemenangan tersebut, seperti dengan memperbanyak membaca takbir, ada yang karnaval keliling kampung, saling berkirim makanan ke sanak saudara, memakai baju baru, masak makanan spesial, shalat ied, saling berkunjung, saling berbagi bahkan muncul tradisi pulang kampung atau mudik.
Namun demikian, tidak sedikit yang merayakan hari lebaran tersebut dengan aktivitas yang tidak sesuai dengan ajaran Islam, seperti dengan tawuran, memubadzirkan harta dengan membakar petasan atau kembang api, pacaran dan lain sebagainya, dan yang lebih ironis adalah banyak orang muslim yang tidak berpuasa tapi begitu repotnya mempersiapkan perayaan lebaran, mereka pulang kampung dengan penampilan dan oleh-oleh yang luar biasa, mereka ikut bersuka cita bak pejuang yang pulang dari peperangan dengan membawa kemenangan, padahal sesungguhnya mereka sudah kalah dalam bertarung melawan hawa nafsu di bulan Ramadhan. Naudzu billah.
3. To Give (Sarana berbagi)
Dalam sebuah hadits, Rasulullah SAW menegaskan bahwa puasa di bulan Ramadhan harus disempurnakan dengan membayar zakat fitrah sampai menjelang shalat idul fitri. Hal tersebut merupakan gambaran bahwa harus ada keseimbangan antara ibadah individual dan ibadah sosial, antara kesalehan individu dan kesalehan sosial. Tidaklah dianggap cukup seorang muslim yang rajin beribadah tanpa memperhatikan kondisi sosial di sekitarnya.
Membayar zakat fitrah merupakan kewajiban setiap orang Islam yang mempunyai kelebihan untuk biaya makan selama satu hari satu malam di hari lebaran. Dengan adanya kewajiban membayar zakat tersebut, maka akan terjalin kasih sayang antara sesama, sehingga kegembiraan di hari lebaran tersebut bisa dirasakan oleh semua lapisan umat termasuk orang-orang fakir dan miskin.
4. To Increase (Sarana peningkatan)
Setelah selesai bulan ramadhan, maka datanglah bulan syawal yang kedatangannya dirayakan dengan hari raya idul fitri. Secara bahasa “syawal” berarti peningkatan. Dengan demikian, bulan syawal merupakan momentum untuk meningkatkan kualitas ibadah seorang Muslim agar lebih baik dari bulan sebelumnya. Tradisi-tradisi keagamaan yang marak dilakukan di bulan Ramadhan seperti tadarrus, shalat sunah, shadaqah dan lain sebagainya harusnya dipertahankan bahkan lebih ditingkatkan pada bulan-bulan selanjutnya, bukan sebaliknya, yang tadinya rajin tadarrus bahkan berkali-kali khatam di bulan Ramadhan, justru bulan selanjutnya tidak pernah membaca Al-Qur’an lagi. Minimal ada waktu khusus yang secara konsisten dan kontinyu digunakan untuk mengkaji Al-Qur’an. Atau yang tadinya jarang shalat tahajud, menjadi rajin shalat tahajud dan lain sebagainya. Dengan demikian, secara persistent Muslim yang telah lulus berpuasa harus senantiasa meningkatkan amal ibadahnya, dan secara konsistent berusaha sekuat tenaga menjaga hawa nafsu serta meninggalkan kemaksiatan yang dibalut dengan kesenangan duniawi. Amin, Allohumma Amiin.