Selasa, 31 Mei 2011

UMAR DAN UMUR

Oleh Moeflich Hasbullah
Sumber: Kolom Hikmah Republika
Sabtu, 28 Mei 2011

Umar bin Khattab (581-644) adalah khalifah yang telah membentangkan pengaruh Islam di sejumlah wilayah yang berada di luar Arab Saudi. Di masanya, Mesopotamia, sebagian Persia, Mesir, Palestina, Syria, Afrika Utara, dan Armenia, jatuh ke dalam kekuasaan Islam.

Kekuatan sebagai pemimpin sangat luar biasa, hadir berkat tempaan sang pemimpin agung, Muhammad Rasulullah SAW. Namun, dibalik kesuksesannnya sebagai pemimpin negara, Umar tetaplah seorang pribadi yang sangat sederhana.

Suatu hari, anak laki-laki Umar bin Khattab pulang sambil menangis. Sebabnya, anak sang khalifah itu selalu diejek teman-temannya karena bajunya jelek dan robek. Umar lalu menghiburnya. Berganti hari, ejekan teman-temannya itu terjadi lagi, dan sang anak pun pulang dengan menangis.


Setelah terjadi beberapa kali, rasa ibanya sebagai ayah mulai tumbuh. Tak cukup nasihat, anak itu meminta dibelikan baju baru. Tapi, dari mana uangnya? Umar bingung, gajinya sebagai khalifah tidak cukup untuk membeli baju baru. Setelah berpikir, ia pun punya ide. Umar menyurati baitul mal (bendahara negara).

Isi surat itu, (kira-kira bunyinya begini): "Kepada Kepala Baitul Mal, dari Khalifah Umar. Aku bermaksud meminjam uang untuk membeli baju buat anakku yang sudah robek. Untuk pembayarannya, potong saja gajiku sebagai khalifah setiap bulan. Semoga Allah merahmati kita semua."

Mendapati surat dari sang Khalifah Umar, kepala baitul mal pun memberikan surat balasan. Bunyinya, kurang lebih begini: "Wahai Amirul Mukminin, surat Anda sudah kami terima, dan kami maklum dengan isinya. Engkau mengajukan pinjaman, dan pembayarannya agar dipotong dari gaji engkau sebagai khalifah setiap bulan. Tetapi, sebelum pengajuan itu kami penuhi, tolong jawab dulu pertanyaan ini, dari mana engkau yakin bahwa besok engkau masih hidup?"

Membaca balasan surat itu, bergetarlah hati Umar. Tubuhnya seakan lemas tak bertulang. Umar tidak bisa membuktikan bahwa esok hari ia masih hidup. Ia sadar telah berbuat salah. Ia bersujud sambil beristigfar memohon ampun kepada Allah.

Setelah memohon ampun, ia pun memanggil anaknya. "Wahai anakku, maafkan ayahmu. Aku tak sanggup membelikan baju baru untukmu. Ketahuilah, kemuliaan seseorang bukan diukur dari bajunya, melainkan dari kemuliaan akhlaknya. Sekarang, pergilah engkau ke sekolah, dan katakan saja kepada teman-temanmu bahwa ayahmu tak punya uang untuk membeli baju baru."

Alangkah luar biasanya perhatian dan kewaspadaan seorang pemimpin dan bawahan. Mereka saling memberikan nasihat dan peringatan. Kisah ini menohok kesadaran kita tentang perilaku para pemimpin sekarang di negeri ini.

Alih-alih mengutamakan kesederhanaan dan kemuliaan akhlak, mereka malah saling berebut kekuasaan dan memperkaya diri dengan perilaku korup. Semua itu dilakukan tanpa rasa bersalah. Bahkan, antara atasan dan bawahan saling menutupi kesalahan satu sama lain. Tak heran bila Allah menimpakan azab demi azab (bencana) untuk menyadarkan kita agar senantiasa takut kepada-Nya. Wallahu a'lam.

Senin, 23 Mei 2011

ANALISIS PENDIDIKAN ISLAM DI INDONESIA; UPAYA MENINGKATKAN MUTU

Oleh: Ade Zaenudin
A. Muqaddimah
Susilo Bambang Yodhoyono (Presiden RI) ketika berpidato dalam rangka HUT PGRI tanggal 1 Desember 2009 mencanangkan perubahan paradigma pendidikan dari hierarkis formal menuju kemitraan, dari sistem akademik ke tata nilai. Pada saat itu beliau pun mengarahkan agar terjadi inovatif learning (pembaharuan pembelajaran) dengan mereformasi metodologi yang berorientasi pada guru (teacher centered) ke orientasi murid (student centered), membangun peradaban, serta membekali murid untuk berinteraksi dalam dunia global yaitu ketika era batas negara menjadi semakin nisbi.
Kalau kita telaah, ada beberapa alasan yang bisa jadi melatar-belakangi kegundahan presiden tersebut, pertama pola hubungan antara guru dan murid terasa kaku, lebih bersifat hierarkis formal, sehingga murid dianggap sebagai makhluk yang masih kosong, tidak banyak tahu, dan belum bisa apa-apa. Di sisi lain guru memposisikan dirinya sebagai makhluk serba tahu, yang posisinya jauh lebih tinggi dari pada murid. Kedua, pendidikan kita saat ini lebih berorientasi pada pencapaian kuantitatif dibanding kualitatif, porsi memacu murid untuk “mengetahui” lebih besar (bahkan tidak seimbang) dibanding porsi memacu murid untuk “melakukan/melaksanakan”, lebih berorientasi kognisi dibanding afeksi dan psikomotor sehingga akibatnya banyak murid yang pintar tapi prilakunya tidak benar. Ketiga, pendidikan kita saat ini mempunyai tantangan besar, yaitu dampak globalisasi, di mana pendidikan diharapkan bisa memberikan bekal kepada siswa untuk berinteraksi dengan dunia global, bisa memanfaatkannya untuk membangun peradaban dan bukan malah sebaliknya, globalisasi menggerus peradaban.


Untuk menjawab kegundahan presiden tersebut, pendidikan Islam sesungguhnya mempunyai tanggung jawab sekaligus tantangan yang lebih besar, karena pada prinsipnya pendidikan Islam mengajarkan tata nilai yang agung. Bahkan memang sudah semestinya pendidikan Islam menjadi solusi di tengah arus globalisasi, karena ajarannya berlaku universal yang tidak terbatas oleh ruang dan waktu (sholihun likulli zaman wa makan). Hal ini pula yang menjadi salah satu catatan penting dalam sejarah eksistensi pendidikan Islam di Indonesia.
Dalam perspektif historis, sosiologis ataupun yuridis, eksistensi pendidikan Islam pada perkembangan bangsa Indonesia sesungguhnya mempunyai posisi dan peran strategis. Dalam perspektif historis, pendidikan Islam di Indonesia memiliki akar yang panjang dalam membangun peradaban bangsa, terutama karena pendidikan Islam telah berlangsung lama, yaitu sejak masuknya Islam ke wilayah nusantara. Pada awalnya pendidikan Islam lebih bersifat informal dan non formal, sampai pada akhirnya terlembagakan secara formal. Dari situlah muncul kader-kader bangsa yang religius dan memiliki jiwa nasionalis yang bergerak dalam berbagai bidang-bidang yang berbeda.
Dalam persepektif sosiologis, kita bisa melihat bahwa eksistensi pendidikan Islam di Indonesia sudah menjadi kebutuhan masyarakat, terutama bagi daerah-daerah yang berpenduduk mayoritas Islam. Dalam perspektif yuridis, lembaga pendidikan Islam semakin memiliki posisi strategis pasca lahirnya undang-undang no. 2 tahun 1989 dan kemudian dikuatkan dengan UU No. 20 tahun 2003 yang mensejajarkan madrasah dengan sekolah umum, mendudukan pesantren sebagai bagian dari pendidikan keagamaan yang akan dilestarikan dan dikembangkan kualitasnya oleh pemerintah. Kemudian dalam PP No. 55 tahun 2007 pendidikan agama dan akhlak mulia mendapat apresiasi dengan diwajibkannya di setiap satuan pendidikan.
Posisi strategis pendidikan agama tersebut tentu bukan berarti bahwa mutu pendidikan agama kualitasnya sudah terjamin, terlebih ketika tantangan arus globalisasi begitu besar. Peningkatan mutu pendidikan agama menjadi sebuah keniscayaan ketika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi begitu deras. Globalisasi menjadikan batas-batas geografis, budaya, agama, dan lain sebagainya sudah tidak lagi menjadi tembok pemisah untuk berinteraksi, dan pada akhirnya akan terbentuk sebuah kampung besar dan menyatu atau sering disebut global village. Untuk itu, diperlukan langkah-langkah strategis untuk mempertahankan dan meningkatkan mutu pendidikan terutama untuk menghadapi tantangan zaman tersebut.
Peningkatan mutu pendidikan tersebut tentu bukan hal yang sederhana, apalagi dalam wilayah praksis terjadi paradoks dalam dunia pendidikan kita. Pendidikan yang bermutu tentu membutuhkan dana yang tidak sedikit dan implikasinya pendidikan menjadi mahal. Di sisi lain, keterbatasan dana juga tidak boleh mematikan dunia pendidikan, maka yang terjadi hanya sebatas pemerataan pendidikan yang sudah pasti mutu pendidikan pun belum bisa terjamin.

B. Analisis SWOT (Strength, Weakness, Opportunity, Threatment) Pendidikan Islam di Indonesia
1. Strength (Kekuatan)
Seperti telah diungkap sebelumnya bahwa secara historis, pendidikan Islam sudah menunjukan eksistensinya begitu lama dan sampai hari ini pendidikan Islam tersebut masih tetap eksis, bahkan dalam beberapa hal sudah memperlihatkan perkembangannya yang begitu pesat. Fenomena tersebut menunjukan bahwa pendidikan Islam memiliki beberapa kekuatan, diantaranya:
a. Sumbernya qoth’i yaitu nash (al-Qur’an dan Hadits)
Paling tidak ada empat perspektif dalam menjabarkan substansi pendidikan Islam (Islamic education), pertama: education of muslim (pendidikan yang ideal untuk muslim), kedua: education for muslim (pendidikan yang pas buat muslim), ketiga: education about Islam (Islam sebagai materi yang diajarkan), dan keempat: education in Islamic spirit (semangat keislaman sebagai sebuah bagian/ tidak membawa nama Islam). Sementara itu, Mochtar Buchori menyederhanakannya menjadi dua perspektif, yaitu: pertama: segenap kegiatan yang dilakukan seseorang atau suatu lembaga untuk menanamkan nilai-nilai Islam dalam diri sejumlah siswa; kedua, keseluruhan lembaga pendidikan yang mendasarkan segenap program dan kegiatan pendidikannya atas pandangan serta nilai-nilai Islam. Dalam perspektif apapun, pendidikan Islam tentu menjadikan substansi (pokok) ajaran Islam sebagai sandarannya, dan dengan demikian pula al-Qur’an dan Hadits menjadi acuan pokoknya.
Al-Qur’an merupakan sumber ajaran Islam tertinggi karena berasal dari Allah SWT dan tentu kebenarannya mutlak. Keberadaannya sangat dibutuhkan manusia, karena berfungsi sebagai petunjuk hidup manusia. Sementara Hadits atau sunah merupakan sumber ajaran Islam yang bersumber dari Rasulullah SAW (utusan Allah SWT) yang berfungsi untuk memperkuat atau memperjelas al-Quran.
Pada kenyataannya dalam pendidikan Islam, kedua sumber tersebut dikombinasikan atau diperkuat pula dengan nalar. Ini dianggap ideal karena memadukan antara potensi akal yang dimiliki manusia dengan nash yang merupakan tuntunan qothi ajaran Islam.
b. Mengajarkan pondasi atau prinsip-prinsip dasar (akhlak) yang bersifat universal
Pada prinsipnya Islam lahir membawa misi universal yaitu penyempurnaan akhlak manusia, seperti yang ditegaskan Nabi Muhammad SAW “Sesungguhnya aku diutus ke dunia untuk menyempurnakan akhlak”. Misi tersebut tentu menjadi ruh dari tujuan pendidikan Islam, bahkan Muhammad Athiyah al-Abrasyi berpendapat bahwa tercapainya akhlak yang mulia tersebut merupakan tujuan tertinggi dari pendidikan Islam.
Pencapaian akhlak mulia tersebut sesungguhnya bersifat universal, bukan hanya menjadi tujuan pendidikan Islam saja tapi juga berlaku dalam pendidikan secara umum. Dalam konteks pendidikan di Indonesia, penegasan tentang pentingnya penanaman akhlak atau moral dalam pendidikan tersebut tertuang dalam Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 2007 tentang pendidikan agama dan akhlak mulia, dan kemudian diperkuat dengan pencanangan program pendidikan karakter yang masuk pada kurikulum di setiap satuan pendidikan.
c. Fleksibilitas ajaran Islam
Mahmud Syaltout mengelompokan pokok-pokok ajaran Islam menjadi tiga bagian, yaitu: Akidah, Akhlak dan Syariah. Dalam bukunya yang berjudul al-Islam Aqidah wa Syari’ah beliau kemudian menyederhanakannya menjadi dua bagian, yaitu: Akidah dan Syariah.
Akidah merupakan sistem ajaran Islam yang sifatnya prinsipil, tidak ada fleksibilitas, toleransi dan tawar menawar di dalamnya. Namun dalam hal syariah ada hal yang sifatnya fleksibel, tidak hanya untuk orang Islam saja tapi berlaku umum, seperti wilayah muamalah (relasi antar manusia atau dengan alam semesta).
Urgensi terhadap pemeliharaan hubungan antar sesama tersebut ditegaskan dalam hadits Nabi yang berbunyi: “Tidak boleh membahayakan (diri sendiri) dan tidak boleh membahayakan (orang lain)”. Dalam pendidikan Islam Hadits tersebut menjelma menjadi kewajiban mengajarkan kebaikan antar sesama, pentingnya mengajarkan pola hidup baik dan sehat, serta saling menjaga dari munculnya penyakit yang bukan hanya merugikan diri sendiri saja, tapi juga berakibat merugikan orang lain. Selain kewajiban menjaga relasi positif dengan sesama manusia, dalam wilayah muamalah tersebut manusia juga mempunyai kewajiban berbuat baik terhadap alam semesta, bahkan Allah SWT menitipkannya langsung kepada manusia sebagai khalifah di muka bumi yang pada akhirnya akan diminta pertanggung-jawabannya.
Ajaran berbuat baik kepada sesama bahkan terhadap alam semesta tersebut merupakan salah satu ajaran Islam yang bersifat universal, maka pantaslah kalau ajaran Islam disebut-sebut sebagai ajaran yang tidak akan lekang oleh ruang dan waktu (shalihun likulli zaman wa makan).
d. Muslim majority
Peran sentral pendidikan Islam di Indonesia tentu tidak bisa lepas dari aspek sosiologis di mana penduduk muslim jumlahnya mayoritas. Tingginya prosentase penduduk muslim di Indonesia tersebut menjadi faktor paling kuat eksistensi pendidikan Islam. Dinamika penduduk muslim yang begitu besar tersebut menuntut dunia pendidikan Islam agar bisa mengakomodasi tiap segmen masyarakat yang ada di dalamnya, konsekuensinya adalah lahirnya beragam lembaga yang berusaha menyajikan pendidikan ke-Islaman dengan berbagai nuansa yang berbeda. Setidaknya ada empat jenis praktek pendidikan di Indonesia, yaitu:
1) Pendidikan pondok pesantren, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan secara tradisional, bertolak dari pengajaran al-Qur’an dan Hadits, dan merancang segenap kegiatan pendidikannya untuk mengajarkan Islam sebagai way of life, (cara hidup) kepada para siswa.
2) Pendidikan madrasah, yaitu pendidikan Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan model Barat, dan berusaha menanamkan Islam sebagai landasan hidup dalam diri siswa
3) Pendidikan umum yang bernafaskan Islam, ialah pendidikan Islam yang dilakukan melalui pengembangan suasana pendidikan yang bernafaskan Islam di lembaga-lembaga pendidikan yang menyelenggarakan program pendidikan yang bersifat umum
4) Pelajaran agama Islam yang diselenggarakan di lembaga-lembaga pendidikan umum sebagai suatu mata pelajaran atau mata kuliah saja.
e. Kesederajatan antara madrasah dengan sekolah dengan pengakuan legalitas formal.
Lahirnya Undang-undang No. 2 Tahun 1989 tentang Sistem Pendidikan Nasional menjadi cikal bakal perkembangan madrasah sebagai lembaga pendidikan formal, dengan undang-undang tersebut Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan ditetapkan sebagai bagian integral dari Sisdiknas.
Dalam tataran teknisnya kemudian ditetapkanlah beberapa Peraturan Pemerintah, antara lain PP No. 28 tahun 1990 tentang Pendidikan Dasar, PP No. 29 tahun 1990 tentang Pendidikan Menengah, PP No. 30 tahun 1990 tentang Pendidikan Tinggi dan PP No. 13 tahun 1991 tentang pembatalan PP No. 33 tahun 1985. Berdasarkan UU. No. 2 tahun 1989 dan beberapa PP tersebut dapat diketahui antara lain ketetapan-ketetapan sebagai berikut:
1) Pendidikan Agama wajib termuat dalam kurikulum setiap jenis, jalur dan jenjang pendidikan mulai dari pendidikan dasar hingga pendidikan tinggi.
2) Pendidikan Keagamaan Islam pada jalur sekolah berbentuk Madrasah dan Perguruan Tinggi Agama Islam.
3) Madrasah Ibtidaiyah (MI), Madrasah Tsanawiyah (MTs) dan Madrasah Aliyah (MA) adalah Sekolah Dasar (SD), Sekolah Lanjutan Tingkat Pertama (SLTP, sekarang SMP) dan Sekolah Menengah Umum (SMU, sekarang SMA) yang berciri khas Islam dan dikelola oleh Departemen Agama. Di samping ciri khas Islam, MA mempunyai jurusan Agama Islam selain jurusan-jurusan lain yang dimiliki SMA. MI dan MTs di luar ciri khas Islam, sepenuhnya sama dengan SD dan SMP.
4) Institut Agama Islam Negeri (IAIN) adalah Lembaga Pendidikan Tinggi di bidang Agama Islam yang dikelola oleh Departemen Agama. Institut Agama Islam Swasta dan Fakultas Agama Islam pada Universitas Swasta adalah Perguruan Tinggi Agama Islam Swasta yang dibina oleh Departemen Agama.
Kurikulum madrasah pun diperbaharui dengan kurikulum 1994 dengan perbandingan alokasi waktu antara 16-18% untuk mata pelajaran agama dan antara 82-86% mata pelajaran umum, dengan catatan bahwa alokasi waktu mata pelajaran umum muatan nasional diberlakukan 100%, sama sekolah umum setingkat.
Pada perkembangan berikutnya konsep kesederajatan madrasah melalui peningkatan kualitas yang tertera dalam Undang-undang tersebut dikuatkan dengan lahirnya Undang-undang No. 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional.
2. Weakness (Kelemahan)
Prof. Mohammad Ali (Dirjen Pendidikan Islam Departemen Agama sejak tahun 2007) yang dikutip Marwan Saridjo mengidentifikasi beberapa kekurangan dalam pendidikan Islam, diantaranya: (1) kurikulum pendidikan agama lebih menekankan aspek kognitif dan kurang memperhatikan aspek pengamalan ajaran agama dalam pembentukan akhlak dan karakter, (2) jumlah pendidik dan tenaga kependidikan yang bermutu belum mencukupi, (3) sarana dan prasarana terbatas, (4) fasilitas lainnya belum memadai, dan (5) adanya efek negatif globalisasi yang mempengaruhi peserta didik yang tidak sejalan dengan agama.
Dalam beberapa hal penulis sependapat dengan identifikasi tersebut, namun dalam hal adanya efek negatif globalisasi penulis berpendapat bahwa hal tersebut tidak selamanya menjadi penyebab kelemahan pendidikan Islam tapi harus dilihat sebagai sebuah tantangan agar semua stakeholder mengencangkan ikat pinggangnya menghadapi arus tersebut, yang pada akhirnya bukan pendidikan yang tergerus globalisasi tapi justru diharapkan pendidikan bisa memanfaatkan dampak globalisasi tersebut.
Beberapa hal yang masih dianggap kelemahan dan harus segera dibenahi dalam pendidikan Islam diantaranya:
a. Aspek pendidik dan tenaga kependidikan
1. Rendahnya kualifikasi akademik guru
Secara sederhana profesi dapat diartikan sebagai suatu pekerjaan atau jabatan yang dilakukan seseorang sesuai dengan keahliannya (expertise), dengan kata lain, suatu profesi erat kaitannya dengan pekerjaan yang spesifik, terstandar mutunya dan dapat menjadi sumber penghasilan sesuai dengan penghargaan keprofesionalannya. Lebih jauh Subijanto menjelaskan bahwa profesi merupakan pengakuan masyarakat terhadap karakteristik pekerjaan yang memiliki sifat-sifat tertentu seperti juga profesi guru, adalah kemampuan intelektual yang diperoleh melalui pendidikan dan memiliki pengetahuan spesialisasi dan pengetahuan praktis untuk menunjang proses belajar mengajar.
Kualifikasi pendidikan guru selanjutnya dibedakan menjadi lima kategori, yaitu tingkat pendidikan di bawah diploma satu (D3). Tingkat pendidikan di bawah diploma satu termasuk di dalamnya SLTA dan sederajat serta di bawah SLTA. Sedangkan tingkat pendidikan di atas diploma tiga termasuk di dalamnya S1, dan pasca sarjana (S2 dan S3).
Pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah (MI), kualifikasi guru didominasi dengan tingkat pendidikan di bawah diploma satu ( D3) persentasenya adalah 13.8% pada tahun 2002/2003 dan pada tahun 2006/2007 baru mencapai 20.5%.
2. Kualitas guru yang masih rendah
Harus diakui bahwa kelahiran lembaga-lembaga pendidikan Islam kebanyakan dibidani oleh inisiatif masyarakat, hal ini bisa dilihat dari fakta bahwa mayoritas lembaga pendidikan Islam seperti madrasah berstatus swasta, kalaupun madrasah tersebut berstatus negeri, maka tidak sedikit pula yang status ke-negerian-nya tersebut bermula dari swasta juga. Hal ini tentu berbanding terbalik dengan lembaga pendidikan umum yang mayoritas berstatus negeri dan hampir semuanya dilahirkan oleh pemerintah.
Hal tersebut tentu berimplikasi pada sumber daya manusia pada lembaga pendidikan tersebut, implikasi tersebut diantaranya:
a) Masih banyaknya guru yang belum memenuhi kualifikasi akademik (unqualified/underqualified), yaitu minimal lulusan S1
b) Dalam sistem rekruitment banyak lembaga pendidikan Islam yang masih mengedepankan akomodasi kekeluargaan dibanding kompetensi
c) Masih banyaknya guru yang mismatch (mengajar tidak sesuai dengan kualifikasi akademiknya), misalnya lulusan Fakultas Tarbiyah jurusan PAI mengajar matematika.
d) Karena rendahnya kesejahteraan, maka banyak guru yang masih “nyambi” di sekolah/madrasah lain atau bahkan pada profesi yang lain.
Jika dilihat data guru saat ini, hampir 20% guru madrasah termasuk kategori tidak layak karena unqualified atau mismatch. Melihat kondisi tersebut pemerintah melakukan beberapa upaya peningkatan kualitas guru seperti dengan program sertifikasi, bahkan Kementerian Agama melakukan kerja sama dengan beberapa lembaga keuangan luar negeri seperti Asian Development Bank (ADB) dengan programnya Junior Secondary Education Project (JSEP) untuk membantu peningkatan mutu MTs tahun 1994 dan berlanjut dengan program Basic Education Project (BEP) dan Development of Madrasah Aliyah Project (DMAP) tahun 1996. Dengan program-program tersebut ribuan guru unqualified diikut sertakan dalam berbagai program pendidikan dan latihan seperti pelatihan guru bina (master teacher), serta pendidikan S2, S3 diberbagai perguruan tinggi baik dalam maupun luar negeri. Begitu pula melalui Islamic Development Bank (IDB) telah dilakukan pula pelatihan berbagai program keterampilan bagi guru-guru yang mengajar di MA yang memiliki program keterampilan.
3. Kualitas Kepala Madrasah yang masih rendah
Data EMIS tahun 2003 menyebutkan bahwa pada tingkat MI terdapat 62% kepala madrasah belum memenuhi kualifikasi akademik, pada tingkat MTs sebesar 25,42%, dan 6,6% pada tingkat MA. Dari sudut kepemimpinan manajerial mereka masih banyak yang lemah bahkan banyak kepala madrasah yang berasal dari mantan pejabat administratif pada kandepag atau kanwil yang memperpanjang dinas aktifnya dengan mutasi menjadi pejabat fungsional kepala madrasah. Akibatnya banyak madarasah yang dikelola dengan penekanan aspek administratif dari pada dimensi akademisnya, yang terjadi adalah madrasah dikelola secara amatiran dan bernuansa birokratis.
Untuk melahirkan lembaga pendidikan yang bermutu dibutuhkan pemimpin yang memiliki kompetensi manajerial yang baik, beberapa indikatornya diantaranya adalah:
1) Visioner (memiliki visi yang jelas, terarah dan rasional untuk mengembangkan lembaga pendidikan yang dia pimpin)
2) Memahami seluk-beluk dunia pendidikan
3) Paham tentang strategi pemasaran lembaga kependidikan yang dia pimpin
4) Memahami kebutuhan masyarakat sebagai pengguna jasa pendidikan
5) Cerdik dalam mengelola pembiayaan pendidikan yang efektif dan efisien
Walaupun beberapa point tersebut merupakan indikator minimal, tapi perlu diakui bahwa masih banyak lembaga pendidikan Islam yang pemimpinnya belum memenuhi kualifikasi tersebut.
4. Kualitas Pengawas Madrasah yang masih rendah
Sebagian besar pengawas berasal dari tenaga administratif seperti mantan kepala seksi atau kepala madrasah yang bermutasi menjadi tenaga pengawas dalam rangka memperpanjang usia dinas aktif. Bisa dibayangkan kualitas kepengawasannya, dengan keterbatasan pengetahuan tentang seluk beluk proses belajar mengajar ditambah dengan keterbatasan pengetahuan di bidang administrasi dan supervisi pendidikan. Dalam kenyataannya para tenaga pengawas tersebut tidak lebih hanya memainkan peran dan fungsinya sebagai ‘inspektur adminitratif’ dan tidak sempat mensupervisi masalah substansi dan proses KBM yang berlangsung di madrasah, bahkan banyak diantara pengawas yang berkunjung ke madrasah hanya pada saat ujian nasional saja. Ke depan, mestinya pengawas tidak dijabat oleh sembarang orang, mereka harus tenaga profesional dengan kualifikasi yang jelas, baik secara administratif, akademis, maupun moral keagamaan.
5. Rasio Siswa dan Guru
Berdasarkan data dari Ditjen Pendidikan Islam Depag, rasio siswa dan guru untuk madrasah ibtidaiyah lebih besar daripada rasio siswa dan guru untuk madrasah tsanawiyah dan aliyah. Rata-rata rasio siswa dan guru untuk MI adalah sebesar 16 yang dapat diartikan bahwa 1 guru mengajar 16 siswa. Rasio siswa dan guru terbesar di MI terjadi pada tahun 1999/2000 yaitu sebesar 20. Sementara itu, rasio siswa dan guru pada MTs dan MA relatif hampir sama. Hal ini menandakan bahwa jumlah guru untuk MTs dan MA secara relatif lebih banyak daripada guru untuk MI dalam hal keterbandingannya dengan jumlah siswa.
Rasio siswa terhadap guru berkisar antar 10 -11 orang per guru untuk siswa Madrasah Tsanawiyah dan untuk siswa Madrasah aliyah rasio siswa terhadap guru rata-rata berjumlah 9 orang siswa per guru. Sehingga makin tinggi jenjang sekolahnya makin banyak pula jumlah guru yang tersedia dibandingkan jumlah siswanya.
Ketersediaan jumlah guru antara madrasah dengan sekolah umum lainnya yang sederajat, masih lebih baik di madrasah. Umumnya rata-rata jumlah siswa per guru pada madrasah masih lebih rendah dibandingkan rata-rata jumlah siswa per guru pada sekolah umum dan madrasah. Rata-rata jumlah siswa perguru SD+MI tahun 2004/2005 – 2006/2007 masing-masing sebanyak 19 siswa. Sedangkan Jumlah siswa per guru pada MI pada periode tersebut hanya 15 siswa per tahun. Untuk tingkat SMP, rata-rata jumlah siswa per guru dari sekolah SMP+ MTs adalah 14 siswa tahun 2004/2005, Jumlah siswa per guru di MTs pada periode tersebut masing-masing sebanyak 10 siswa, 10 siswa dan 11 siswa. Hal yang sama diperlihatkan pada tingkat SMA, jumlah siswa per guru di Madrasah Aliyah lebih sedikit dibandingkan dengan rata-rata tingkat SMA + MA.
Proses belajar mengajar dari kondisi tersebut tentunya dapat menghasilkan proses belajar mengajar yang lebih baik pada madrasah, Namun bila dibandingkan dengan kualitas guru yang mengajar, terutama sekali guru yang telah memiliki standar nasional (segi pendidikan), sekolah-sekolah umum diluar madrasah masih lebih baik kualifikasinya.
Sebaran per provinsi rasio siswa per guru periode 2002/2003 dan 2006/2007 seperti yang disajikan pada tabel 7 dapat menggambarkan perkembangan rasio siswa per guru selama 2 periode tersebut. Dengan memperhatikan sebaran per provinsi, kebijakan alokasi guru per provinsi dapat dilakukan untuk memperkecil ketimpangan antar provinsi. Jumlah siswa per guru selama 5 tahun tidak menunjukkan perubahan yang berarti. Perubahan yang terlihat pada tingkat Madrasah Ibtidaiyah menunjukkan bahwa jumlah siswa per guru turun dari 16 siswa tahun 2002/2003 menjadi 15 siswa tahun 2006/2007.
Begitu pula pada tingkat Madrasah Aliyah pada tahun 2002/2003 tercatat ada 9 siswa per guru menjadi 8 siswa per guru pada tahun 2006/2007. Kondisi ini mengisyaratkan adanya persentase pertambahan jumlah guru lebih besar dari persentase pertambahan jumlah murid.
Bila diperhatikan sebaran per provinsi, ternyata tidak semua provinsi mengalami pertambahan jumlah guru yang lebih besar persentasenya dibandingkan persentase pertambahan jumlah siswa, tercatat beberapa provinsi yang mempunyai jumlah siswa per guru semakin besar selama periode 5 tahun tersebut. Untuk Madrasah Ibtidaiyah jumlah siswa per guru yang semakin besar setelah periode 5 tahun adalah Provinsi Lampung , Jawa Tengah, Banten, Sulut, Sulsel dan Irian Jaya Barat. Sedangkan pada Madrasah Tsanawiyah Provinsi Jawa Barat, Jawa Tengah, NTB, Kalbar, Kaltim , Sulut, Sultera dan Irian Jaya Barat jumlah siswa per guru nya bertambah banyak setelah 5 tahun.
Pada tingkat Madrasah Aliyah tercatat Provinsi Riau, Bengkulu, Jawa Tengah, NTT, Sulut dan Irian Jaya Barat yang mempunyai jumlah siswa per guru lebih banyak setelah 5 tahun.
Melihat rasio siswa per guru pada madrasah umumnya lebih rendah dibandingkan sekolah umum lainnya yang sederajat, hal ini bisa mengisyaratkan masih kurang minatnya masyarakat untuk mempercayakan pendidikan anaknya ke madrasah, sehingga daya tampung madrasah masih cukup besar, hanya saja perlu dikaji lebih jauh bagaimana cara menaikkan minat masyarakat khususnya muslim agar mau mempercayakan pendidikan anaknya ke madrasah.
6. Lemahnya penguasaan teknologi informasi
Perkembangan zaman yang ditandai dengan perkembangan teknologi dan mudahnya akses informasi menjadikan dunia tanpa sekat. Ruang dan waktu menjadi nisbi adanya. Di satu sisi hal tersebut menjadi kendala bagi dunia pendidikan Islam yang masih lemah dalam SDM dan sarana prasarana, harus diakui bahwa keterbatasan dana menyebabkan lembaga pendidikan Islam masih banyak yang belum bisa memfasilitasi derasnya perkembangan teknologi tersebut, ditambah lagi dengan kekhawatiaran yang begitu besar atas ekses negatif dari perkembangan teknologi tersebut yang berakibat banyaknya lembaga pendidikan Islam yang cenderung membatasi bahkan menjauhkan diri dari perkembangan teknologi tersebut.


b. Aspek Kurikulum
1. Kurikulum yang masih berorientasi pada kognisi.
Pada dasarnya pendidikan keagamaan bertujuan untuk mengarahkan anak didik pada perilaku yang lebih baik, taat menjalankan ajaran serta menjauhkan diri dari hal-hal yang dianggap negatif, kesimpulannya pendidikan agama lebih berorientasi afektif dan psikomotor yang sudah pasti harus didahului oleh aspek kognitifnya. Pada kenyataannya, pembelajaran materi-materi keagamaan tersebut dianggap tuntas pada aspek teoritis, siswa dianggap tuntas mempelajari agama ketika dia mengetahui materi yang disampaikan oleh gurunya, tidak perduli dia melakukan kebaikan (ajaran agama) atau tidak. Saya berpendapat bahwa hal tersebut tidak semuanya merupakan kesalahan guru semata karena pada dasarnya guru dituntut untuk mengikuti kurikulum serta sistem evaluasi yang diinginkan pemerintah. Azas desentralisasi yang memunculkan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) masih dianggap sebagai sebuah jargon karena berbenturan dengan egoisme pemerintah yang memaksakan sistem evaluasi yang berorientasi kognisi.
2. Terjebak pada orientasi ritualisme formalistik.
Salah satu substasi pengajaran agama adalah mempelajari bagaimana seharusnya relasi antara manusia dengan Tuhannya dalam bentuk ibadah, di dalamnya berisi ritual-ritual yang penuh dengan aturan sebagai bentuk penghambaan. Setiap ritual tersebut sesungguhnya memiliki makna atau hakikat yang terkandung di dalamnya, shalat misalnya, di dalamnya terkandung makna kedisiplinan, kebersihan, keteraturan, penghargaan terhadap sesama dan masih banyak yang lainnya. Dalam pengajarannya, guru sering kali hanya sebatas mengajarkan bagaimana anak benar shalatnya dalam hal gerakan dan bacaannya saja, tanpa mengetahui makna-makna yang terkandung di dalamnya, padahal perlu juga anak memahami arti-arti dari bacaan shalat tersebut untuk menyatukan ucapan, hati, pikiran dan gerakannya pada saat melaksanakan ibadah tersebut.
Dalam perspektif lain, tindakan ritual dan segi-segi formal itu dianggap baru mempunyai makna hakiki jika mampu mengantarkan seseorang kepada tujuannya yang hakiki pula, yaitu kedekatan (taqarrub) kepada Allah SWT sehingga memiliki kesiapan emosional dan spiritual dalam menjalani hidup di dunia serta dalam mencapai pengalaman transendental. Wujud kedekatan kepada Tuhan itulah yang akan termanifestasikan dalam berbagai sikap dan perilaku yang terpuji (akhlakul karimah) sehingga bisa memberi manfaat dan kebaikan kepada sesama manusia, yang kemudian melahirkan pribadi-pribadi yang tidak hanya shaleh secara individual tapi juga shaleh secara sosial.
3. Opportunity (Peluang)
a. Tingginya Kuantitas Penduduk Muslim
Selain sebagai sebuah kekuatan, tingginya jumlah penduduk Muslim (muslim majority) di Indonesia, juga sekaligus merupakan peluang besar bagi perkembangan pendidikan Islam. Munculnya paradigma “pendidikan berbasis masyarakat” (community-based education) memberikan peluang besar kepada masyarakat Muslim untuk memberikan kontribusinya pada perkembangan pendidikan Islam. Hanya saja tingginya peluang tersebut harus diimbangi dengan perbaikan dan pengembangan kualitas pendidikan tersebut.
Pengembangan kualitas pendidikan tersebut tentu bukan hal mudah bagi lembaga-lembaga pendidikan Muslim, kecenderungan orientasi masyarakat yang lebih pragmatis harus direspon oleh dunia pendidikan Islam dengan melakukan “re-negosiasi” antara “sosial expectations” dengan “academic expectations”. Dengan demikian peluang perkembangan pendidikan Islam akan semakin besar dan lebih dinamis, dan masyarakat pun tidak sungkan menjatuhkan pilihannya bagi lembaga pendidikan Islam tersebut.
Atas dasar peluang di atas, Azyumardi Azra setidaknya mencatat ada empat macam lembaga pendidikan Islam yang bisa dipilih oleh masyarakat, yaitu: pertama: pendidikan yang berpusat pada tafaqquh fi al-din seperti pesantren, kedua, madrasah dengan kurikulum Kemdiknas dan Kemenag, tiga, sekolah Islam “plus” atau “unggulan”, dan empat, pendidikan keterampilan (vocational training) seperti madrasah keterampilan yang mengikuti model “STM”.
b. Terbukanya lembaga pendidikan umum berbasis Islam.
Seperti yang diungkapkan Azyumardi di atas, dari keempat pilihan yang menjadi peluang bagi perkembangan pendidikan Islam, pilihan yang ketiga yaitu Sekolah Umum Berbasis Islam merupakan lembaga pendidikan yang berada di bawah naungan Kementerian Pendidikan Nasional, seperti TK, SD, SMP, atau SMA Islam, atau dengan beberapa tambahan label seperti “plus”, “unggulan”, atau “terpadu” dan lain sebagainya, pada tingkat perguruan tinggipun lembaga seperti ini sudah banyak di Indonesia, seperti UMJ, UNISBA, Universitas Paramadina, UII dan lain sebagainya. Lembaga-lembaga tersebut biasanya lahir atas inisiatif tokoh-tokoh Muslim atau organisasi kemasyarakatan yang mengakomodasi modernitas tanpa menghilangkan prinsip tafaqquh fi al-din-nya.
c. Adanya kewajiban memasukan pelajaran agama di lembaga pendidikan umum.
Pada masa penjajahan pendidikan agama tidak masuk ke dalam kurikulum sehingga hukumnya tidak wajib dilakukan oleh lembaga pendidikan (ekstrakurikuler dan non-compulsary), kemudian pasca kemerdekaan (1946) pendidikan agama di sekolah menjadi bersifat fakultatif, sudah menjadi bagian kurikulum (intrakurikuler) tapi masih bersifat non-compulsary (tidak wajib) sehingga orang tua boleh meminta agar anaknya tidak diberi pendidikan agama.
Wajibnya pendidikan agama di sekolah dimulai sejak lahirnya TAP MPRS Nomor XXVII Tahun 1996 walaupun baru mewajibkan sekolah negeri saja, namun setelah lahirnya UU No. 2 Tahun 1989 kewajiban adanya pendidikan agama tersebut berlaku juga untuk sekolah swasta dan berlaku untuk semua jenis, jalur dan jenjang pendidikan. Pendidikan agama tersebut dipertegas dalam UU No. 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional, tepatnya pada pada pasal 12 ayat (1) huruf a yang menyatakan: “Setiap peserta didik pada setiap satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama.”
Pemberlakuan pendidikan agama pada semua jenjang (dari mulai pendidikan dasar sampai perguruan tinggi) ditegaskan pada pasal 37 ayat 1 dan 2 yang berbunyi sebagai berikut:
Pasal (1): kurikulum pendidikan dasar dan menengah wajib memuat: a. Pendidikan agama, b. Pendidikan kewarganegaraan, c. Bahasa, d. Matematika, e. IPA, f. IPS, g. Seni dan Budaya, h. Pendidikan Jasmani dan Olahraga, i. Keterampilan/kejuruan, dan j. Muatan lokal.
Pasal (2): Kurikulum pendidikan tinggi wajib memuat: a. Pendidikan agama, b. Pendidikan Kewarganegaraan, d. Bahasa.

4. Threatment (Tantangan)
a. Derasnya pengaruh negatif globalisasi
Dalam Konfrensi Berlin, kelompok yang menyebut dirinya sosial demokrat, Shimon Peres mengatakan bahwa kekuatan globalisasi diibaratkan pengalaman seseorang yang bangun pagi dan melihat segala sesuatu sudah berubah. Banyak hal yang kita anggap biasa, banyak paradigma yang kita anggap suatu kebenaran tiba-tiba menghilang tanpa bekas. Saat ini kita benar-benar merasakan dahsyatnya efek globalisasi yang masuk pada setiap lini kehidupan sampai-sampai ada yang menghawatirkannya dan menyebutnya globaphobia. Kedahsyatan globalisasi tersebut misalnya bisa dirasakan pada perubahan pola hidup manusia dalam hal food (makanan), fashion (pakaian) dan fun (kesenangan).
Globalisasi yang pada dasarnya memberikan peluang bagi bersatunya berbagai komunitas di belahan dunia pada satu entitas kehidupan akan menjadi tantangan luar biasa bagi eksistensi pendidikan Islam. Pendidikan Islam dituntut untuk bisa menunjukan jati dirinya sebagai pemelihara ajaran Islam yang shalihun likulli zaman wa makaan. Untuk mewujudkannya diperlukan persamaan persepsi sehingga yang terjadi bukanlah pendidikan Islam mengikuti globalisasi tapi justru pendidikan Islam mengakomodasi globalisasi tersebut.
b. Kecenderungan hidup materialitik hedonis
Pergeseran pola hidup ke arah materialistik hedonis memberikan peluang tergerusnya norma, etika bahkan moralitas yang menjadi target utama pendidikan agama termasuk pendidikan Islam, orang kemudian lebih terpacu untuk mengikuti perkembangan zaman tanpa berkaca pada aturan agama, akhirnya ajaran agama bisa jadi hanya dijadikan sebagai lipstik belaka.
Pergeseran pola hidup tersebut tentu juga berpengaruh lembaga pendidikan Islam, orientasi hidup yang materialistik akan menggiring para penguna jasa pendidikan tersebut untuk mencari lembaga pendidikan yang bisa mengantarkan anaknya pada kehidupan yang materialistik pula, sudah barang tentu hal tersebut menjadi tantangan bagi dunia pendidikan Islam.
c. Tumbuhnya paham sekularisme
Sekularisme diartikan sebagai paham yang memberikan kebebasan seluas-luasnya termasuk dalam hal keyakinan dan agama. Pada dasarnya Islam memberikan ruang kepada manusia untuk menetapkan pilihannya dalam hal keyakinan dan beragama tersebut termasuk konsekuensi dari pilihannya itu, dalam hal ini tidak ada paksaan dalam beragama, tapi Islam sudah menjelaskan secara gamblang akan kebenaran dan keabsahan Islam itu sendiri, bahwa hanya Islam-lah yang diridhai.
Semakin tumbuhnya sekularisme tersebut tentu sangat berimplikasi pada dunia pendidikan Islam, pengajaran agama Islam akan semakin ditantang untuk bisa menjawab argumentasi-argumentasi rasional menyangkut keberagaman akidah, pada titik inilah prinsip-prinsip ajaran Islam akan dipertaruhkan.

C. Upaya Mencari Solusi Peningkatan Mutu Pendidikan Islam
Dalam TAP MPR-RI No. VII/MPR/2001tertera Visi Indonesia 2020 yaitu terwujudnya masyarakat Indonesia yang religius, manusiawi, bersatu, demokratis, adil, sejahtera, maju, mandiri, serta baik dan bersih dalam penyelenggaraan negara. Dalam rangka terwujudnya masyarakat yang religius, maka posisi pendidikan Islam benar-benar memiliki posisi strategis dan sangat sentral. Untuk mewujudkannya diperlukan kualitas pendidikan yang baik dan bermutu.
Untuk melihat lebih jernih posisi lembaga pendidikan Islam, ada baiknya kita membandingkannya dengan lembaga pendidikan kristen. Pada zaman kolonial Belanda, lembaga pendidikan Islam yang terpusat pada pesantren, surau, dayah, dan lain sebagainya sengaja menguzlahkan diri dari kekuasaan kolonial bahkan membentuk perlawanan terhadap kolonialisme. Sementara lembaga pendidikan Kristen, selain secara langsung didukung gereja, juga mendapat fasilitas dari pemerintah Belanda. Hasilnya, tidak heran kalau lembaga pendidikan mereka lebih bermutu karena mereka memiliki headstart dan merupakan “early starter”, sementara lembaga-lembaga pendidikan Islam unggulan semacam al-Azhar, al-Izhar, Madania, atau Muthahari pada dasarnya merupakan “very late starter” yang berusaha masti-matian mengejar ketertinggalan.
Walau demikian, kita tidak boleh terjebak pada kondisi pesimistik tanpa solusi, kondisi realistik tersebut harus terus dijadikan cambuk agar pendidikan Islam bisa berkembang secara lebih progresif. Steven R Covey berpendapat bahwa “kita tidak akan bisa mengubah buah sebelum mengubah bakar”. Buah pendidikan agama antara lain amanah, sabar, tawadhu, tawakkal, ikhlas, dan taqwa. Kita sering memperbincangkan mengapa aspek agama semacam ini tidak lagi menjadi sikap dan perilaku umat beragama. Kita lupa, semua itu hanya buah dari cara kita beragama.
Untuk itu, diperlukan langkah-langkah yang gradual, terpola dan tentunya progresif pula dalam setiap aspek pendidikan agar akselerasi tersebut bisa terlaksana. Aspek-aspek tersebut antara lain:




1. Aspek Kebijakan
Menurut Emile Durkheim pendidikan harus selalu menundukan permasalahannya dalam konteks kemasyarakatan yang luas. Sementara Karl Mannheim mengatakan bahwa untuk memahami hakikat pendidikan perlu mengetahui: “ Siapa mendidik siapa, di masyarakat apa, kapan dan di mana, serta untuk posisi sosial apa peserta didik itu dididik. Kedua tokoh sosiologi pendidikan tersebut menggambarkan betapa tingginya signifikansi hubungan antara pendidikan dengan masyarakat. Untuk itu diperlukan kebijakan-kebijakan pendidikan yang berorientasi pada tuntutan, kebutuhan serta kemajemukan masyarakat, diantaranya:
a. Memaksimalkan biaya pendidikan dengan merealisasikan anggaran pendidikan 20%. Berdasarkan data yang disampaikan H.A.R Tilaar tahun 1992, biaya pendidikan kita masih sangat rendah baru mencapai 13.6%, jauh berbeda dengan Malaysia yang sudah mencapai 16%, atau Taiwan 18%, Thailand 19.4%, Korea Selatan 20.5%, bahkan Singapura sudah menembus 21.6%.
b. Perlunya transfaransi baik dalam hal keuangan maupun kebijakan.
Pada tahun 2009 anggaran untuk bidang pendidikan di lingkungan Departemen Agama mencapai ± Rp. 23 Triliyun. Dari jumlah tersebut ternyata hampir seluruhnya dialokasikan untuk penyelenggaraan sekolah umum berciri khas agama Islam, yaitu ± Rp. 1,7 Triliyun di pusat dan ± Rp. 18 Triliyun di daerah. Pendidikan Agama Islam di sekolah umum di bawah binaan Depdiknas seolah terlupakan, mereka hanya dialokasikan dana ± Rp. 74 Milyar saja dan itupun hanya dari pusat, sementara di daerah hampir tidak disediakan yang seharusnya diambilkan dari dana Rp. 18 Triliyun tersebut di atas, padahal anggarannya disebutkan sebagai anggaran Pendidikan Islam. Kebijakan tersebut tentu membuat merana unit-unit yang menangani pendidikan agama Islam di sekolah-sekolah umum.
c. Perlunya keterbukaan akses
Dalam rangka tercipta good governance (pemerintahan yang baik) diperlukan keterbukaan akses untuk mensinergikan kebutuhan masyarakat dengan kebijakan pemimpinnya. Dalam hal pendidikan, pemerintah harus duduk bersama dengan seluruh stakholders dan menyerap apa yang benar-benar diharapkan oleh mereka. Bukan hanya dalam hal informasi dan kebijakan, keterbukaan akses juga diperlukan untuk memperluas wawasan, pemerintah harus menjalin kerjasama dengan berbagai pihak (baik dalam maupun luar negeri, lembaga pendidikan maupun non kependidikan, negeri atau swasta) untuk membuka akses pengetahuan, baik untuk pendidik, tenaga kependidikan, pengelola bahkan juga untuk siswa

2. Aspek Kurikulum
Dalam aspek kurikulum, pembenahan pendidikan Islam bisa dilakukan diantaranya dengan hal-hal sebagai berikut:
a. Pendidikan Islam pada prinsipnya bertumpu pada sumber ajaran Islam yaitu al-Qur’an dan Hadits. Agar dalam tataran aplikasinya perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi sejalan dengan prinsip ajaran tersebut maka diperlukan integrasi kurikulum berbasis nash dan sains.
b. Pada saat seorang guru mengajarkan pengetahuan terhadap muridnya, sesungguhnya guru tersebut sedang mempersiapkan murid tersebut untuk bisa survive di masa yang akan datang. Dengan demikian kurikulum harus didesain berwawasan masa depan.
c. Untuk mengatasi degradasi moral yang akhir-akhir ini begitu menghebat, sekolah dituntut untuk bisa meracik kurikulum berbasis akhlak. Salah satu caranya adalah dengan menjadikan akhlak sebagai core curriculum (inti kurikulum) yang masuk pada seluruh mata pelajaran, baik pelajaran umum maupun pelajaran agama.
d. Penambahan jumlah jam pelajaran agama khususnya pada sekolah-sekolah umum, dan untuk madrasah yang mata pelajaran agamanya sudah banyak, bisa diperkaya dengan memasukan hidden curriculum (kurikulum tersembunyi) yang memuat materi-materi aplikasi keagamaan.
e. Aktualisasi dan internalisasi nilai-nilai ke-Islaman khususnya di lingkungan sekolah.
f. Peningkatan efektivitas pembelajaran keagamaan
g. Kurikulum pendidikan agama memuat tiga ranah, yaitu kognisi, afeksi dan psikomotor. Konsekuensinya dalam penilaian pun harus meliputi ketiga komponen tersebut. Untuk itu, harus dilakukan re-evaluasi terhadap sistem penilaian yang cenderung berbasis kognisi ke arah penilaian integratif.
h. Dalam memberikan pelajaran, seorang guru dituntut untuk mengintegrasikan kesalehan individu dengan kesalehan sosial siswanya. Siswa yang ibadahnya rajin dipandang belum cukup berhasil jika belum memiliki sikap kesetiakawanan, kedermawanan serta tanggung jawab yang tinggi terhadap sesama.

3. Aspek SDM (Sumber Daya Manusia)
Maju mundurnya sebuah lembaga pendidikan sangat ditentukan oleh sumber daya manusia (SDM) yang ada di dalamnya, kualitasnya menjadi taruhan bagi eksistensi lembaga tersebut. Sebaik apapun sarana dan prasarana yang dimiliki oleh sebuah lembaga pendidikan, tidak menjadi jaminan jika tidak didukung oleh kualitas SDM yang handal, sebaliknya walaupun sarana dan prasarana kurang memadai tapi jika ditopang dengan SDM yang hebat memungkinkan lembaga pendidikan tersebut bisa lebih berkembang pada masa yang akan datang.
Untuk meningkatkan mutu pendidikan Islam, beberapa hal yang harus dilakukan berkaitan dengan sumber daya manusia diantaranya:
a. Peningkatan kompetensi dan profesionalisme pendidik dan tenaga kependidikan, misalnya dengan memperbanyak seminar atau workshop yang berkaitan dengan pembelajaran
b. Peningkatan aspek manajerial kepala sekolah
c. Penguatan (reinforcement) sistem kontrol, seperti supervisi dari pengawas atau kepala madrasah secara kontinyu.
d. Untuk meningkatkan wawasan dan etos kerja perlu dipertimbangkan program pertukaran guru antar sekolah, bahkan bila perlu pertukaran guru antar negara.
e. Memperbanyak beasiswa untuk guru, baik dalam negeri maupun luar negeri

D. Ikhtitam
Pendidikan dianggap sebagai pemberi corak hitam-putihnya perjalanan hidup seseorang. Oleh karena itu, Islam menetapkan bahwa pendidikan merupakan salah satu kegiatan hidup yang wajib hukumnya bagi setiap manusia dan kewajiban tersebut berlangsung seumur hidup (long life education).
Kedudukan tersebut secara tidak langsung telah menempatkan pendidikan sebagai bagian tidak terpisahkan dengan hidup dan kehidupan manusia. John Dewey dalam “Democracy and Education” berpendapat bahwa pendidikan adalah salah satu kebutuhan hidup (a necessity of life), salah satu fungsi sosial (a social function), sebagai bimbingan (a direction), dan sebagai sarana pertumbuhan (as growth) yang mempersiapkan dan membukakan serta membentuk disiplin hidup yang bisa dicapai lewat transmisi, baik dalam bentuk formal, informal maupun non formal.
Walaupun dalam analisa Azyumardi Azra terungkap bahwa eksistensi dan perkembangan pendidikan Islam dianggap sebagai very late starter ketika dibandingkan dengan lembaga pendidikan Kristen yang memiliki headstart dan merupakan early starter, akan tetapi tetap saja pendidikan Islam sudah memberikan kontribusinya yang luar biasa bagi perkembangan bangsa Indonesia. Analisa Azyumardi tersebut tentu harus dijadikan pemicu bagi perkembangan dan perbaikan mutu pendidikan Islam.
Wallahu’alam.

Daftar Pustaka

Al-Abrasyi, Muhammad Athiyah. Al-tarbiyah al-Islamiyah. (Damaskus: Dar al-Fikr, tth).

Aly, Hery Noer. Ilmu Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. Logos Wacana Ilmu, 1999).

Assegaf, Abd. Rahman. Filsafat Pendidikan Islam. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada, 2011).

Buchori, Mochtar. Pendidikan Antisipatoris, (Jakarta, Yayasan Kanisius, 1987).

Buchori, Mochtar. Spektrum Problematika Pendidikan di Indonesia. (Yogyakarta: PT. Tiara Wacana Yogya, 1994)

Depag RI. Al-Qur’an dan Terjemah

Depag RI. Panduan Kurikulum 1994 Madrasah. (Jakarta: Depag RI, 1994).

Depag RI. Sejarah Madrasah, Pertumbuhan, dinamika dan Perkembangannya di Indonesia. (Jakarta: Depag RI, 2004).

Fajar, A. Malik. Reorientasi Pendidikan Islam. (Jakarta: Fajar Dunia, 1999).

Hidayat, Dudung Rahmat dkk. Pendidikan Agama: Urgensi dan Tantangan. Dalam Ali M, dkk (Penyunting). Ilmu dan Aplikasi Pendidikan. Bagian III. (Bandung: PT Imtima, 2007).

Nata, Abuddin. Metodologi Studi Islam, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 1999).

Saridjo Marwan (Penyunting). Mereka Bicara Pendidikan Islam, Sebuah Bunga Rampai. (Jakarta: PT RajaGrapindo Persada, 2009).

Subijanto. Profesi guru sebagai profesi yang menjanjikan Pasca Undang- Undang guru dan dosen. (Jakarta: Balitbang. Depdiknas. 2006)

Syaltout, Mahmud. Ila al-Qur’an al-Karim. (Cairo: Mathba’ah al-Azhar, 1962).

Tilaar, H.A.R. Perubahan Sosial dan Pendidikan, Pengantar Paedagogik Transpormatif untuk Indonesia. (Jakarta: Grasindo, 2002).

Ulwan, Abdullah Nashih. Pendidikan Anak dalam Islam. Terjemahan Jamaludin Miri (Jakarta: Pustaka Amani, 2007).

Sabtu, 21 Mei 2011

Sang Kepala Negara

Oleh Prof Dr Yunahar Ilyas
Sumber : Kolom Hikmah Republika
Sabtu, 30 April 2011

Beberapa kali Abdurrahman bin Auf menyaksikan Umar shalat sunah di rumahnya. Yang menarik perhatiannya, bukanlah tata cara shalatnya, melainkan sajadah yang biasa digunakan Umar. Seorang kepala kegara dengan wilayah kekuasaan yang membentang luas sampai Mesir, berhasil mengalahkan dua imperium besar, Romawi Timur dan Persia, justru shalat di atas sajadah yang usang. Timbul rasa bersalah dalam hati Abdurrahman. Ia ingin membelikan sajadah baru yang mahal dan indah untuk sang Amirul Mukminin.

Tetapi, Abdurrahman ragu, apakah Umar mau menerimanya. Dia tahu persis watak Umar yang tidak mau diberi hadiah apa pun walau hanya selembar sajadah.


Abdurrahman akhirnya memberikan sebuah sajadah melalui istri Umar, Ummu Abdillah. Melihat sajadah baru, Umar memanggil istrinya dan menanyakan siapa yang memberi sajadah ini. "Abdurrahman bin Auf," jawab istrinya. "Kembalikan sajadah ini kepada Abdurrahman. Saya sudah cukup puas dengan sajadah yang saya miliki." Begitulah watak Umar bin Khattab. Tidak hanya adil dan bijaksana, beliau dikenal dengan sifat zuhudnya, hidup sederhana. Tidak hanya untuk ukuran seorang kepala negara, bahkan bagi orang biasa sekalipun.

Suatu hari, Umar melakukan perjalanan dinas mengunjungi satu provinsi yang berada di bawah kekuasaannya. Gubernur menjamu Umar makan malam dengan jamuan yang istimewa, sebagaimana lazimnya perjamuan untuk kepala negara. Begitu duduk di depan meja hidangan, Umar kemudian bertanya kepada sang gubernur, "Apakah hidangan ini adalah makanan yang biasa dinikmati oleh seluruh rakyatmu?"

Dengan gugup, sang gubernur menjawab, "Tentu tidak, wahai Amirul Mukmini. Ini adalah hidangan istimewa untuk menghormati baginda." Umar lantas berdiri dan bersuara keras, "Demi Allah, saya ingin menjadi orang terakhir yang menikmatinya. Setelah seluruh rakyat dapat menikmati hidangan seperti ini, baru saya akan memakannya." Itulah sifat Umar bin Khattab, seorang kepala negara yang zuhud.

Di lain kesempatan, sehabis shalat Zhuhur, Umar meminta selembar permadani Persia yang indah untuk dibawa pulang ke rumahnya. Tentu saja, hal ini membuat para sahabat heran. Hari itu, Umar bin Khattab membagi harta rampasan perang yang dibawa oleh pasukan Sa'ad bin Abi Waqqash yang berhasil menaklukkan Kota Madain, ibu kota imperium Persia.

Pakaian kebesaran Kisra lengkap dengan mahkotanya diberikan oleh Umar kepada seorang Badui yang kemudian memakainya dengan gembira. Satu demi satu barang-barang berharga dibagi-bagikan oleh Umar kepada para sahabat dan masyarakat banyak waktu itu. Yang tersisa hanya selembar permadani indah. Umar pun memintanya. "Bagaimana pendapat kalian, jika permadani ini aku bawa pulang ke rumahku?" Gembira bercampur kaget, para sahabat tergopoh-gopoh menyetujuinya. "Tentu saja wahai Amirul Mukminin, kami setuju sekali Anda membawanya pulang."

Ketika tiba waktu Ashar, Umar membawa kembali permadani tersebut. Kali ini, permadani itu sudah dipotong-potong menjadi bagian kecil-kecil, dan Umar membagikan kepada beberapa sahabatnya. Dengan senyum, Umar berkata, "Hampir saja saya tergoda oleh permadani indah ini." Masya Allah, begitulah Umar, sang kepala negara.